Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Penurunan Tarif AS tak Jamin Ekspor Tekstil RI Lebih Kompetitif

Insi Nantika Jelita
21/7/2025 14:27
Penurunan Tarif AS tak Jamin Ekspor Tekstil RI Lebih Kompetitif
Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus.(Dok. MI)

INSTITUTE for Development of Economics and Finance (Indef) menilai meskipun tarif bea masuk ke Amerika Serikat turun, tidak menjamin ekspor dan impor produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara kawasan regional.

Padahal, tarif AS untuk Indonesia saat ini sebesar 19% tergolong lebih rendah dibandingkan negara-negara pesaing di ASEAN seperti Thailand (36%), Laos (40%), Malaysia (25%), dan Vietnam (20%).

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus menjelaskan berdasarkan simulasi menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP) versi 11, ekspor TPT Indonesia ke AS diperkirakan turun dengan minus 4,88%. Sementara, impor juga anjlok sekitar 1,65%.

"Kemungkinan ekspor (TPT) akan turun lumayan besar. Jadi, belum tentu tarif kita lebih kecil dari negara-negara lain, ekspornya dibilang aman-aman saja," kata Heri dalam diskusi daring Indef bertajuk Tarif Amerika Turun, Indonesia Bakal Untung, Senin (21/7).

Menurutnya, penyebab utama penurunan ekspor adalah daya saing Indonesia yang lemah. Dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam, India, dan Bangladesh, Indonesia masih kalah dalam hal efisiensi biaya produksi. Salah satu indikatornya adalah nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih lebih tinggi, artinya untuk menghasilkan satu unit barang dibutuhkan modal lebih besar.

Sebagai contoh, Heri menjelaskan untuk memproduksi sepasang sepatu, Indonesia membutuhkan biaya sekitar US$8. Di Vietnam bisa memproduksi sepatu serupa dengan biaya dasar yang jauh lebih murah. Sehingga, meski dikenakan tarif 20%, harga produknya diperkirakan tetap lebih kompetitif di pasar AS.

"Meski, tarif lebih tinggi, tapi dasarnya (biaya) sudah murah, bisa jadi pasar mereka juga lebih kompetitif di AS. ICOR kita masih lebih tinggi dibandingkan negara kawasan lain. Artinya, kurang kompetitif," jelas Heri.

Heri menyoroti banyak pihak yang hanya melihat besaran tarif sebagai faktor utama, tanpa mempertimbangkan komponen biaya produksi lainnya, seperti harga listrik, energi, logistik, dan transportasi. Jika seluruh komponen ini masih mahal, maka meskipun tarif bea masuk rendah, harga akhir produk Indonesia tetap lebih tinggi dibandingkan produk dari negara lain.

“Selama ini kita terlalu optimis karena tarif kita lebih rendah. Padahal, negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Bangladesh telah melakukan efisiensi produksi. Jadi, meskipun dikenakan tarif lebih tinggi, produk mereka tetap lebih murah di pasar,” terangnya.

Dalam kesempatan sama, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman berpandangan, penurunan ekspor Indonesia mencerminkan melemahnya daya saing produk nasional di pasar Negeri Paman Sam. Sektor-sektor seperti manufaktur, termasuk elektronik, furnitur, dan alat rumah tangga, tekstil, serta kelapa sawit mentah (CPO), menjadi yang paling terdampak.

Sementara itu, penurunan impor mencerminkan efek limpahan (spillover) dari perlambatan makroekonomi domestik, seperti penurunan permintaan, melemahnya pendapatan masyarakat, hingga kontraksi konsumsi dan investasi.

Investasi menurun

Kebijakan tarif yang dinilai diskriminatif, karena bea masuk produk asal Indonesia ke AS tetap 0%, dianggap tidak hanya merugikan posisi Indonesia dalam hubungan dagang bilateral, tapi juga pada keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai global. Ketidakseimbangan ini mendorong pergeseran arus perdagangan internasional ke negara lain, yang pada akhirnya meng melemahkan investasi di Indonesia.

"Investasi diperkirakan mengalami penurunan sebesar -0,061%, berdasarkan simulasi GTAP Analysis 2025 yang dilakukan Indef," imbuh Rizal.

Sementara itu, negara-negara lain seperti India, Asia Selatan (di luar India), dan kawasan Amerika Utara (di luar AS) justru mencatatkan peningkatan aktivitas investasi, menunjukkan adanya pengalihan investasi dari Indonesia ke wilayah-wilayah tersebut.

Dampak negatif lainnya, lanjut Rizal, ialah pengeluaran pemerintah Indonesia yang diramalkan sebesar -0,122%, penurunan terdalam di antara negara-negara dalam simulasi. Hal ini mencerminkan menurunnya kapasitas fiskal akibat berkurangnya penerimaan negara dan kontraksi ekonomi secara umum.

"Penurunan ini berpotensi mempersempit ruang fiskal Indonesia untuk memberikan stimulus ekonomi atau kompensasi sosial," ucapnya.

Kontraksi ekonomi

Indef juga memperkirakan daya beli rumah tangga Indonesia akan turun tajam sebesar -0,091%, terdalam dibanding negara lain, akibat kebijakan tarif 19% dari AS terhadap ekspor Indonesia. Penurunan ini mencerminkan melemahnya pendapatan dan naiknya harga konsumsi, yang menekan konsumsi riil.

Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di mengalami kontraksi dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar -0,113%. Angka ini merupakan penurunan terdalam dibandingkan negara lain dalam simulasi, menandakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling dirugikan akibat skema tarif yang tidak seimbang.

Sementara itu, Amerika Serikat justru diuntungkan. Produk Indonesia yang terkena tarif menjadi lebih mahal di pasar AS, sementara produk AS tetap dapat masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan berarti.

Dalam menghadapi tantangan ini, Rizal mendorong pemerintah Indonesia segera merumuskan strategi nasional yang komprehensif untuk menjaga daya tarik investasi. Langkah-langkah strategis tersebut meliputi stabilisasi iklim usaha, diversifikasi pasar ekspor, serta peningkatan efisiensi logistik dan reformasi kebijakan insentif di sektor-sektor tradable atau barang dan jasa.

"Tanpa respons yang memadai, Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam kompetisi ekonomi global yang kian kompetitif," pungkasnya. (H-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya