Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
PENTING meningkatkan kesadaran tentang bahaya ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial. Generasi muda mesti memperoleh pemahaman lebih baik mengenai dampak negatif dari ujaran kebencian dan diskriminasi, baik terhadap individu maupun masyarakat luas, terutama di ruang digital.
Koordinator Social Justice Indonesia, Satya Azyumar, menyebut bahwa ujaran kebencian kerap merujuk pada ungkapan yang menyerang, merendahkan, atau menghasut kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu, seperti etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau identitas lain yang melekat pada mereka. "Definisi ini sering kali mencakup pernyataan yang mengandung ancaman, penghinaan, atau stereotip yang menargetkan kelompok tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit," kata Satya Azyumar dalam webinar dengan tema Menangkal Ujaran Kebencian dan Diskriminasi di Media Sosial yang digelar Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, belum lama ini.
Hal senada diutarakan penggiat media sosial bidang sosiologi Sarah Nelson pada kesempatan yang sama. Mengutip UNESCO, ujaran kebencian merupakan bentuk ekspresi yang menyerang individu atau kelompok berdasarkan atribut tertentu seperti ras, agama, atau gender. "Sementara diskriminasi merupakan tindakan tidak adil terhadap individu atau kelompok berdasarkan perbedaan yang dimiliki," kata Sarah Nelson, mengutip Amnesty International.
Sarah Nelson menambahkan, penyebab ujaran kebencian dan diskriminasi muncu karena dua faktor. Pertama faktor psikologis berupa prasangka dan stereotip yang sudah terbentuk. Yang kedua ialah faktor sosial, mengutip Journal of Social Media Studies pada 2021, disebutkan bahwa algoritma media sosial memperkuat polarisasi informasi.
Media sosial menciptakan kondisi lingkungan sosial hanya terpapar pada pandangan, opini, dan informasi yang serupa dengan keyakinan mereka sendiri. Algoritma media sosial dirancang untuk meningkatkan interaksi pengguna, cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, memperkuat keyakinan yang sudah ada, dan menyaring informasi yang bertentangan. "Akibatnya, individu sering terjebak dalam 'gelembung' informasi yang homogen," kata Sarah.
Masalahnya, kata Sarah Nelson, ujaran kebencian dan diskriminasi yang terjadi di media sosial memiliki dampak yang sangat luas. Secara psikologis, ini akan memberikan tekanan mental yang mendalam seperti kecemasan, depresi, dan trauma. Juga harga diri dan keamanan emosional dapat menurun drastis (Journal of Psychological Impact, 2020). "Penyebaran ujaran kebencian dan diskriminasi dapat mengganggu harmoni dan persatuan masyarakat. Memicu konflik sosial di dunia nyata," tambah Sarah Nelson.
Satya Azyumar menjelaskan, untuk menangkal ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial dibutuhkan strategi yang tepat, di antaranya melakukan edukasi dan literasi digital, aktif melaporkan konten-konten negatif, mendorong pemerintah menindak tegas pelaku ujaran kebencian. "Serta mendorong pemerintah membuat kebijakan yang melindungi kelompok identitas yang rentan dan marginal," tambah Satya Azyumar.
Sarah Nelson memberikan cara agar kita terhindar dari aksi ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial, di antaranya dengan menghargai perbedaan, kritis dalam menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi, serta jangan mudah emosi, dan berani melaporkan maupun memblokir akun pelaku hingga melaporkan ke pihak berwenang.
"Peran masyarakat sangat penting dalam meminimalisasi terjadi ujaran kebencian dan diskriminasi, di antaranya dengan partisipasi aktif dalam melaporkan konten yang mengandung ujaran kebencian dan diskriminasi, serta mendorong budaya diskusi sehat dan saling menghormati antarpengguna media sosial," jelas Sarah Nelson.
Selain itu peran pemerintah diharapkan, terutama dalam penegakan hukum yang tegas dan penyediaan fasilitas pengaduan terhadap pelaku ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial yang mudah diakses. (Z-2)
Metode penipuan digital menjadi semakin canggih, termasuk pemalsuan wajah (deepfake), tiruan suara, hingga tanda tangan elektronik yang hampir tidak bisa dibedakan dari yang asli.
"Kami tegaskan bahwa tidak ada satu pun regulasi di Indonesia yang memperbolehkan penjualan pulau kecil."
Pagelaran wayang golek, menghadirkan Ki Dalang Yogaswara Sunandar Giri Harja 3 Putra, di lapang Alun-alun, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut.
PEMERINTAH melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mempercepat migrasi dari SIM ke eSIM.
Andina mengingatkan kembali jajaran Komdigi terkait permasalahan Blankspot yang terjadi di Kalimantan Tengah.
MENTERI Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan pihaknya akan mengambil langkah tegas apabila permainan berburu 'harta karun' bernama Koin Jagat terbukti melanggar aturan
Devita Oktavia D hadir sebagai konten kreator hukum yang menyajikan edukasi hukum secara ringan, singkat, dan menyenangkan lewat media sosial.
PEMILIK media sosial X (dulu Twitter), Elon Musk, mengatakan bahwa pihaknya menemukan arsip video untuk aplikasi video pendek Vine, yang diduga telah dihapus.
KETEGANGAN antara Amerika Serikat dan Rusia kembali meningkat dipicu oleh saling serang antara Presiden AS Donald Trump dan Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, di media sosial.
SETIAP tanggal 1 Agustus, media sosial dipenuhi ucapan penuh kasih bertuliskan Happy Girlfriend Day. Peringatan ini sejatinya ialah bentuk apresiasi bagi para perempuan hebat di hidup.
Australia larang anak di bawah 16 tahun akses YouTube, TikTok, dan media sosial lainnya mulai Desember 2025.
Media sosial adalah teknologi berbasis internet yang memfasilitasi komunikasi dua arah, membangun komunitas, dan berbagi konten antara individu atau kelompok secara real-time.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved