Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
STUNTING pada anak menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian besar dari pemerintah. Angka prevalensinya yang disebut-sebut lebih dari 30% membuat pengentasan stunting menjadi program prioritas.
Sejumlah kementerian/lembaga terlibat, pun demikian dengan sektor swasta. Selama ini, program lebih banyak ditekankan pada perbaikan nutrisi anak-anak yang dinilai stunting. Misalnya, dengan memberikan makanan tambahan. Telah sekian lama program itu berjalan.
Namun menurut Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Aman B Pulungan Sp.A (K), ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali terkait masalah stunting.
Pertama, terkait pemahaman terhadap stunting. Banyak yang memahami stunting sebagai anak pendek belaka. Padahal, stunting bukan sekedar pendek, melainkan harus disertai kondisi malnutrisi.
“Anak stunting pasti pendek, tapi tidak semua anak pendek tergolong stunting. Anak stunting itu pendek dan kekurangan gizi. Kalau anak pendek status gizinya baik, mereka tidak stunting,” terang Prof. Aman dalam temu media secara virtual baru-baru ini.
Selain soal pemahaman, hal lain yang perlu ditelaah ialah angka prevalensi stunting. Pada 2013, lanjut Prof. Aman, Unicef menerbitkan laporan Improving Child Nutrition yang menyatakan Indonesia berada di peringkat ke-5 untuk jumlah anak dengan moderate atau severe stunting setelah India, Nigeria, Pakistan, dan Tiongkok. Data yang digunakan untuk laporan ini adalah data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.
“Walaupun begitu, sebenarnya data Riskesdas tidak mendata stunting secara spesifik, melainkan hanya menghitung panjang/tinggi badan populasi anak, dan data tersebut terpisah dari data malnutrisi,” tutur Prof. Aman yang dalam Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar FKUI, Sabtu (13/3) membawakan pidato pengukuhan berjudul ‘Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial: Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional’.
Menggunakan Kurva Standar Pertumbuhan WHO 2006, Riskesdas 2013 melaporkan 37,2% anak balita Indonesia stunted (pendek) dan 12,1% wasted (kekurangan gizi). Hanya 2,5% anak yang tergolong stunted dan wasted.
Sebagian besar anak tersebut pendek dengan berat badan normal (27,4%) dan pendek dengan kelebihan berat badan (6,8%). Jadi, penyebutan prevalensi stunting 37,2% patut ditinjau kembali mengingat penggolongan stunting seharusnya hanya diperuntukkan bagi anak yang pendek dan kekurangan gizi.
Lebih lanjut prof. Aman menyoroti penggunaan Kurva Standar Pertumbuhan WHO sebagai acuan. Hal itu berpotensi menyebabkan overestimation angka stunting. Sebab, kurva WHO dibuat berdasarkan data pertumbuhan anak-anak pada kondisi ideal tetapi populasi anak-anak yang digunakan sebagai dasar penyusunan belum tentu sesuai dengan pola pertumbuhan anak Indonesia.
Jadi ketika membandingkan tinggi anak-anak Indonesia dengan standar pertumbuhan anak WHO, sebagian besar dari anak-anak ini berada di bawah batas kritis dan dianggap sebagai stunted.
Perlu dicatat, pertumbuhan anak Indonesia telah didokumentasikan sejak paruh pertama abad ke-20. Anak-anak Indonesia lebih pendek daripada anak-anak Eropa modern dan lebih pendek dari yang disarankan oleh standar internasional. Idealnya, menurut Prof. Aman, pendataan stunting dilakukan menggunakan kurva nasional.
“Kami telah mengembangkan seperangkat kurva pertumbuhan untuk anak Indonesia. Dengan menggunakan kurva yang lebih representatif, diharapkan pemantauan pertumbuhan anak Indonesia bisa lebih tepat dan intervensi yang dilakukan lebih sesuai,” kata Prof. Aman yang juga Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Anggota Majelis Dokter Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini.
Ia menambahkan, negara-negara seperti Singapura dan Jepang juga tidak menggunakan kurva WHO, mereka menggunakan kurva referensi sendiri yang tentunya lebih sesuai dengan pola pertumbuhan anak-anak di negara tersebut.
“Banyak anak Indonesia yang dinyatakan stunted menggunakan kurva WHO, tetapi jika dibandingkan dengan data anak seusianya di Indonesia ternyata masih tergolong normal. Tingginya perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi untuk program penanganan stunting hendaknya diiringi dengan akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak,” ucap dokter yang juga menjabat sebagai Elected Executive Director International Pediatric Association (IPA) ini.
Pendekatan Multi-faktorial
Terkait penanganan, stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi. Tetapi, terang Prof. Aman, hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan. Berbagai penelitian menunjukkan intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna.
Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan.
Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan. Oleh karena itu, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain.
“Penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi. Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional,” papar Prof. Aman yang sejak 2018 hingga kini menjabat sebagai President of Asia Pacific Pediatric Association (APPA).
Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan. Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korea Utara.
Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan. Faktor genetik diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan
Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Prof. Aman terhadap populasi pigmoid di Rampasasa, Flores menunjukkan ada pengaruh faktor genetik terhadap tinggi badan. Populasi pigmoid lebih pendek dari rerata nasional. Lelaki dewasanya mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan perempuan dewasanya di bawah 140 cm.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting,” ujarnya.
Dikhawatirkan, ketika penanganan lebih ditekankan pada pemberian nutrisi tambahan pada semua anak yang dinilai stunting padahal tidak, justru akan timbul masalah baru seperti obesitas pada anak-anak pendek yang bergizi baik namun dikira stunting lalu diberi nutrisi berlebih.
“Yang dikhawatirkan, dampak jangka panjangnya, anak-anak ini menjadi lebih rentan terhadap penyakit sindrom metabolik seperti diabetes,” imbuh dokter yang pernah menjadi Project Leader DM type 1 for World Diabetes Foundation di Indonesia ini.
Lalu, bagaimana penanganannya? Prof. Aman menjelaskan, berdasarkan berbagai penelitian, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional.
Pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting. Dalam hal ini, sistem yang sudah berjalan di Indonesia bisa dioptimalkan, misalnya penggunaan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan pemanfaatan Posyandu.
“Seiring dengan perkembangan digitalisasi dan mempermudah akses layanan kesehatan di daerah rural Indonesia, kehadiran smartphone dapat dimanfaatkan untuk kesehatan anak, misalnya penggunaan aplikasi seperti PrimaKu. Aplikasi pemantauan pertumbuhan anak dapat membantu orangtua dalam upaya deteksi dini jika anaknya mengalami gangguan pertumbuhan,” pungkas Prof. Aman.(Nik/OL-09)
Layanan yang disediakan dalam program Speling, antara lain poli spesialis anak, penyakit dalam, kandungan, paru, dan spesialis jiwa
Angka pernikahan dini di Kalsel jauh di atas rata-rata nasional 18%, sementara angka stunting nasional 19,8%.
Pajanan rokok pada ibu hamil berdampak risiko stunting seperti kelahiran bayi dengan berat badan rendah (BBLR) hingga zat berbahaya yang dapat menghambat pertumbuhan janin.
Sulawesi Selatan sebagai provinsi dengan penurunan stunting terbaik kedua secara nasional, setelah Jawa Barat.
Mengonsumsi makanan seperti ikan yang kaya omega-3 dapat membantu perkembangan otak dan mata janin.
PMT diperkenalkan sebagai salah satu metode untuk mendidik orangtua, khususnya di Posyandu, tentang cara membuat makanan yang menarik dan unik agar anak mau makan
Penelitian Universitas Negeri Ohio ungkap warga yang tinggal dekat laut punya harapan hidup lebih panjang. Faktor lingkungan dan sosial jadi kunci utama.
Pemkab Manggarai Barat, NTT, mengimbau masyarakat untuk rutin melakukan tes VCT (Voluntary Counselling and Testing) guna mendeteksi HIV secara dini.
Latihan beban atau latihan kekuatan, tidak hanya memberi manfaat pada kesehatan otot dan tulang, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan otak.
Program ini dituangkan dalam Peraturan Wali Kota Kupang Nomor 18 Tahun 2025 dan ditujukan untuk menanggulangi berbagai hambatan administratif yang selama ini menghalangi masyarakat.
Gejala umum radang usus merupakan diare yang hingga kini masih sulit dibedakan oleh masyarakat dengan diare biasa dengan diare yang mengarah pada radang usus.
Jeruk nipis punya segudang manfaat untuk kesehatan: dari cegah flu, cerahkan kulit, hingga jaga jantung dan ginjal. Simak 10 khasiat lengkapnya di sini!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved