Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Wanita Tangguh di Balik Aksi Protes Petani India

Atikah Ishmah Winahyu
17/1/2021 02:25
Wanita Tangguh di Balik Aksi Protes Petani India
Seorang perempuan berdiri di depan truk saat para petani berdemonstrasi menentang reformasi UU pertanian.(AFP/Sajjad HUSSAIN)

BALJIT Kaur, 50, telah bertani hampir sepanjang hidupnya di Punjab, India. Baginya, bercocok tanam dan merawat tanah ialah berkah dan lebih dari sekadar profesi.

Pada hari-hari biasa, Baljit akan menghabiskan waktu berjam-jam di ladang, menabur benih, dan mempersiapkan panen. Pekerjaan itu tidak mudah, tetapi dia mendedikasikan hidupnya untuk itu.

Namun, kini dia tidak berada di ladangnya, tetapi di pinggiran ibu kota India, New Delhi, di perbatasan Tikri, yakni dia dan banyak petani lainnya melakukan perjalanan ratusan kilometer untuk memprotes undang- undang pertanian yang baru yang disahkan pada September lalu.

“Kami memprotes tanah kami, melawan kali kanoon (hukum hitam) yang diperkenalkan Modi,” kata Baljit.

Wanita itu khawatir undang-undang baru akan membahayakan kepemilikan tanah yang telah menjadi milik keluarganya selama beberapa generasi dan dia bertekad untuk menetapkan hak ini.

Ketiga undang-undang yang dirancang untuk menderegulasi sektor pertanian tidak mencantumkan harga dukungan minimum (MSP), harga minimum yang dijamin oleh pemerintah agar petani dapat menjual hasil panennya. Tanpa jaring pengaman ini, petani khawatir mereka harus berpartisipasi dalam pertanian kontrak dengan perusahaan swasta, yakni perusahaan-perusahaan ini menentukan bagaimana petani tumbuh dan harga jualnya. Undang-undang juga menghapus batasan pada perusahaan yang membeli tanah dan menimbun barang.

Sementara itu, Perdana Menteri Narendra Modi berpendapat bahwa undangundang ini akan memodernisasi sektor pertanian, petani berkeras bahwa tanpa jaminan MSP, membuka pasar untuk mengontrak pertanian dan privatisasi massal akan membuka jalan untuk eksploitasi kelompok yang sudah rentan.


 

Wanita bekerja lebih keras

Meski laki-laki mendominasi citra publik dari para petani yang melakukan protes di India, perempuan juga banyak di sana. Faktanya, petani perempuan akan menjadi salah satu yang paling terpengaruh oleh undang-undang baru tersebut.

Menurut Mahila Kisan Adhikaar Manch (MAKAAM), forum India yang mengampanyekan hak-hak petani perempuan, 75% dari semua pekerjaan bertani dilakukan oleh perempuan. Namun, mereka hanya memiliki 12% lahan.

Kavitha Kuruganti dari MAKAAM mengatakan kurangnya kepemilikan tanah membuat petani perempuan tidak terlihat.

Tanpa tanah, mereka tidak diakui sebagai petani meskipun kontribusinya besar di sektor ini dan marjinalisasi ini membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi oleh perusahaan besar di bawah undangundang baru.

Kurangnya perlindungan dari pemerintah untuk penetapan harga akan memperlebar kesenjangan gender dalam pertanian karena premis persaingan yang meningkat, mengasumsikan bahwa perempuan dapat berdagang semudah laki-laki ketika mereka menghadapi batasan yang lebih besar, seperti aksesibilitas ke transportasi dan tanggung jawab untuk tugas di rumah.

Kulwinder Kaur dan Parminder Kaur ialah dua petani wanita yang telah menempuh perjalanan sejauh 645 km (400 mil) dari Jalandhar, Punjab ke Tikri. Mereka mendirikan kemah di trailer truk yang diparkir, tempat mereka duduk dengan pengunjuk rasa wanita lainnya.

“Ketika tidak akan ada tarif tetap atau mandi (pasar), bagaimana kami akan memberi makan anak-anak kami rotis (roti) dan bagaimana kami akan menjualnya?” Kulwinder bertanya.

“Tidak ada pekerjaan yang mudah, Anda harus bekerja untuk makan. Namun, jika setelah bekerja kita masih tidak bisa makan, itu benar-benar salah,” tambah Parminder.

Sonia Mann, seorang aktris dan aktivis sosial dari Punjab, juga datang untuk melakukan protes bersama para petani. “Saya ialah putri kissan (petani),” katanya.

“Ayah saya ialah seorang pemimpin serikat dan dia mengorbankan hidupnya demi petani, itulah mengapa saya ada di saat ini,” tambahnya.


Gas air mata dan meriam air

Retorika dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India menggambarkan para petani yang berdemo sebagai antinasional dan beberapa bahkan menyebut mereka teroris.

“Mereka hanya ingin merusak protes kami,” kata Sonia.

Dia yakin pemerintah dan media mencoba untuk salah menafsirkan pesan protes sebagai protes yang religius dan antinasional.

Sementara itu, para pengunjuk rasa marah dan bertekad. Mereka juga berhatihati dan sabar. Mereka sangat berhati-hati tentang siapa yang mereka izinkan untuk berbicara atas nama mereka. Setiap penyebutan ‘Khalistan’ (gerakan separatis Sikh) dapat berdampak berbahaya pada agenda mereka dan memberi media dan pemerintah kesempatan untuk salah menafsirkan demo.

“Memiliki opini itu tidak antinasional, opini tidak membuatnya salah,” kata Nikita Jain, jurnalis yang meliput aksi protes di lapangan.

“Bagaimana bisa menyebut petani kita sendiri, nasionalis terbesar sebagai antinasional? ” ujarnya ironis.

Jain menekankan betapa damainya protes itu dan bagaimana petani diperlakukan tanpa keadilan meskipun kebaikan yang mereka tunjukkan.

Meskipun demikian, gas air mata dan meriam air telah dihadapi pada pengunjuk rasa damai, termasuk pengunjuk rasa lanjut usia.

“India dikenal sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dan apa yang terjadi selama protes damai ini ialah pelanggaran hak asasi manusia yang sama sekali,” ujar Jassi.

Jain menggambarkan apa yang dia saksikan pada 26 November ketika para pengunjuk rasa berusaha untuk memasuki Delhi dengan damai, tetapi bertemu dengan kebrutalan polisi.

“Orang punya hak untuk protes,” bantahnya. “Itu tidak berarti pemerintah mengalahkan mereka. “Kami memiliki lutut di leher mereka. (Aljazeera/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya