Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Kesepakatan Tarif AS Dikhawatirkan Melemahkan Industri RI

Insi Nantika Jelita
16/7/2025 16:39
Kesepakatan Tarif AS Dikhawatirkan Melemahkan Industri RI
Ilustrasi(Antara)

KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman berpandangan kesepakatan dagang antara Indonesia dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, berpotensi menurunkan kapasitas industri nasional dalam jangka panjang.

Dalam kesepakatan tersebut, ekspor Indonesia ke AS dikenakan tarif sebesar 19%, sementara produk-produk asal AS mendapatkan akses penuh ke pasar Indonesia tanpa beban tarif. 

Menurut Rizal, ketika pasar domestik dibuka lebar tanpa kontrol terhadap barang impor, sementara akses ekspor justru dikenai tarif tinggi, maka hasil akhirnya adalah ketergantungan struktural terhadap barang-barang asing dan pengerdilan basis produksi dalam negeri.

“Skema ini akan memperbesar defisit perdagangan Indonesia terhadap AS, sekaligus memperlemah kapasitas industri nasional dalam jangka panjang,” ujarnya kepada Media Indonesia, Rabu (16/7).

Rizal menilai dengan adanya tarif 19% ekspor Indonesia ke AS, otomatis akan mengurangi daya saing produk-produk nasional di pasar Paman Sam. Ini terutama sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur yang selama ini menjadi andalan ekspor ke AS.

Sebaliknya, produk AS yang masuk tanpa hambatan tarif akan membanjiri pasar domestik dengan harga lebih murah.

"Ini membuat produk lokal sulit bersaing dan menghadapi ancaman mati perlahan," ucapnya.

Situasi ini dinilai amat berisiko. Indonesia dapat terjebak menjadi semata-mata pasar konsumtif bagi produk negara maju tanpa memiliki kekuatan produksi yang mandiri. Kita tidak lagi menjadi mitra dagang sejajar, melainkan hanya konsumen dalam sistem ekonomi global yang timpang.

"Kesepakatan ini tidak bisa dianggap sebagai hasil negosiasi yang adil," kata ekonom Indef itu. 

Seharusnya, dalam kerangka hubungan dagang internasional yang sehat, seharusnya dijunjung tinggi prinsip timbal balik (reciprocity) dan saling menguntungkan (mutual benefit). Namun, dalam skema ini, Indonesia justru ditempatkan dalam posisi pasif dan rentan, sebagai penerima kebijakan, bukan perumusnya.

Pemerintah Indonesia, ungkap Rizal, perlu segera mengambil langkah korektif. Renegosiasi diperlukan untuk menegakkan prinsip kesetaraan, memperkuat posisi tawar melalui diversifikasi mitra dagang, serta memperluas kerja sama strategis di luar orbit dominasi AS, seperti melalui BRICS, ASEAN, dan kerja sama Selatan-Selatan.

Timpang

Dihubungi terpisah, technical analyst dari RHB Sekuritas Indonesia Ilham Fitriadi Budiarto menilai kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS terlihat timpang, dengan ekspor Indonesia ke AS dikenakan tarif sebesar 19%, sementara produk dari AS masuk ke Indonesia tanpa tarif.

Salah satu dampak nyata dari kesepakatan ini terlihat pada sektor pertanian dan peternakan. Pemberlakuan tarif 19% terhadap produk Indonesia, ditambah dengan masuknya produk agrikultur AS secara bebas tarif.

"Ini berpotensi menciptakan tekanan harga dan memperketat persaingan di pasar domestik," ramalnya.

Menurut Ilham, tekanan juga akan dirasakan oleh produsen lokal berskala kecil yang mungkin tidak memiliki kapasitas efisiensi dan distribusi sebesar emiten besar seperti Japfa Comfeed (JPFA) dan Charoen Pokphand Indonesia (CPIN), yang masih memiliki daya tahan berkat pertumbuhan perusahaan yang relatif stabil.

Namun, di sisi lain, industri makanan olahan dan retail justru dianggap bisa mengambil keuntungan dari turunnya harga bahan baku.

"Ini menjadi titik penting untuk investor dalam menyesuaikan strategi sektoral ke depannya," tutupnya. (E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik