Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

37 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Wajib Penuhi Hak Korban Pemerkosaan

Ferdian Ananda Majni
23/7/2021 15:30
37 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Wajib Penuhi Hak Korban Pemerkosaan
Ilustrasi(Twitter Komnas Perempuan)

KOMNAS Perempuan mengangkat laporan independen yang disampaikan kepada Pelapor Khusus – PBB tentang pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual. Hal itu terkait dengan peringatan 37 tahun pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) oleh Indonesia.

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan laporan ini diharapkan menjadi dasar pemerintah untuk segera mengkaji ulang peraturan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan.

"Sebagai negara yang mengesahkan CEDAW melalui UU No 7  Tahun 1984, Indonesia wajib mengimplementasikan mandat Rekomendasi Umum Nomor 19 yang diperbarui dengan Rekomendasi Umum No 35," serunya dalam diskusi virtual Jumat (23/7).

Rekomendasi itu mengamanatkan pemeritah untuk melaksanakan langkah-langkah tepat dan efektif dalam mengatasi segala kekerasan berbasis gender (KBG), membuat peraturan perundang-undangan tentang kekerasan dan penganiayaan dalam rumah tangga, pemerkosaan, penyerangan seksual dan bentuk-bentuk lain KBG serta perlindungan perangkat pelayanan yang tepat harus disediakan bagi korban-korban.

Begitu juga penghapusan KBG yang bersifat sistemik karena telah menjadi alat sosial, politik, ekonomi yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan melanggengkan stereotipe peran gender.

"Pemerkosaan terjadi di berbagai konteks dan dipengaruhi beragam faktor, seperti ekonomi, sosial, politik dan terjadi akibat kebijakan negara. Pemerkosaan terjadi di ranah rumah tangga, komunitas maupun negara," sebut Rainy.

Kasus pemerkosaan itu menimbulkan konsekuensi akan pemenuhan hak-hak perempuan lainnya seperti hak atas kesehatan (fisik, mental dan sosial), hak kesehatan reproduksi (hak untuk layanan aborsi aman), hak untuk memasuki perkawinan dengan persetujuan penuh dan bebas, ketimbang pemaksaan perkawinan dengan pemerkosanya, dan hak atas rasa aman.

Sempitnya definisi perkosaan
Dalam jangka panjang, imbuhnya, pemerkosaan telah menyebabkan perempuan mengalami hambatan dalam mencapai kesetaraan, pembangunan dan perdamaian.

"Oleh karena itu, Komnas Perempuan menyampaikan dalam laporannya bahwa pengertian pemerkosaan masih mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu persetubuhan dengan penetrasi penis ke vagina dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan dikategorikan dalam tindak pidana kesusilaan sehingga sering disangkut-pautkan dengan moralitas," tutur Rainy.

Dari sisi legislasi, Komnas Perempuan mencatat ada sejumlah kemajuan seperti hadirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang mengakui adanya kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan dalam lingkup rumah tangga dan relasi suami isteri. Selain itu, ada juga UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang mengatur tindak pidana pemerkosaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Kemudian UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengkriminalisasi setiap bentuk aktivitas seksual dengan seseorang yang belum berusia 18 tahun sebagai tindak pidana, UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang mengatur pemerkosaan sebagai bagian dari tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM  berat.

Namun, sergah Rainy, sempitnya pengertian pemerkosaan telah menyebabkan pemerkosaan nonpenetrasi penis tidak dapat dijangkau secara hukum. Akibatnya, korban tidak dapat mengklaim hak atas keadilan melalui sistem peradilan pidana.

Akses peradilan
Komnas Perempuan menyatakan, hambatan akses keadilan dan pemulihan korban juga dipengaruhi  bekerjanya sistem peradilan pidana dalam merespons kasus-kasus pemerkosaan yang dilaporkan. UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menjadi aturan seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan disusun dengan berorientasi kepada perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa, tidak menjamin perlindungan hak-hak saksi dan korban.

"KUHAP juga belum selaras dengan prinsip-prinsip dalam Rekomendasi Umum CEDAW No. 33 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan. Akibatnya, secara umum korban tidak mendapatkan pemulihan baik psikis, sosial dan ekonomi," lanjutnya.

Pihaknya mengakui, terdapat sejumlah kemajuan jaminan hak saksi/korban seperti jaminan dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP Nomor  7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi Korban, Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Lalu, Peraturan Jaksa Agung No. 1 Tahun 2021 tentang tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, dan Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

"Komnas Perempuan memandang kemajuan tersebut masih belum cukup  menjamin korban pemerkosaan di Tanah Air hingga pelosok-pelosok untuk mendapat hak atas keadilan dan pemulihan. Mengingat pelaksanaan berbagai peraturan juga harus ditopang pengintegrasian hak-hak korban untuk layanan kesehatan, psikososial, rehabilitasi sosial dan pemberdayaan ekonomi yang dikelola dan menjadi tugas, pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga terkait," tegasnya.

Dia menambahkan pengintegrasian sistem peradilan pidana terpadu dengan sistem layanan pemulihan korban dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) dapat menjadi terobosan respons negara untuk penanganan kasus pemerkosaan.

Hambatan utama
Selanjutnya, beber Rainy, hambatan utama yang dapat mempengaruhi perumusan dan penegakan peraturan perundang-undangan serta cara bekerja aparat hukum adalah perspektif yang masih menempatkan perempuan sebagai subordinat serta obyek seksual laki-laki.

"Hal ini sejajar dengan kurangnya kesadaran publik atas hak-hak perempuan, cara mengaksesnya serta lebih percaya mitos-mitos pemerkosaan yang berakibat victim blaming dan pelanggengan budaya pemerkosaan (rape culture)," tuturnya.

Komnas Perempuan juga mengingatkan, Concluding Observation Komite CEDAW terhadap laporan kemajuan CEDAW di Indonesia terkait visibilitas Konvensi yang menyatakan bahwa perempuan Indonesia tidak menyadari hak-hak mereka di bawah konvensi dan karenanya tidak memiliki kapasitas untuk mengklaimnya.

Kemudian kurangnya kesadaran tentang Konvensi pada lembaga peradilan, profesi hukum dan pejabat penegak hukum dan Kegagalan sistematis dalam mengintegrasikan Konvensi ke dalam sistem hukum Indonesia.

Dari berbagai analisis tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

1.  Meningkatkan kesadaran perempuan tentang hak-hak mereka dan cara mengaksesnya, khususnya hak-hak korban pemerkosaan, dan cara mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan. Sekaligus memastikan bahwa informasi tentang CEDAW diberikan kepada semua perempuan dan laki-laki melalui semua saluran dan media;

2.  Memberikan pelatihan kepada para penyidik, penuntut umum, hakim termasuk hakim agama, dan pengacara agar budaya hukum dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan -termasuk perkosaan- yang mendukung kesetaraan perempuan dengan laki-laki, menghilangkan mitos perkosaan, dan tidak menggunakan streotipe negatif yang mempersalahkan korban;

3.  Menegakan aturan hukum pidana tentang pemerkosaan dengan menjatuhkan hukuman maksimal, bekerjasama dengan lembaga pemulihan korban dan memberikan hak atas restitusi;

4.  Mengambil langkah dengan memastikan ketentuan, prinsip dan konsep CEDAW sepenuhnya dapat diterapkan dan digunakan dalam dalam menyusun dan/atau merevisi perundang-undangan nasional/daerah terutama yang bersinggungan dengan hak-hak asasi perempuan. Di antaranya dengan:

a.  Memperluas pengertian pemerkosaan tidak terbatas dalam pengertian sempit sebagai penetrasi penis ke vagina dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik RUU KUHP maupun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

b.  Mengintegrasikan kerja-kerja sistem peradilan pidana dengan sistem layanan pemulihan korban dalam pembaruan hukum acara pidana atau menerapkan konsep SPPT PKKTP. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya