Perangi Bersama Hoaks dan Ujaran Kebencian agar Pemilu 2019 Damai

Micom
04/3/2019 20:35
Perangi Bersama Hoaks dan Ujaran Kebencian agar Pemilu 2019 Damai
(Ist)

PERKEMBANGAN teknologi informasi (IT) dan tingginya penggunaan media sosial kini semakin mempermudah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. 

Namun, dengan kemauan dan tekad bersama untuk menggunakan medsos secara lebih bijaksana dan didukung dengan pemahaman akan fakta yang sebenarnya, tentu masyarakat tidak akan mudah terpengaruh oleh sebuah hoaks maupun ujaran kebencian yang ada. 

Seperti disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPPI), Arif Fahrudin, di Jakarta, baru-baru ini. 

Menurut Arif, tahun politik saat ini ibarat ombak besar karena terdapat gelombang-gelombang kecil di dalamnya, yakni gabungan  pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) meliputi DPD, DPRD, DPRD kabupaten/kota, dan DPR RI, serta Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang semuanya menjadi satu atau dilaksanakan pada hari bersamaan). 

Eskalasi politik semakin meninggi, ditambah dengan apalagi penggunaan media massa dan medsos yang sedang tinggi-tingginya.  Semua pihak harus terpanggil dan dipastikan bersama untuk mendukung Pemilu 2019 damai. 

Penyelenggara negara beserta elemen-elemen masyarakat maupun ormas harus sama-sama aktif mewujudkan pemilu yang damai dan menyenangkan, bukan justru pemilu yang saling curiga saling intimidasi.

Pihaknya menganggap pemilu ini sebagai suatu media atau wasilah terwujudnya proses penyelenggaraan negara yang good governance, karena dengan demikian umat Islam sendiri akan menemukan rahmatnya, ibadahnya tenang karena difasilitasi kehidupan agamanya oleh negara yang terselenggara dengan baik.

Ia menilai jika penyelenggara negara tidak mampu menyelenggarakan pemilu dan memfasilitasi kehidupan beragama terselenggara dengan baik, maka yang akan terjadi adalah kekacauan (chaos) antarkehidupan umat beragama dan umat Islam itu sendiri.

"Saya melihat dengan dua indikator tadi, pengguna medsos semakin banyak tapi literasi atau pendidikan politik yang ada kurang berjalan, buktinya masih ada hoax dan hate speech," ungkap Arif yang juga memimpin Pondok Pesantren Hasbyallah di kawasan Klender, Jakarta Timur, dalam keterangannya, Senin (4/3). 

Meski hoaks dan ujaran kebencian masih banyak ditemukan, pihaknya masih percaya bahwa masyarakat semakin cerdas dalam mengonsumsi informasi sehat dan positif, yang sifatnya tidak mencerai-beraikan tetapi justru mempersatukan. 

Itulah modal masyarakat yang sehat dan positif. Menurut Arif, upaya yang serius untuk melakukan literasi dari medsos yang positif juga harus diadakan. 

 

Baca juga: Akses Internet di Kalangan Perempuan masih Rendah

 

Ormas-ormas kepemudaan ataupun ormas lainnya harus memiliki kesamaan pandangan dalam menggunakan medsos. Semua harus bergerak dan harus membahas perihal yang sama bahwa berperilaku di dunia maya atau  medsos harus sama dengan berperilaku di dunia nyata.

Selain itu juga harus diiringi dengan penegakan hukum yang jelas untuk memberikan efek Jera kepada pihak-pihak yang hobi atau akan mengeluarkan hal-hal negatif, sehingga mereka harus berpikir ulang saat hendak menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian. 

"Kalau di dunia nyata ustaz bilang jangan suka fitnah, maka jangan sebar fitnah di dunia maya," saran Arief yang juga seorang ustaz dan penulis.

Ia juga memberikan apresiasi dan dukungan penuhnya terhadap aparat kepolisian yang sigap dan tegas dalam menangani kasus-kasus hoaks belakangan ini.

Pendapat senada juga disampaikan Wakil Ketua MPII lainnya, Nur Khamin, yang setuju dengan adanya literasi/kesadaran dalam membaca situasi yang diprakarsai oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam menyikapi sebuah kabar bohong atau hoaks. 

Langkah ini, menurutnya, sebaiknya didukung juga oleh aplikasi internet yang mampu menyaring hoaks. Ajang konsultasi dan berbagi antarmasyarakat pengguna medsos pun perlu dilakukan sebelum pelaksanaan pemilu demi menghindari efek negatif. Sementara masyarakat hendaknya mampu memviralkan hal-hal yang positif dengan medsos.

"Energi masyarakat medsos sebaiknya jangan hanya terfokus pada urusan pemilu, kalaupun tentang pemilu jadikankah semacam wisata pemilu yang berlangsung lima tahun sekali dan berisikan hal-hal yang meggembirakan, jangan hanya tersedot pada hiruk-pikuknya pemilu," ujar Nur.

Dalam pandangan Nur, pengguna, penyebar, dan konsumen hoaks pada umumnya justru masyarakat yang memiliki smartphone. 

Sedangkan masyarakat umum yang lebih banyak menonton televisi atau media massa lainnya justru minim termakan hoaks. 

Jabodetabek khususnya Jakarta menjadi ukuran/parameter pelaksanaan pemilu, karena itu jika pelaksanaan pemilu diharapkan bisa berjalan damai maka perlu diadakan kerja sama yang membangun dari berbagai pihak, baik ormas, perwakilan masyarakat lintas suku, media massa, pemerintah maupun penyelenggara pemilu. 

"Saya ingin ada semacam roadshow keliling untuk membahas perkembangan/isu terkini, jangan sampai pemilu menjadi gaduh. Untuk itu mitra Babinsa dan Pemprov juga perlu dilibatkan agar dapat mengantisipasi hal-hal buruk yang terjadi di masyarakat sekaligus menjadi penyambung pelaksanaan kebijakan-kebijakan Pemerintah agar terimplementasi hingga kelapisan masyarakat," harapnya. 

Nur merespons positif upaya pemerintah yang berusaha melibatkan kalangan pemuka agama (ustaz dan mubaligh) untuk ikut terlibat dalam menjaga kedamaian Pemilu 2019.

"Indonesia mini ada di Jakarta, dan temperamen yang mewakili tiap suku banyak berada di Jakarta, sehingga Jakarta menjadi barometer pelaksanaan pemilu," tutupnya. (RO/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya