DI tengah panas menyengat dan banjir di tiga benua, hampir 200 negara berkumpul pada Senin (19/7) untuk memvalidasi laporan sains iklim PBB atau 100 hari menjelang pertemuan puncak politik yang bertujuan menjaga Bumi tetap layak huni. Dunia kini menjadi tempat berbeda dari 2014, ketika Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB mengeluarkan penilaian komprehensif kelima tentang pemanasan global, masa lalu dan masa depan.
Ada keraguan bahwa pemanasan semakin cepat atau hampir seluruhnya berasal dari manusia. Terdapat pula gagasan bahwa dampak iklim adalah masalah masa depan. Keduanya tampak menguap dalam rekor gelombang panas, kebakaran hutan, dan kekeringan yang melumpuhkan.
Memang, cuaca mematikan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada musim panas ini dapat menjadikan 2021 sebagai tahun prediksi iklim menjadi kenyataan. Soalnya, terjadi terjangan suhu tinggi seperti Death Valley AS di Kanada barat, banjir bandang di seluruh Eropa barat, orang-orang yang tenggelam dalam gerbong kereta bawah tanah yang dipenuhi hujan di Tiongkok tengah.
Tonggak sejarah lain sejak buku besar IPCC terakhir: Perjanjian Paris telah diadopsi, yakni menetapkan target kolektif untuk membatasi suhu permukaan planet pada jauh di bawah dua derajat celsius (35,6 fahrenheit) tapi di atas tingkat akhir abad ke-19. Polusi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil, kebocoran metana, dan pertanian telah menaikkan suhu 1,1 derajat celsius sejauh ini.
Baca juga: Pro Kontra Draf Baru Keanekaragaman Hayati PBB
Perjanjian 2015 itu juga menetapkan batas 1,5 derajat celsius. "Tetapi kemudian negara-negara berbalik dan meminta IPCC untuk membuat laporan khusus tentangnya dan itu benar-benar mengubah rencana," kata penulis utama dan paleoklimatologi IPCC Peter Thorne dari Maynooth University di Irlandia, kepada AFP.
Analisis pada 2018 yang dihasilkan mengungkapkan betapa dahsyatnya penambahan panas setengah derajat saja. (OL-14)