Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
STUNTING pada anak menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian besar dari pemerintah. Angka prevalensinya yang disebut-sebut lebih dari 30% membuat pengentasan stunting menjadi program prioritas.
Sejumlah kementerian/lembaga terlibat, pun demikian dengan sektor swasta. Selama ini, program lebih banyak ditekankan pada perbaikan nutrisi anak-anak yang dinilai stunting. Misalnya, dengan memberikan makanan tambahan. Telah sekian lama program itu berjalan.
Namun menurut Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Aman B Pulungan Sp.A (K), ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali terkait masalah stunting.
Pertama, terkait pemahaman terhadap stunting. Banyak yang memahami stunting sebagai anak pendek belaka. Padahal, stunting bukan sekedar pendek, melainkan harus disertai kondisi malnutrisi.
“Anak stunting pasti pendek, tapi tidak semua anak pendek tergolong stunting. Anak stunting itu pendek dan kekurangan gizi. Kalau anak pendek status gizinya baik, mereka tidak stunting,” terang Prof. Aman dalam temu media secara virtual baru-baru ini.
Selain soal pemahaman, hal lain yang perlu ditelaah ialah angka prevalensi stunting. Pada 2013, lanjut Prof. Aman, Unicef menerbitkan laporan Improving Child Nutrition yang menyatakan Indonesia berada di peringkat ke-5 untuk jumlah anak dengan moderate atau severe stunting setelah India, Nigeria, Pakistan, dan Tiongkok. Data yang digunakan untuk laporan ini adalah data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.
“Walaupun begitu, sebenarnya data Riskesdas tidak mendata stunting secara spesifik, melainkan hanya menghitung panjang/tinggi badan populasi anak, dan data tersebut terpisah dari data malnutrisi,” tutur Prof. Aman yang dalam Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar FKUI, Sabtu (13/3) membawakan pidato pengukuhan berjudul ‘Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial: Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional’.
Menggunakan Kurva Standar Pertumbuhan WHO 2006, Riskesdas 2013 melaporkan 37,2% anak balita Indonesia stunted (pendek) dan 12,1% wasted (kekurangan gizi). Hanya 2,5% anak yang tergolong stunted dan wasted.
Sebagian besar anak tersebut pendek dengan berat badan normal (27,4%) dan pendek dengan kelebihan berat badan (6,8%). Jadi, penyebutan prevalensi stunting 37,2% patut ditinjau kembali mengingat penggolongan stunting seharusnya hanya diperuntukkan bagi anak yang pendek dan kekurangan gizi.
Lebih lanjut prof. Aman menyoroti penggunaan Kurva Standar Pertumbuhan WHO sebagai acuan. Hal itu berpotensi menyebabkan overestimation angka stunting. Sebab, kurva WHO dibuat berdasarkan data pertumbuhan anak-anak pada kondisi ideal tetapi populasi anak-anak yang digunakan sebagai dasar penyusunan belum tentu sesuai dengan pola pertumbuhan anak Indonesia.
Jadi ketika membandingkan tinggi anak-anak Indonesia dengan standar pertumbuhan anak WHO, sebagian besar dari anak-anak ini berada di bawah batas kritis dan dianggap sebagai stunted.
Perlu dicatat, pertumbuhan anak Indonesia telah didokumentasikan sejak paruh pertama abad ke-20. Anak-anak Indonesia lebih pendek daripada anak-anak Eropa modern dan lebih pendek dari yang disarankan oleh standar internasional. Idealnya, menurut Prof. Aman, pendataan stunting dilakukan menggunakan kurva nasional.
“Kami telah mengembangkan seperangkat kurva pertumbuhan untuk anak Indonesia. Dengan menggunakan kurva yang lebih representatif, diharapkan pemantauan pertumbuhan anak Indonesia bisa lebih tepat dan intervensi yang dilakukan lebih sesuai,” kata Prof. Aman yang juga Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Anggota Majelis Dokter Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini.
Ia menambahkan, negara-negara seperti Singapura dan Jepang juga tidak menggunakan kurva WHO, mereka menggunakan kurva referensi sendiri yang tentunya lebih sesuai dengan pola pertumbuhan anak-anak di negara tersebut.
“Banyak anak Indonesia yang dinyatakan stunted menggunakan kurva WHO, tetapi jika dibandingkan dengan data anak seusianya di Indonesia ternyata masih tergolong normal. Tingginya perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi untuk program penanganan stunting hendaknya diiringi dengan akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak,” ucap dokter yang juga menjabat sebagai Elected Executive Director International Pediatric Association (IPA) ini.
Pendekatan Multi-faktorial
Terkait penanganan, stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi. Tetapi, terang Prof. Aman, hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan. Berbagai penelitian menunjukkan intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna.
Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan.
Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan. Oleh karena itu, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain.
“Penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi. Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional,” papar Prof. Aman yang sejak 2018 hingga kini menjabat sebagai President of Asia Pacific Pediatric Association (APPA).
Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan. Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korea Utara.
Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan. Faktor genetik diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan
Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Prof. Aman terhadap populasi pigmoid di Rampasasa, Flores menunjukkan ada pengaruh faktor genetik terhadap tinggi badan. Populasi pigmoid lebih pendek dari rerata nasional. Lelaki dewasanya mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan perempuan dewasanya di bawah 140 cm.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting,” ujarnya.
Dikhawatirkan, ketika penanganan lebih ditekankan pada pemberian nutrisi tambahan pada semua anak yang dinilai stunting padahal tidak, justru akan timbul masalah baru seperti obesitas pada anak-anak pendek yang bergizi baik namun dikira stunting lalu diberi nutrisi berlebih.
“Yang dikhawatirkan, dampak jangka panjangnya, anak-anak ini menjadi lebih rentan terhadap penyakit sindrom metabolik seperti diabetes,” imbuh dokter yang pernah menjadi Project Leader DM type 1 for World Diabetes Foundation di Indonesia ini.
Lalu, bagaimana penanganannya? Prof. Aman menjelaskan, berdasarkan berbagai penelitian, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional.
Pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting. Dalam hal ini, sistem yang sudah berjalan di Indonesia bisa dioptimalkan, misalnya penggunaan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan pemanfaatan Posyandu.
“Seiring dengan perkembangan digitalisasi dan mempermudah akses layanan kesehatan di daerah rural Indonesia, kehadiran smartphone dapat dimanfaatkan untuk kesehatan anak, misalnya penggunaan aplikasi seperti PrimaKu. Aplikasi pemantauan pertumbuhan anak dapat membantu orangtua dalam upaya deteksi dini jika anaknya mengalami gangguan pertumbuhan,” pungkas Prof. Aman.(Nik/OL-09)
WAKIL Gubernur Sulawesi Tengah, Reny A Lamadjido menyampaikan keprihatinannya atas masih tingginya angka stunting, meski ekonomi daerah menunjukkan tren positif.
Dengan harga telur berkisar Rp25.000–Rp30.000 per kilogram (sekitar 15–17 butir), sebenarnya sudah bisa memenuhi kebutuhan protein anak selama satu minggu.
ASRP berfokus pada optimalisasi 1.000 hari pertama kehidupan bagi anak usia 0–23 bulan di wilayah perkotaan dan perdesaan, salah satunya di Kota Bogor, Jawa Barat.
bila dibandingkan tahun 2024 dengan 2023 maka stunting berhasil diturunkan dari 4,8 juta menjadi 4,4 juta atau berhasil menurun 357.705 balita.
DISPARITAS prevalensi stunting antara provinsi masih sangat besar. Provinsi Bali menjadi provinsi terbaik dalam hal penurunan stunting, bahkan jauh di bawah angka nasional.
PREVALENSI stunting pada kelompok Kuintil 1 (Q1) atau yang relatif miskin jauh lebih tinggi, sekitar 26%. Sementara di kelompok Kuintil 5 (Q5) atau kelompok yang relatif lebih kaya hanya 13%.
Bukan hanya bermanfaat bagi kesehatan tulang saja, ternyata Vitamin K juga sangat memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan tubuh lainnya.
Penerapan intervensi pada pemaknaan kesehatan atau Health Belief Model dapat membantu efektivitas program kesehatan.
Membangun komunikasi terbuka dan transparan berdasarkan penelitian ilmiah menawarkan peluang nyata untuk memengaruhi pilihan gaya hidup merokok di antara penduduk Indonesia.
Beberapa penyakit kuno seperti Rabies, Trakoma, Kusta, TBC, dan Malaria masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia.
Menggunakan talenan yang sama untuk sayur dan daging bisa menyebabkan kontaminasi silang berbahaya seperti Salmonella. Simak tips mencegahnya berikut.
Adapun ruang lingkup kerja sama yang dilakukan yaitu pengembangan sistem klaim digital dan pengembangan sistem pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved