Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
ECENG gondok, yang sering dianggap sebagai gulma, ternyata memiliki potensi untuk diolah menjadi energi terbarukan seperti bioetanol dan biogas.
Artikel ini akan membahas bagaimana tumbuhan ini di Danau Limboto, Gorontalo, diubah menjadi sumber energi alternatif serta dampaknya bagi lingkungan dan penggunaan energi di Indonesia.
Tumbuhan yang memiliki nama ilmiah Eichornia crassipes, atau lebih dikenal sebagai eceng gondok, merupakan salah satu jenis tumbuhan air yang mengapung dan tumbuh dengan sangat cepat.
Baca juga : Bensin Nabati Pertamax Green 95 Resmi Dijual di Jakarta dan Surabaya
Kecepatan pertumbuhannya yang tinggi menjadikannya gulma yang dianggap merusak ekosistem perairan.
Di Danau Limboto, Gorontalo, eceng gondok ditemukan dalam jumlah besar. Bahkan, pada tahun 2017, tanaman ini menutupi sekitar 70% dari luas danau yang mencapai 3.334 hektar, menyebabkan Danau Limboto masuk dalam daftar 15 kawasan danau kritis nasional.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa eceng gondok dapat diolah menjadi bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel.
Baca juga : SunCable Bangun Taman Penelitian Energi Terbarukan Pertama di Indonesia
Biofuel sendiri merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari biomassa, baik dari tumbuhan maupun hewan, meskipun lebih sering dari tumbuhan.
Pada 2018, Yuzda Salimi, seorang dosen Kimia dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), membuktikan bahwa eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bioetanol, salah satu jenis biofuel.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh melimpahnya eceng gondok di Danau Limboto, yang pertumbuhannya bisa mencapai 3% per hari, membuat upaya memusnahkannya menjadi sulit.
Baca juga : Tangkap Peluang Kerja Sama Energi Terbarukan Indonesia-Tiongkok
Oleh karena itu, mengolah eceng gondok menjadi produk yang bermanfaat menjadi solusi yang efektif, seperti produksi bioetanol.
Bioetanol sendiri merupakan turunan alkohol yang berasal dari bahan nabati seperti gandum, tebu, jagung, singkong, serta limbah sayuran, dan digunakan sebagai pengganti bensin.
Dalam penelitian Yuzda, ia menemukan bahwa eceng gondok mengandung 3,8% karbohidrat, 64,51% selulosa, dan 7,69% lignin—komposisi kimia yang memenuhi syarat untuk diolah menjadi bioetanol melalui proses fermentasi yang cermat.
Baca juga : Percepat Transisi Energi Terbarukan dengan Teknologi Penyeimbang
Yuzda menjelaskan bahwa proses pembuatan bioetanol dari eceng gondok terdiri dari tiga tahap utama, yakni pengambilan sampel, praperlakuan dengan metode hidrolisis, dan fermentasi.
Tujuannya adalah untuk mengekstrak senyawa yang berpotensi diubah menjadi etanol. Proses fermentasi memerlukan media aseptik untuk mengembangkan bakteri yang mampu mengubah gula dalam eceng gondok menjadi etanol.
Penelitian Yuzda membuktikan bahwa eceng gondok dapat diubah menjadi bioetanol, yang bisa menjadi solusi dalam mengatasi pencemaran di Danau Limboto sekaligus menjadi sumber energi alternatif.
Selain bioetanol, Yuzda juga meneliti potensi eceng gondok sebagai biogas. Biogas merupakan biofuel berbentuk gas yang dihasilkan dari aktivitas anaerobik bahan organik.
Eceng gondok, yang mengandung 95% air dan memiliki struktur berongga, dapat menghasilkan gas bila difermentasi, khususnya jika dicampur dengan kotoran sapi yang berfungsi sebagai sumber mikroba penghancur.
Yuzda menjelaskan bahwa biogas yang dihasilkan dari eceng gondok bisa menjadi alternatif energi murah dengan alat yang sederhana.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa api yang dihasilkan dari biogas ini berwarna biru, menandakan bahwa prosesnya matang dan siap digunakan oleh masyarakat.
Pemanfaatan eceng gondok sebagai bioetanol dan biogas ini dianggap sebagai langkah yang bisa mendukung pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia.
Meskipun saat ini energi fosil masih mendominasi penggunaan energi di Indonesia, potensi besar dari sumber energi terbarukan, termasuk dari eceng gondok, dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk beralih dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan. (Mongabay.co.id/Z-10)
KOMISI D DPRD DKI Jakarta melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara hari ini.
PENGAWAS UPK Badan Air Kecamatan Penjaringan, Rabiulla, mengatakan, sekitar 2.600 meter kubik tanaman air eceng gondok dibersihkan dari Waduk Pluit. Angka tersebut dihitung
Program ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan keterampilan masyarakat Desa Wisata Lok Baintan agar menjadi lebih kreatif dan mandiri.
Sekali ayun lengan backhoe amphibi sama dengan kerja 10 orang selama satu jam.
PERAIRAN Waduk Cirata di Blok Cokelat, Desa Cikidangbayabang, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, jadi lautan eceng gondok.
KEINDAHAN panorama Danau Tondano di Minahasa, Sulut terganggu jutaan tanaman eceng gondok.
MENHUT Raja Juli Antoni menyiapkan kawasan hutan untuk bioethanol. Hal tersebut dilakukan sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, untuk mendukung swasembada pangan dan energi.
Teknologi ramah lingkungan dapat diterapkan pada bidang energi sebagai upaya mencari sumber energi alternatif untuk masa depan. Berikut contoh penerapannya.
Raja Antoni menyebut Prabowo telah memerintahkan untuk menanam 300 ribu hektare aren. Ia mengatakan program penanaman pohon aren ini menjadi salah satu program favorite Prabowo.
Rrumput Gama Umami (Pennisetum purpureum) adalah hasil mutasi dari rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang telah diradiasi dengan sinar gamma.
Pepaya adalah sumber bahan gula dan menjadi salah satu limbah buah yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bioethanol.
KEMENTERIAN Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terus sosialisasikan tata kelola tebu rakyat sebagai salah satu upaya penguatan bahan baku menuju swasembada gula nasional 2030
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved