Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Utang Indonesia Tembus Rp1.433 T di 2026, Pemerintah harus Waspada

Insi Nantika Jelita
16/8/2025 17:52
Utang Indonesia Tembus Rp1.433 T di 2026, Pemerintah harus Waspada
Ilustrasi(Antara)

Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Riza A Pujarama mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai meningkatnya beban utang pada 2026. Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diolah Indef, total utang yang harus dibayar pemerintah pada 2026, baik pokok jatuh tempo maupun bunga, mencapai Rp1.433,40 triliun. Angka itu lebih tinggi dibandingkan 2025 yang hanya Rp1.352,48 triliun.

Rinciannya, utang pokok jatuh tempo pada 2026 sebesar Rp833,96 triliun, melonjak dari Rp800,33 triliun pada tahun sebelumnya. Sementara itu, beban bunga utang juga naik dari Rp552,15 triliunpada 2025 menjadi Rp599,44 triliun pada tahun depan.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pembayaran bunga utang diproyeksikan setara dengan 22,27% penerimaan perpajakan, 19,11% pendapatan dalam negeri, 19,05% belanja pemerintah pusat, serta 15,83% belanja negara.

“Kalau kita bandingkan beban utang ini terhadap belanja belanja negara, pendapatan dalam negeri, maupun penerimaan perpajakan, porsinya sangat tinggi. Ini perlu menjadi perhatian dan pertimbangan serius pemerintah,” ujar Riza dalam diskusi publik Indef bertajuk Tanggapan Atas Nota Keuangan RAPBN 2026, Sabtu (16/8).

Menurutnya, berutang memang wajar karena hampir semua negara melakukannya. Namun, yang lebih penting adalah memperhatikan beban utang yang ditanggung. Indonesia memang menargetkan rasio utang pada level 39,96% terhadap PDB, jauh lebih rendah dibanding Amerika Serikat yang di atas 100%. Akan tetapi, kapasitas ekonomi dan kemampuan membayar tiap negara berbeda, terlebih dibandingkan dengan negara maju. Karena itu, kemampuan Indonesia untuk menanggung beban utang dan bunganya harus diperhitungkan secara hati-hati.

Riza kemudian menekankan, beban bunga utang yang hampir Rp600 triliun pada 2026 memiliki opportunity cost atau biaya yang dikorbankan secara besar. Jika dana sebesar itu dialihkan, pemerintah bisa membiayai program prioritas, misalnya makan bergizi gratis (MBG) secara optimal, atau kebutuhan belanja produktif lain.

Masalah lainnya muncul ketika Presiden Prabowo Subianto berencana menarik utang baru sebesar Rp781,86 triliun pada 2026, tertinggi sejak pandemi. Pembiayaan ini akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman.

“Konsekuensinya, beban utang semakin berat, terutama dari sisi bunga,” jelas Riza.

Ia juga mengingatkan risiko pembebanan generasi mendatang apabila pembiayaan utang tidak dikelola hati-hati. Salah satu kekhawatirannya adalah jika pemerintah akhirnya terpaksa menaikkan tarif pajak. Padahal, target rasio pajak 2026 sebesar 10,47% dinilai terlalu optimistis, mengingat outlook masih 10,08% dan tren penerimaan pajak menurun sejak 2023.

"Sementara, ketergantungan pada ekspor komoditas membuat penerimaan pajak rentan anjlok saat harga turun," jelasnya.

Dengan kondisi ini, Riza menekankan, beban utang yang kian meningkat di tengah pendapatan yang menyusut menjadi alarm serius. Pemerintah perlu segera mendorong produktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat, khususnya di sektor riil yang memiliki dampak berganda besar bagi perekonomian nasional.

Dalam kesempatan sama, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M Rizal Taufikurahman menyatakan, pemerintah menargetkan lonjakan pendapatan negara yang signifikan pada 2026, mencapai Rp3.147,7 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan target tahun 2025 sebesar Rp2.996,9 triliun.

Lonjakan pendapatan tersebut terutama ditopang oleh penerimaan pajak, khususnya dari sektor nonmigas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, Rizal menekankan struktur pendapatan ini masih rentan terhadap fluktuasi global, karena ketergantungan pada sektor Migas, Minerba, dan cukai yang tetap tinggi.

"Oleh karena itu, implementasi reformasi perpajakan yang lebih kuat menjadi penting," tegasnya.

Reformasi ini diharapkan memperluas basis penerimaan dan memastikan kenaikan yang signifikan, sekitar Rp300 triliun dari pajak, dapat tercapai meskipun daya beli masyarakat masih melambat.

Rizal menambahkan, meski pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2025 berada di atas 5%, konsumsi rumah tangga masih di bawah 5%. Hal ini menunjukkan meskipun penerimaan melalui PPN cukup tinggi, kondisi konsumsi masyarakat perlu diperhitungkan agar target pendapatan negara dapat dicapai.

"Tentu ini menjadi hal yang harus dipertimbangkan untuk mewujudkan target-target tersebut," pungkasnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya