Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
INDUSTRI Hasil Tembakau (IHT) nasional terus mengalami tekanan dari masifnya kampanye anti-rokok yang disuarakan secara berkelanjutan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Adapun pesan utama dari masifnya kampanye tersebut adalah bahaya rokok bagi kesehatan sehingga perlu diatur melalui regulasi yang ketat. Pesan tersebut pun diakomodasi Kementerian Kesehatan melalui Undang-Undang Kesehatan 17/2023 yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan didetailkan pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes).
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto, menjelaskan isu kesehatan yang sampai saat ini menerpa IHT nasional merupakan propaganda asing.
Hal ini dibuktikan dengan terus hadirnya regulasi yang eksesif bagi IHT pasca Badan Kesehatan Dunia menetapkan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control) yang hingga kini belum diratifikasi Pemerintah Indonesia.
“Kalau bicara kedaulatan, isu kesehatan itu dari global. Namun bukan berarti kami tidak mau diatur, akan tetapi perhatikan kekuatan kita di tengah kondisi saat ini. Kita lihat aturan berubah terus, dari PP 109/2012, lalu keluar UU 17/2023, kemudian PP 28/2024 dan sekarang sedang mengejar R-Permenkes. Jadi ini membuktikan bahwa IHT benar-benar ditekan terus secara regulasi,” kata Sudarto dikutip dari siaran pers yang diterima, Minggu (18/5).
Padahal, lanjut Sudarto, sektor IHT memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Salah satunya melalui penyerapan tenaga kerja yang mencapai lebih dari 6 juta orang, mulai dari petani tembakau dan cengkih, buruh pabrik, hingga pedagang eceran. Selain itu, cukai hasil tembakau merupakan salah satu mesin dalam mendukung penerimaan negara.
Kondisi ini pun akhirnya menimbulkan kekhawatiran akan dampak lanjutan terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri ini. Menurutnya, perlu ada evaluasi terhadap regulasi yang sudah diterapkan, salah satunya PP 28/2024 yang dinilai mengabaikan aspirasi pelaku industri namun mengakomodasi kepentingan asing.
“Faktanya, IHT turun secara pelan-pelan karena regulasinya yang terus menekan. Kami bukan anti regulasi, cuma pastikan lakukan mitigasi yang mendalam dan kena sasaran. Jangan sampai sasarannya (Kesehatan publik) tidak dapat, buruhnya jadi korban, ini masalah serius,” ujar Sudarto.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Komunitas Perokok Bijak, Suryokoco Suryoputro menambahkan masifnya kampanye anti-rokok oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak dapat dipisahkan dari kucuran dana melimpah dari asing. Apalagi, tambahnya, beberapa LSM dilaporkan pernah mendapatkan pendanaan dari Bloomberg Philanthropies untuk menyisipkan poin-poin di FCTC ke dalam regulasi, seperti pembatasan iklan di media luar ruang, larangan iklan rokok di media sosial, hingga kemasan rokok polos.
“Beberapa tahun yang lalu, ada laporan dari Bloomberg Philantrhopies tentang LSM-LSM yang menerima dana dari mereka. Organisasi tersebut menyebutkan LSM mana saja yang didanai untuk diajak bekerja sama,” ungkapnya.
Suryokoco pun menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung ambigu dalam menghadapi persoalan rokok. Pasalnya, pemerintah mendorong kampanye pengendalian konsumsi rokok dengan dalih kesehatan masyarakat. Namun di sisi lain, rokok tetap dijual sebagai produk legal karena memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau serta menyerap jutaan tenaga kerja dari sektor hulu hingga hilir.
“Artinya pemerintah ini kan satu sisi juga ambigu ya, sebenarnya rokok ini di mata pemerintah seperti apa? Gitu kan. Apakah memang kemudian rokok ini sebagai bagian yang mengganggu kesehatan masyarakat yang harus dihilangkan, atau kemudian rokok ini sebagai produk legal yang kemudian peredarannya perlu dikendalikan melalui kebijakan cukai,” pungkasnya. (E-4)
Desakan untuk membatalkan pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif semakin menguat.
Kementerian Kesehatan dalam implementasi PP 28 Tahun 2024 baru sebatas pemanasan atau stretching.
Di ASEAN, empat negara yang sudah mengadopsi plain packaging atau standardized packaging dengan ukuran peringatan kesehatan 75%.
Strategi ini dinilai mampu melengkapi kebijakan pengendalian tembakau dengan menawarkan alternatif yang lebih rendah risiko bagi perokok dewasa yang belum siap berhenti dari kebiasaannya.
Penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat.
Setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk regulasi, termasuk mempertimbangkan aspek ekonomi dan ketenagakerjaan.
Kemendag dan Kemenperin defensif atas implementasi PP Kesehatan, YLKI menilai fenomena yang absurd dan anomali.
Penerapan kemasan polos akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah.
Salah satu pasal yang menjadi perbincangan pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari sekolah atau area bermain anak.
Larangan pemajangan iklan rokok dalam di tempat umum pukul industri periklanan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved