Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Para Penenun Beralih Profesi Menjadi Petani Untuk Bertahan Hidup

Alexander P. Taum
16/6/2020 19:55
Para Penenun Beralih Profesi Menjadi Petani Untuk Bertahan Hidup
Penenun di Desa Bomari. Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, NTT, menjadi petani agar bertahan hidup di tengan pandemi korona.(MI/Alaxander P.Taum)

JEMARINYA lincah mengurai benang tenunan di teras rumah sederhananya. Salah satu pengurus Komunitas Ine Jao, Sisilia Rawi, 41, mengisahkan, suaminya bekerja di Jakarta sejak tahun 2008 dan baru bisa pulang kerumahnya di Desa Bomari. Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, setiap empat atau lima tahun sekali.

Sisilia demikian dia biasa disapa ini, harus mengasuh sendiri ke tiga orang anaknya. Segala kebutuhan terasa makin tidak mencukupi saat pandemi korona. Ditambah lagi dengan berbagai kendala psikis lainnya yang kerap dialaminya diantaranya menjadi bahan ejekan.

"Saya kadang diejek ataupun menjadi bahan omongan tapi saya tidak mempedulikan itu, saya tetap fokus dengan kehidupan saya dan anak anak, karena hanya Tuhan dan saya yang tau sendiri," ujar Sesilia kepada mediandoindonesia.com, Selasa (16/6).

Meskipun setiap bulan mengirim uang, namun Ibu tiga anak ini berusaha memenuhi kekurangan tersebut dengan menenun sarung.

"Sejak wabah korona ini, otomatis beban kami tambah banyak. Suami saya punya penghasilan jadi makin kecil. Semoga saja dia tidak kena PHK. Jadi saya disini juga kerja keras karena biaya hidup semakin besar. Sekarang  hanya andalkan pergi kebun, karena mau jual kain tenun tidak laku, siapa mau beli? Tamu tidak ada, semua orang mengeluh soal uang, jadi sudah berapa bulan ini tidak ada penghasilan dari tenun," ujarnya

Menenun sarung merupakan mata pencaharian kaum perempuan di Bajawa. Untuk menghasilkan sebuah sarung dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu untuk menyelesaikannya dan harga sebuah sarung berkisar antara Rp400.000,- hingga R 700.000,-.

Inipun bila sudah ada pembelinya. Jika tidak, sarung tersebut bisa disimpan berbulan-bulan karena belum terjual. Apalagi dimasa pandemik covid 19 ini, hampir semua perputaran uang menjadi macet. Sesilia bingung apalagi kiriman dari suaminya sudah mulai berkurang dari biasanya.

Kini, Secilia dan ketiga anaknya yang sudah duduk di bangku SMA kelas III, SMP II dan TK, menghabiskan waktu ke kebun untuk menanam jagung dan ubi untuk kebutuhan sehari hari.

Hal yang sama juga dirasakan Veronika Beo (44) yang biasa disapa Vero. Suaminya bekerja di Kalimantan. Setiap hari Vero menghabiskan waktunya untuk menenun sarung. Meskipun bisa menghasilkan uang sendiri, namun dia masih bergantung pada kiriman uang dari suami.

Kebutuhan sehari-hari belum mencukupi apalagi anak anaknya sudah duduk di bangku SMA dan SMP. Di masa pandemik covid 19 ini, dirinya bersama anak anak menghabiskan waktu di kebun untuk menanam jagung. Karena dari usaha tenun sarung sudah tidak mencukupi karena tidak ada pasaran.

"Selama ini kami di kebun karena tenun sekarang sulit dipasarkan, jadi kami berkebun. Syukur masih bisa makan dari hasil kebun, meski bukan beras, dapat ubi dan jagung saja kami sangat bersyukur, kami tidak lapar," katanya

Komunitas Ine Jao

Sekelompok ibu migran di Langa ini sebelumnya telah tergabung dalam sebuah Komunitas bernama Ine Jao sejak Januari 2020. Mereka difasilitasi oleh beberapa pekerja Media, karena keprihatinan atas situasi ibu migran yang hidup tanpa suami yang merantau mencari
nafkah keluar daerah.

Para ibu migran ini terpaksa ditinggalkan suami karena kebutuhan ekonomi. Para Suami mereka pergi sebagai tenaga kerja di berbagai daerah baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan tujuan mengumpulkan rejeki guna menyambung hidup keluarga.

Program pendampingan yang dilakukan ini didukung oleh PPNM dan Citradaya Nita, telah melakukan berbagai kegiatan seperti penguatan kapasitas ibu Migran, Workshop Gender, pendampingan Psikologi, Pelatihan Jurnalis dengan membuka Media sosial khusus bernama Komunitas Ine Jao.

Berbagai program ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap mandiri dan tangguh bagi ibu migran untuk menghadapi tantangan sosial yang mereka rasakan selama ini dilingkungan kehidupan.

Pembentukan Komunitas ini juga dimaksudkan agar para ibu migran bisa bergabung dalam sebuah komunitas khusus yang bisa menjadi wadah ataupun ruang ekspresi dengan kesamaan latar belakang ataupun rasa.

Dengan kepengurusan yang jelas dan transparan, para ibu ini bersepakat untuk menjadikan wadah komunitas sebagai ruang untuk saling berbagi rasa sebagai wanita yang sudah berumahtangga dan hidup bersama masyarakat lainnya.

Dari pengakuan-pengakuan saat berbagi rasa dalam forum komunitas, tidak sedikit yang menyampaikan kegalauan karena kerap dijadikan bahan bullyan  dengan alasan tak hidup bersama suami. Pertemuan tersebut mendiskusikan  tentang Gender dan pemberdayaan perempuan yang dibawakan oleh Mari  Dolorosa NayBotha sebagai Ketua P2TP2A kabupaten Ngada juga ibu Lidwina  Dhiu sebagai Psikolog. (OL-13)

Baca Juga: FFI 2020 Digelar Secara Daring

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya