Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
DIREKTUR Eksekutif Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan, biaya utang Indonesia saat ini terlampau besar. Jika besaran utang ditambah secara serampangan, perekonomian dikhawatirkan akan tertekan signifikan.
"Saat ini, biaya utang kita sekitar 7%, dan itu cukup tinggi. Utang kita berbiaya tinggi, dan itu tidak baik untuk perekonomian," ujarnya saat dihubungi, Kamis (11/7).
Biaya utang 7% itu diambil dari besaran imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang berada di kisaran 7%. Dengan kata lain, penambahan utang yang dilakukan pemerintah melalui SBN harus dibayarkan berikut dengan bunga yang dijanjikan sekitar 7%.
Baca juga : Soroti Utang Indonesia, Indef Singgung Stroke Ketiga
Sementara banyak negara yang biaya utangnya jauh di bawah 5%, atau bahkan nyaris 0% seperti Jepang. Dengan biaya utang yang rendah itu, kata Yose, tak akan menjadi masalah besar bila negara terkait memiliki rasio utang yang tinggi.
"Kalau utangnya sampai 100% (dari PDB) pun seperti Jepang, biaya bunga mereka itu hampir 0%, jauh di bawah 1%. Sedangkan kita 7%. Jadi permasalahannya bukan level utangnya, tapi berapa besar biaya yang kita keluarkan untuk utang itu," terang Yose.
Dia menambahkan rasio utang juga semestinya bukan sesuatu yang dijadikan target oleh pemerintah. Wacana kenaikan rasio utang menjadi 50% terhadap PDB dinilai seolah menjadi target.
Baca juga : Utang Indonesia Tembus Rp8.000 Triliun, Sri Mulyani belum Khawatir
Padahal pengadaan utang itu dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan masalah target yang harus dicapai. "Karena kalau tidak ada kebutuhan untuk menaikan utang, dan itu kemudian naik berkisar 42-43% terhadap PDB, kenapa tidak? Kenapa harus dipaksakan sampai 50%?" tutur Yose.
Narasi kenaikan rasio utang menjadi 50% secara otomatis akan mempengaruhi defisit anggaran menjadi lebih tinggi. Jangan sampai, pelebaran defisit anggaran justru dimanfaatkan untuk membayar utang yang jatuh tempo.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pelebaran defisit juga tak serta merta dapat dilakukan hanya untuk mengeksekusi program-program yang kadung dijanjikan presiden terpilih selama kampanye.
Baca juga : Utang Indonesia Tembus Rp8.000 triliun, Kemenkeu: Masih Aman
Sebab, pelebaran defisit akan memberikan risiko pada keuangan negara dan memiliki dampak yang besar pada kondisi fiskal ke depan. "Kalau kapasitas ekonomi tidak mampu membayar, terus dari mana? Ini akan meningkatkan risiko fiskal dan juga meningkatkan risiko ekonomi," kata Faisal.
"Karena fiskal menjadi tidak sehat dan ekonomi tidak terselamatkan kalau akhirnya itu berdampak pada berkurangnya alokasi belanja pemerintah yang harus dialokasikan untuk proyek atau sektor strategis karena anggaran penerimaannya banyak terserap untuk utang," lanjutnya.
Dia juga mengingatkan, Indonesia sedianya telah ditegur dan disorot perihal wacana pelebaran defisit di atas 3% dan menaikan rasio utang. Itu terjadi beberapa waktu lalu dan direspons negatif oleh pasar.
Hal tersebut tercermin dari tersungkurnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. "Ini berdampak pada persepsi investor terhadap masalah manajemen fiskal pemerintah," kata Faisal.
"Sehingga kemarin kita merasakan pelemahan rupiah, itu bukan hanya dari The Fed tapi juga dari internal. Ini dampak langsung yang sudah kita rasakan, dan rupiah terdepresiasi lebih dalam dari negara lain," pungkasnya. (Z-8)
IMF mengumumkan kesepakatan awal dengan pemerintah Argentina dalam peninjauan pertama program pinjaman senilai US$20 miliar.
Pada Minggu (13/7), Bruno Mars membuat penampilan kejutan di konser Blackpink di SoFi Stadium, Los Angeles, Amerika Serikat (AS), membawakan lagu kolaborasinya dengan Rose, APT.
RUU anggaran yang dibahas senat AS diperkirakan menyebabkan hampir 12 juta warga kehilangan asuransi kesehatan dan menambah utang negara US$3,3 triliun.
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada April 2025 sebesar US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.042 triliun.
KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengungkapkan rumah tangga Indonesia semakin tertekan.
Pada Mei 2025, kondisi pendapatan konsumen tergerus. Sementara itu, proporsi pembayaran cicilan atau utang justru mengalami peningkatan.
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50% dipandang sebagai langkah konservatif yang tepat di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan, atau BI Rate di level 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17-18 Juni 2025 dinilai sebagai langkah yang tepat.
Fixed Income Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila Priyatno menilai ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat sangat terbatas.
KETIDAKPASTIAN arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi perhatian setelah desakan terbuka Presiden Donald Trump agar Federal Reserve memangkas suku bunga acuan.
BTN mempertegas posisinya sebagai pemimpin pembiayaan perumahan nasional dengan menggelar Akad Kredit Massal KPR Non-Subsidi secara serentak di lima kota besar
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyambut baik keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke 5,5%.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved