Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Impor RI Merosot, Sinyal Perlambatan Industri Manufaktur

Insi Nantika Jelita
17/2/2025 17:27
Impor RI Merosot, Sinyal Perlambatan Industri Manufaktur
Aktivitas ekspor impor di PT Terminal Petikemas Surabaya.(Dok. Antara)

KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai penurunan impor Indonesia memberikan sinyal perlambatan industri manufaktur.  

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Januari 2025 mencapai US$18 miliar atau sekitar Rp291,816 triliun (kurs Rp16.212). Angka ini anjlok 15,18% secara month to month (mtm) dibandingkan Desember 2024 dan turun 2,67% secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan Januari 2024.  

"Penurunan impor mengindikasikan lemahnya permintaan domestik, yang bisa mencerminkan perlambatan aktivitas industri dan konsumsi," ujar Rizal kepada Media Indonesia, Senin (17/2).

Rizal menegaskan sektor manufaktur di dalam negeri belum sepenuhnya pulih. Ini terlihat dari penurunan nilai impor barang konsumsi dan impor bahan bahan baku/penolong pada bulan lalu.

"Ada sinyal bahwa sektor manufaktur belum menunjukkan pemulihan yang kuat, sekaligus menyoroti ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor untuk proses produksi," ucapnya.

Selain masalah penurunan impor, ekspor Indonesia juga mengalami penyusutan. Rizal mengatakan faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik dan kebijakan moneter ketat di negara maju memang memberikan berkontribusi terhadap tekanan ekonomi. Kendati demikian, tantangan internal seperti rendahnya nilai tambah ekspor dan kurangnya diversifikasi produk dianggap turut memperparah situasi.

"Penurunan ekspor komoditas utama seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel menggarisbawahi kelemahan fundamental ekonomi yang terlalu bergantung pada sektor primer," imbuhnya.

Ke depan, pemerintah dimintah lebih fokus pada transformasi ekonomi, mendorong hilirisasi yang nyata, dan memperkuat daya saing produk-produk manufaktur. Jika tidak, kata Rizal, surplus perdagangan yang tercipta hanya bersifat semu. Hal ini lebih disebabkan oleh pelemahan impor daripada peningkatan kinerja ekspor yang berkelanjutan.

Pada Januari 2025, neraca perdagangan mencatat surplus sebesar US$3,45 miliar atau senilai Rp55,81 triliun (kurs Rp16.212). Angka ini naik sebesar US$1,21 miliar secara bulanan.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menyebut sejumlah mitra dagang utama Indonesia masih menunjukan prospek perlambatan ekonomi. Sehingga, ada risiko permintaan negara mitra dagang bakal relatif melemah ke depannya.

"Kalau kita lihat prospek ekonomi Amerika Serikat ada potensi melambat. India juga dari waktu ke waktu semakin melemah. Artinya, potensi pelemahan global itu mempengaruhi prospek daripada ekspor kita," ucapnya.

Faisal juga menyoroti defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok. Defisit dagang itu lantaran impor Indonesia dari Negeri Tirai Bambu lebih besar ketimbang ekspor ke Tiongkok. BPS mencatat defisit dagang Indonesia dengan Tiongkok mencapai US$1,77 miliar.

"Kita tahu bahwa secara permintaan dengan Tiongkok itu sudah rendah pada saat sekarang, meski ada oversupply," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya