Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Wamen PKP Fahri Hamzah: Kebijakan Perumahan Harus Berbasis Data Tunggal

 Gana Buana
25/8/2025 22:03
Wamen PKP Fahri Hamzah: Kebijakan Perumahan Harus Berbasis Data Tunggal
Wamen PKP, Fahri Hamzah.(Dok. MI)

WAKIL Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, menegaskan bahwa kebijakan perumahan nasional harus dibangun di atas data tunggal yang akurat. Hal itu merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang menurutnya menjadi landasan penting agar intervensi sosial dan pembangunan perumahan dapat tepat sasaran.

“Kalau data kita berbeda-beda, keputusan kita juga berbeda dan akhirnya program salah sasaran. Karena itu penting sekali mendasarkan kebijakan pada data by name by address,” ujar Fahri dalam paparannya, Senin (25/8).

Ia juga menyoroti persoalan serius yang disebutnya sebagai 'double backlog', yaitu kondisi sekitar enam juta keluarga yang tidak memiliki rumah sendiri sekaligus tinggal di rumah yang tidak layak huni. Situasi ini, tegasnya, seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan publik, sebab menyangkut kebutuhan dasar masyarakat yang hingga kini masih terabaikan.

Fahri menjelaskan bahwa pendekatan kebijakan perumahan harus mempertimbangkan perbedaan kondisi di desa, kota, dan kawasan pesisir. Di perdesaan, mayoritas masyarakat memang sudah memiliki tanah dan rumah, tetapi banyak di antaranya tidak layak huni sehingga membutuhkan program renovasi.

Sementara di perkotaan, keterbatasan lahan mendorong kebutuhan hunian vertikal dengan model serupa HDB Singapura yang dinilai relevan untuk diadopsi. Adapun di kawasan pesisir dan pemukiman kumuh, pemerintah berupaya memanfaatkan tanah milik negara di bantaran sungai maupun pantai untuk membangun rumah layak sekaligus menata kawasan.

Menurut Fahri, ketersediaan tanah negara menjadi faktor strategis karena mampu menekan harga rumah hingga 50%. Dengan begitu, masyarakat berpenghasilan rendah dapat mengakses hunian yang lebih terjangkau tanpa terbebani biaya lahan yang tinggi.

Lembaga Off-Taker

Selain masalah lahan dan desain pembangunan, Fahri juga menekankan pentingnya memperkuat infrastruktur data dan menghadirkan lembaga off-taker yang berfungsi sebagai penjamin pasar perumahan rakyat. Dengan keberadaan off-taker di bawah kendali pemerintah, para pengembang tidak perlu khawatir soal pembiayaan dan pemasaran, sementara masyarakat mendapat jaminan akses terhadap hunian.

“Selama ini kita terlalu fokus pada pembiayaan lewat skema swasta. Padahal yang lebih mendasar adalah data dan off-taker. Kalau dua ini kuat, pembiayaan akan mengikuti,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Fahri meminta The HUD Institute, sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak independen di bidang advokasi perumahan dan permukiman, untuk lebih lantang menyuarakan kepentingan publik.

Ia menilai kritik terhadap program Kementerian PKP perlu diperkuat agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya mengejar target angka backlog, tetapi juga mampu menyentuh akar persoalan.

“Saya melihat HUD ini kurang keras bersuara. Kita ingin program Kementerian PKP ini lebih keras dikritisi. Harus diingat penataan kebijakan perumahan tidak boleh hanya fokus pada angka backlog, tetapi harus menyentuh akar persoalan berupa kemiskinan, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto, menegaskan bahwa pembenahan regulasi, penguatan data permintaan, serta dukungan pembiayaan inovatif menjadi kunci untuk mempercepat penyediaan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Ia menilai diskursus perumahan selama ini lebih banyak berfokus pada aspek keuangan dan suplai, sementara sisi regulasi serta permintaan (demand) masih kurang mendapat perhatian.

“Saat ini, Indonesia belum memiliki peta permintaan hunian yang lengkap berbasis by name, by address, sehingga sulit untuk menentukan lokasi dan segmen penerima secara presisi,” ujar Zulfi.

Ia mengingatkan bahwa pasar perumahan kini menghadapi anomali berupa backlog tinggi di satu sisi, namun stok rumah banyak yang tidak terjual. Kondisi tersebut, menurutnya, merupakan konsekuensi dari desain kebijakan yang tidak membaca persoalan secara menyeluruh.

Hari Perumahan Nasional, tambah Zulfi, harus menjadi momentum untuk memperbaiki arah kebijakan agar benar-benar menyentuh rakyat, bukan sekadar angka statistik.

Anggota Dewan Pembina The HUD Institute, Ali Kusno Fusin, menambahkan bahwa tantangan terbesar justru dialami oleh kelompok masyarakat sektor informal. Menurutnya, meski memiliki pendapatan cukup, kelompok ini kerap kesulitan mengakses pembiayaan perumahan karena tidak tercatat dalam sistem keuangan formal.

Sementara itu, kelompok formal relatif lebih mudah mendapatkan akses pembiayaan.

“Ini harus menjadi perhatian bersama,” tegasnya.

Ketua Umum Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I), Lukman Hakim, dalam kesempatan yang sama menilai pemerintah perlu segera melakukan revisi terhadap beberapa regulasi prioritas.

Menurutnya, perubahan regulasi mutlak diperlukan agar program perumahan benar-benar tepat sasaran, baik bagi kelompok formal maupun informal.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar The HUD Institute, Harun Al-Rasyid, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mengurai kompleksitas kebijakan perumahan yang sarat dengan kepentingan, mulai dari aspek sosial, hukum, hingga infrastruktur kota.

“Konflik kepentingan dalam sektor perumahan wajar terjadi, tapi harus dikelola dengan dialog yang konstruktif. Tidak ada solusi tunggal, melainkan perlu perumusan bersama agar masyarakat dapat segera memperoleh hunian layak dan terjangkau,” ujarnya.

Pada peringatan Hari Perumahan Nasional (Hapernas) 2025 yang dipusatkan di Bandung, The HUD Institute juga meluncurkan program HUD Academia. Program ini digagas sebagai wadah berhimpun akademisi, peneliti, dan praktisi, yang berfungsi sebagai ruang kolaboratif untuk mengintegrasikan pengetahuan dan inovasi dalam menjawab tantangan penyediaan hunian layak di Indonesia. Melalui wadah ini, The HUD Institute berharap dapat mensinergikan pemikiran akademik sehingga memperkaya perumusan kebijakan publik, sekaligus menjadi jembatan antara dunia kampus, pemerintah, dan industri.

Acara Hapernas tahun ini menghadirkan dua agenda utama, yakni penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara The HUD Institute, City University Malaysia, dan 25 perguruan tinggi swasta di Indonesia, serta gelar wicara nasional dengan tiga subtopik yang menyoroti reformasi kebijakan perumahan dan pembangunan perkotaan. (Z-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya