Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Industri Tekstil Minta Pemerintah tak Salah Sikapi Kebijakan Tarif AS

M Ilham Ramadhan Avisena
04/4/2025 19:22
Industri Tekstil Minta Pemerintah tak Salah Sikapi Kebijakan Tarif AS
Tarif resiprokal AS(Dok.HO)

PEMERINTAH diharapkan tidak salah mengambil langkah dalam merespons kebijakan tarif resiprokal yang diluncurkan Amerika Serikat. Sebab hal itu akan memberikan dampak yang lebih luas dari sekadar melemahnya kinerja perdagangan internasional Indonesia. 

"Jangan sampai kita salah menyikapi nanti malah industri tekstilnya yang mendapatkan tekanan, ekspornya kita turun, dalam negerinya juga hancur," ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta dalam konferensi pers secara daring, Jumat (4/4).

Dia menerangkan sekitar 40% eskpor tekstil Indonesia ditujukan ke AS dalam bentuk tekstil, benang, kain, dan pakaian jadi. Indonesia juga merupakan negara kelima pemasok pakaian jadi ke Negeri Paman Sam. 

Karenanya, kejernihan dan kecermatan pemerintah menyikapi kebijakan AS menjadi kunci penting. Redma menilai, kebijakan tarif resiprokal AS dimunculkan untuk memotong defisit perdagangan dengan negara-negara mitranya. 

Dengan kata lain, sejatinya AS tak menyoal tentang hambatan perdagangan (trade barriers) maupun perihal tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang diterapkan oleh Washington DC. Untuk itu, respons pemerintah Indonesia tak semestinya menyasar dan mengutak-atik dua hal tersebut.

"Kalau kita menyikapinya dengan mengurangi atau merelaksasi impor, tentu akan menjadi kesalahan besar. Karena nanti ekspornya kita nggak dapat, impornya malah tambah banjir. Industrinya malah tambah terpukul, PHK-nya akan dimana-mana lagi, akan terjadi percepatan pemutusan hubungan kerja," terang Redma.

Dari sisi industri tekstil, imbuhnya, Indonesia sebetulnya juga mendapatkan peluang dari kebijakan tarif resiprokal AS tersebut. Misal, Indonesia dapat menjalankan ketentuan konten lokal AS agar tetap bisa menjaga kinerja ekspor tekstil ke Negeri Paman Sam. 

Hal itu salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan impor kapas dari AS hingga memenuhi ketentuan konten lokal AS yang sebesar 20%. Redma mengatakan, sedianya pola tersebut juga dilakukan Indonesia sebelum akhirnya beralih ke impor benang dan kain yang notabene tak dihasilkan oleh AS. 

Dengan mengimpor kapas, industri tekstil di Tanah Air juga berpotensi meningkatkan geliatnya. "Kalau kita bisa menormalkan lagi linkage industri dari hulu sampai hilir seperti dulu, ini kebijakan terakhir ini jadi bukan ancaman, jadi sebetulnya menjadi peluang," jelas Redma. 

"Kalau kapasnya dibikin di sini artinya industri pemintalannya yang sekarang utilisasinya. Artinya utilisasi di pemintalan akan naik, utilisasi di tenun, rajut, semuanya akan naik. Jadi ini kita bisa sekali kayuh langsung dapat banyak sebetulnya, kalau kita mau serius," tambahnya. 

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa menuturkan, impor kapas Indonesia pada 2024 tercatat 17% dari total impor di sektor tekstil. Jika skema peningkatan impor kapas dari AS digunakan, maka keinginan AS untuk menekan defisit perdagangan dengan Indonesia dapat terjadi. 

Namun di saat yang sama, Indonesia juga harus mampu memenuhi keinginan pemerintah AS seperti transparansi, hingga keterelusuran produk yang diekspor ke Negeri Paman Sam. "Amerika selalu transparansinya harus terbuka. Kita di sisi industri kita siap untuk transparansi. Dengan harapan sama-sama Amerika juga menurunkan trade deficit-nya dengan Indonesia," jelas Jemmy. 

"Indonesia juga terbantu dengan bagaimana cara menaikkan utilisasinya hanya mengalihkan impornya. Jadi kita mendapatkan sesuatu hal yang win-win situation. Itu salah satu hal kecil yang dapat kita lakukan dalam negosiasi antara industri TPT Indonesia atau pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika. Memang ini tidak mudah, tapi perlu kekompakan bersama antara pemerintah kita dengan pemerintah Amerika," tambahnya. 

Usulan mengenai skema-skema tersebut akan disampaikan ke pemerintah pada pekan depan. "Kita harap mungkin minggu depan kita mulai menyuarakan berbicara kepada pemerintah," kata Jemmy.

"Kita dibantu juga Apindo yang juga minggu depan sudah mulai mengadakan pertemuan dengan asosiasi-asosiasi yang terdampak, dengan harapan mungkin masukan-masukan dari asosiasi ini bisa didengar oleh pemerintah untuk segera menyusun delegasi yang bisa bernegosiasi dengan pemerintah Amerika," lanjutnya. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum API Ian Syarif. Dari dokumen Kantor Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/USTR) secara gamblang mempersoalkan perihal defisit perdagangan yang dialami oleh AS.

"Memang untuk istilah non-tariff barrier atau non-tariff measures itu kadang berkonotasi sangat negatif, dan itu adalah sebuah istilah yang sering dipakai dalam sebuah negosiasi perdagangan ketika kita ingin menuduh satu negara atau satu kelompok tertentu mempersulit impor dengan tujuan untuk mengurangi defisit," jelasnya. 
"Tapi dalam hal ini tentunya sudah ada satu framework global yang kita ikuti yang merupakan dari World Trade Organization Technical Barriers to Trade. Jadi tidak ada isilah non-tariff barrier atau non-tariff measures yang terlalu ketat, karena ini merupakan dokumen internasional yang harus sama-sama datanya itu di-collect secara bersama," tambah Ian.

AS, lanjutnya, sebetulnya hanya meminta transparansi, kejelasan, dan perlakuan yang sama antara pengusaha domestik dengan pengusaha AS yang ada di Indonesia. (Mir/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya