Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Kisruh TVRI, Ini 6 Ketidakpatutan Dewas Hasil Audit BPK

Putra Ananda
26/2/2020 18:45
Kisruh TVRI, Ini 6 Ketidakpatutan Dewas Hasil Audit BPK
Gedung TVRI, beberapa waktu lalu.(Antara)

BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan laporan ke DPR RI terkait hasil pemeriksaaan kinerja kepatutan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI.

Anggota III BPK Achsanul Qosasi di Jakarta, Rabu (26/2), menjelaskan terdapat 6 temuan ketidakpatutan Dewas TVRI dalam menjalankan tugas sehingga perlu mendapat tindak lanjut dari DPR.

"Ada enam temuan yang cukup signifikan yang menurut hemat kami perlu segera ditindaklanjuti," tutur Achsanul.

Baca juga: DPR Hentikan Seleksi Dirut TVRI

Achsanul mejelaskan berbeda dengan pemeriksaan investigasi yang berujung kepada kerugian negara, BPK hanya memeriksa kinerja kepatutan Dewas TVRI terhadap peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh negara.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menilai ada ketidakpatutan Dewas terhadap regulasi yang sudah dibuat, baik regulasi dari presiden, menteri, hingga regulasi yang dibuat sendiri oleh Dewas.

"Hasilnya adalah kita menilai ketidakpatuhan terhadap aturan beberapa hal yang kita sampaikan kepada parlemen. Jadi ini bukan pemeriksaan PDTT atau pemeriksaan investigasi yang ujungnya kepada kerugian negara," tuturnya.

Baca juga: Istana Kecewa Pemecatan Helmy, Dewas TVRI: Besok Rapat dengan DPR

Salah satu temuan yang dijelaskan oleh Achsanul ialah belum memadainya aturan perundang-undangan yang mengatur LPP TVRI yakni PP No.14/2005. Pada pasal 7 huruf d misalnya terkait tugas Dewas memberhentikan Dewan Direksi.

"Dewas membuat suatu aturan yang tidak sesuai dengan UU dan peraturan pemerintah (PP), sehingga menimbulkan konflik antara direksi dan Dewas. Karena peraturan itu mengikat direksi, sehingga direksi merasa itu tidak sesuai dengan PP," paparnya.

Menurut BPK, Dewas menambahkan instrumen hasil penilaian kinerja dewan direksi yang disebut BPK bersifat subjektif. Pasalnya, penilaian tetap bisa bervariasi meski kinerja dewan direksi mencapai 100%.

Temuan kedua, terkait Pasal 18 ayat (1) yang mengatakan Dewas adalah jabatan noneselon. Pasal tersebut kemudian diterjemahkan bahwa Dewas merupakan jabatan setingkat menteri dan kepala BPK. Dengan tafsir sendiri tersebut, Dewas bisa mengalokasikan tunjangan transportasi sebesar Rp5 juta per bulan dan akomodasi tiket penerbangan kelas bisnis.

“Temuan ini menunjukkan adanya ketidakharmonisan antara aturan perundang-undangan dengan aturan yang diciptakan internal TVRI sehingga menimbulkan konflik," papar Achsanul.

Temuan selanjutnya adalah ketentuan Dewas No.2/2018 tidak sesuai dengan PP No.13/2005. Dalam ketentuan Dewas itu, kewenangan Dewas menjadi bertambah. Misal, bisa mengangkat tenaga ahli, padahal tidak diatur dalam PP No.13/2005.

Dewas juga berhak mengajukan pertanyaan, akses data dan informasi serta melakukan pemantauan kerja. Kewenangan ini, kata BPK, tumpang tindih dengan tugas satuan pengawasan intern TVRI.

Baca juga: Jokowi Disebut Kecewa Atas Pemecatan Helmy Yahya

Kemudian, Dewas juga ternyata bisa menetapkan besaran gaji dan tunjangan Dewan Direksi. Padahal pedoman besaran gaji sudah diatur dalam surat menteri keuangan No.566/MK.02/2017.

“Penambahan wewenang Dewas menjadikan kegiatan operasional terganggu dan menjadi lambat, serta berpotensi timbul konflik hubungan kerja antara Dewas dan Direksi,” imbuhnya.

Dewan TVRI (LPP TVRI) memberhentikan Helmy Yahya dari jabatan Direktur Utama TVRI berdasarkan surat Dewan Pengawas bernomor 8/DEWAS/TVRI/2020 yang tersebar di publik.

Dewan Pengawas menegaskan tidak menerima surat pembelaan diri secara tertulis (SPRP) dari Helmy Yahya pada 17 Desember 2019. Surat itu ditulis Helmy menanggapi surat Dewas nomor 239/DEWAS/TVRI/2019 tentang rencana pemberhentian Helmy Yahya.

Dewas LPP TVRI juga menilai adanya ketidaksesuaian pelaksanaan rebranding TVRI dengan rencana kerja yang ditetapkan dalam RKAT dan RKA-KL LPP TVRI yang menyebabkan honor Satuan Kerja Karyawan TVRI tidak terbayar tepat waktu.

Dewas juga menyadur sejumlah dokumen pemeriksaan seperti Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang menyebut program-program di bawah Helmy Yahya yang tercantum dalam SPRP belum sesuai ketentuan, Helmy juga dinilai melakukan mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN. (X-15)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian
Berita Lainnya