Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
PENERBITAN surat edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025, baru-baru ini, telah memicu kekhawatiran serius di kalangan pemegang polis asuransi. Aturan ini disinyalir berpotensi menimbulkan beban ganda yang harus ditanggung oleh para nasabah.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University Syamsul Hidayat Pasaribu menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk menjawab dua tantangan utama dalam penyelenggaraan asuransi kesehatan, yaitu meningkatnya biaya layanan medis yang jauh melampaui inflasi umum, dan mengatasi ketidakseimbangan risiko antara penyelenggara asuransi dan peserta.
Menurut Syamsul, biaya kesehatan mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun, bahkan mencapai lebih dari 10%, sementara inflasi umum berada di kisaran 2%–3%.
Inflasi kesehatan terutama disebabkan peningkatan harga obat-obatan dan alat-alat kesehatan yang sebagian besar masih impor. Oleh karena itu, OJK mendorong adanya pembagian beban atau cost sharing antara perusahaan asuransi dengan peserta melalui skema copayment.
"Tujuan utamanya adalah mendorong akuntabilitas baik dari pihak asuransi maupun rumah sakit, sekaligus meningkatkan kesadaran peserta dalam memilih layanan kesehatan yang efisien dan berkualitas," jelas Syamsul.
Melalui kebijakan copayment ini, peserta diwajibkan menanggung sebagian kecil dari biaya layanan kesehatan yang diklaim.
Untuk layanan rawat jalan, peserta membayar minimal 10% dari total biaya, dengan batas maksimum Rp300.000. Adapun untuk rawat inap, batas maksimum copayment ditetapkan sebesar Rp3.000.000.
Selain itu, kebijakan ini juga mewajibkan perusahaan asuransi memiliki Dewan Penasehat Medis (DPM) untuk memastikan klaim yang diajukan sesuai dengan standar medis dan akuntabel.
Namun demikian, Syamsul menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini harus dilihat dari efektivitasnya dalam mengendalikan premi.
"Kalau setelah copayment diberlakukan, premi tetap naik setiap tahun, berarti kebijakan ini belum cukup efektif," ujarnya.
Lebih lanjut, OJK juga mendorong koordinasi manfaat (coordination of benefits) antar penyelenggara jaminan, termasuk antara perusahaan asuransi komersial, asuransi syariah, dan penyelenggara jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan.
Kolaborasi ini, yang diatur dalam Bab VI dan VII surat edaran tersebut, diharapkan dapat memperluas akses dan efisiensi sistem asuransi secara keseluruhan.
"Efektivitas kebijakan copayment ini akan terus dievaluasi. Jika berhasil, maka diharapkan premi asuransi tidak hanya stabil, tetapi juga dapat menurun dalam jangka panjang," pungkasnya. (Z-1)
OJK mengungkapkan pembiayaan pinjaman online (pinjol) mengalami peningkatan signifikan menjelang tahun ajaran baru atau pada Mei 2025.
OJK mencatat outstanding pembiayaan pinjol yang belum lunas mencapai Rp83,52 triliun pada Juni 2025. Angka itu tumbuh 25,06% secara tahunan.
Rojali dan Rohana merupakan bentuk reaksi alami dari masyarakat yang tengah mengalami pelemahan daya beli.
OJK minta bank blokir 25.912 rekening terafiliasi judi online. Langkah ini bagian dari upaya pemberantasan judol dan penguatan keamanan perbankan.
KEPALA Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menyampaikan kinerja intermediasi perbankan dalam posisi stabil dan tangguh.
OJK mencatat, per 31 Juli 2025, IHSG menguat ke level 7.484, membukukan kenaikan 5,71% ytd.
DIREKTUR Utama PT Jasaraharja Putera Abdul Haris mengatakan harmoni menjadi pondasi kuat yang dibutuhkan perusahaan dalam menghadapi tantangan di industri asuransi.
Inasari Atmodjo, Chief Partnership Distribution Officer MSIG Life, mengatakan, generasi milenial sadar pentingnya asuransi jiwa namun terkendala finansial.
Omne juga menghadirkan beragam fitur yang dapat membantu nasabah dan pengguna umum untuk memaksimalkan aktivitas, antara lain Insta Health*.
Kesiapan IFG Life untuk melanjutkan manfaat yang diterima pemegang polis sesuai dengan persetujuan dan ketentuan dalam polis.
Masih banyak kita temui stigma atau persepsi tentang asuransi, khususnya anak muda atau milenial yang enggan atau menunda memiliki asuransi karena merasa belum membutuhkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved