Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III Melambat, Alarm yang Tidak Boleh Diabaikan

Fetry Wuryasti
07/11/2023 17:53
Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III Melambat, Alarm yang Tidak Boleh Diabaikan
Pertumbuhan ekonomi triwulan III anjlok(Antara)

LAJU pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2023 melambat hanya sebesar 4,94% (yoy). Besaran ini lebih rendah dibandingkan triwulan III 2022 yang mencapai 5,73%(yoy), maupun kinerja sebelum pandemi, yaitu triwulan III 2019 sebesar 5,01% (yoy).

Capaian pertumbuhan ekonomi triwulan III 2023 juga merupakan yang terendah sejak akhir 2021.

"Ini merupakan alarm perlambatan ekonomi yang tidak boleh diabaikan. Kinerja ekonomi perlu mendapat perhatian serius seiring momentum dimulainya kontestasi politik Pemilu 2024," kata Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, Selasa (7/11).

Baca juga : KSP : Indonesia Tetap Catatkan Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Perlambatan Global

Dia mengatakan Para Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden perlu menjawab tantangan ekonomi saat ini dengan solusi yang mereka tawarkan melalui agenda ekonomi 5 tahun mendatang.

Ketidakpastian ekonomi masih akan membayangi kinerja ekonomi di triwulan IV 2023, sehingga risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi masih mungkin berlanjut.

Di sisi lain, adanya momentum libur panjang Nataru (Natal dan Tahun Baru) dapat menjadi kesempatan adanya peningkatan konsumsi hingga meningkatnya likuiditas yang dapat mengakselerasi kinerja ekonomi.

Baca juga : BI: Ekonomi Indonesia Salah Satu Terbaik di Dunia

"Ini ditambah lagi dengan mulai meriahnya pesta demokrasi Pemilu, serta belanja APBN yang masih perlu terus dipacu," kata Eko.

Dengan demikian masih terdapat peluang peningkatan belanja untuk masyarakat. Indet memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan IV 2023 sebesar 4,9%.

Menyikapi realisasi kinerja ekonomi Indonesia triwulan III 2023, dia memaparkan sejumlah catatan INDEF.

Baca juga : NEO Conference 2024 Bahas Optimisme Ekonomi Indonesia di Tahun Politik dan Tantangan Geopolitik

Pertama, ekonomi terpapar perlambatan global. Akibat kenaikan harga komoditas beras, minyak bumi, dan emas dalam tiga bulan terakhir, Word Economic Forum pada Oktober 2023 mengingatkan bahwa inflasi dunia akan meningkat dari 6,8% menjadi 6,9% pada 2023.

Bahkan pada Emerging Market and Developing Economies meningkat lebih tinggi dari 8,3% menjadi 8,5%. Kondisi ini mengakibatkan bank sentral AS The FED dan beberapa negara lain menaikkan suku bunga, termasuk Bank Indonesia dari 5,75% menjadi 6% pada 19 Oktober 2023 lalu.

Konsekuensinya di dalam negeri, hal ini melemahkan permintaan kredit hingga di bawah 10%. Kenaikan suku bunga memang dapat meredam fluktuasi pasar keuangan, namun hal ini juga akan berdampak pada terancamnya laju pertumbuhan ekonomi.

Baca juga : Data Ekonomi 2023 Solid, Laporan Bank Dunia Perkirakan Ekonomi Indonesia 2024 Tumbuh 4,9%

"Dengan situasi ini, tampaknya tekanan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2024 manakala inflasi global masih tinggi, khususnya di negara mitra dagang utama Amerika, Tiongkok maupun Uni Eropa," kata Eko.

Kedua, ancaman krisis pangan yang mengkhawatirkan. Sektor pertanian tercatat hanya tumbuh 1,46 % (yoy) atau lebih buruk dibandingkan triwulan II 2023 sebesar 2,02 % (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan III 2022 sebesar 1,97% (yoy).

Merosotnya sektor pertanian diakibatkan oleh fenomena El-nino yang terjadi sejak Juli hingga Oktober 2023 dengan penurunan produksi beras yang diperkirakan 1,5 juta Ton.

Baca juga : Perekonomian Global Bersiap untuk Rekor Terburuk di Akhir 2024 

Ancaman krisis pangan diperburuk dengan lonjakan harga beras medium dari rata-rata sebesar Rp10.000/kg menjadi di atas Rp13.000/kg.

Menurut Indef, Ketidakmampuan pemerintah menghadirkan harga beras yang stabil masih akan terus berlanjut hingga awal tahun 2024, meski impor beras telah dilakukan cukup banyak.

"Situasi ini dapat berakibat pada terganggunya stabilitas politik mengingat beras adalah kebutuhan semua penduduk di Indonesia, apapun status sosial ekonominya," kata Eko.

Baca juga : Ekonomi Indonesia masih Berpotensi Terdampak Kondisi Global

Ketiga, kendornya kinerja ekspor. Neraca perdagangan memang mencatatkan surplus 41 bulan, namun sebenarnya kinerja ekspor cenderung menurun.

Salah satu penyebab utama ekonomi triwulan III 2023 turun adalah melemahnya sumbangan ekspor yang tumbuh -4,26% (yoy).

Sebab, beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok dan Korea Selatan mengalami perlambatan ekonomi sehingga diperkirakan impor dari Indonesia semakin berkurang.

Baca juga : BI Perkirakan Ekonomi Global Melambat di 2024

Situasi ini juga diperburuk oleh melemahnya permintaan beberapa komoditas utama ekspor, seperti minyak sawit, batubara, nikel, gas alam maupun minyak mentah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Keempat, konsumsi pemerintah yang negatif. Dia jelaskan, di tengah pemulihan ekonomi, konsumsi pemerintah triwulan III 2023 justru tumbuh negatif -3,76% (yoy), padahal di triwulan II 2023 sempat tumbuh positif.

"Ini menunjukkan belanja pemerintah masih menjadi problem utama ketimbang penerimaan negara," kata Eko.

Baca juga : Kemenkeu: Kinerja Manufaktur Indonesia Masih Ekspansif, Inflasi Terkendali

Di sisi belanja, pada September 2023, realisasi belanja negara telah mencapai sebesar Rp1.967,93 triliun, atau 64,29% dari pagu yang dianggarkan dalam APBN 2023. Capaian realisasi ini didukung oleh realisasi belanja pegawai (70,59 %), belanja barang (65,48 %), serta bantuan sosial (72,87 %).

Hanya saja terjadi penurunan pertumbuhan belanja K/L sebesar -0,72% (yoy) dengan realisasi s.d. September sebesar 66,9%, serta realisasi belanja modal masih rendah, yaitu 60,55%.

Di sisi penerimaan, hingga September 2023 penerimaan negara sebesar Rp2.035,62 triliun atau sebesar 82,65% dari target.

Baca juga : Fundamen Ekonomi Indonesia Masih Cukup Baik. Ini Alasannya

"Ini menunjukkan surplus anggaran negara bukanlah prestasi yang membanggakan manakala konsumsi pemerintah masih negatif," kata Eko.

Kelima, daya beli masyarakat mulai tertekan. Dengan kontribusi sebesar 52,62% dan pertumbuhan sebesar 5,06% pada triwulan III 2023, konsumsi masyarakat masih tumbuh tinggi.

Meski demikian, tekanan mulai terjadi mengingat konsumsi masyarakat pada triwulan II 2023 masih bisa tumbuh 5,22% (yoy) dan triwulan III 2022 sebesar 5,39% (yoy).

Baca juga : Ini Jurus Pemerintah Jaga Pertumbuhan Ekonomi

"Apabila dilihat lebih mendalam, tekanan terjadi pada sektor makanan, minuman selain restoran, kemudian pakaian, alas kaki dan jasa perawatan, serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang pertumbuhannya jauh di bawah 5% (yoy)," kata Eko.

Tekanan daya beli terjadi karena inflasi hampir terjadi di semua wilayah. Data BPS Oktober 2023 menunjukkan 69 kota mengalami inflasi dan hanya 21 kota mengalami deflasi.

Pelemahan daya beli juga disumbang komponen Harga Diatur Pemerintah yang mengalami inflasi sebesar 0,46% dengan andil inflasi sebesar 0,09%. Penyumbang utama inflasi tersebut adalah komoditas bensin, tarif angkutan udara, dan tarif air minum PAM.

Baca juga : Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang pada 2023 Diprediksi di Atas Rata-Rata Global

Sementara komponen Harga Bergejolak mengalami inflasi sebesar 0,21% dengan andil inflasi sebesar 0,03%. Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi adalah beras, cabai rawit, cabai merah, jeruk, dan sawi hijau (BPS, Oktober 2023).

Keenam, perlambatan penurunan lengangguran. Tingkat pengangguran di Indonesia turun dari 5,86% (Agustus 2022) menjadi 5,32% (Agustus 2023) atau menurun sebesar 0,54 poin.

Penurunan pengangguran ini patut diapresiasi, meski demikian penurunannya melambat dibandingkan dari periode Agustus 2021 ke Agustus 2022 yang turun menurun sebesar 0,63 poin.

Baca juga : CSIS: Ekonomi RI Diramalkan Tetap Bertahan di Angka 5%

Meski kondisi ekonomi membaik dibanding pandemi, namun level pengangguran saat ini belum kembali ke kondisi sebelum pandemi di mana pada Agustus 2019, tingkat pengangguran sebesar 5,23%.

Ini karena penyerapan tenaga kerja formal yang masih terbatas seiring pembukaan lapangan pekerjaan formal yang juga masih tertahan. Pada agustus 2023, pekerja formal mencapai 40,89% sementara sisanya (59,11%) merupakan pekerja informal.

"Patut pula diperhatikan bahwa pengangguran “elit” semakin tinggi dimana pengangguran dari tingkat pendidikan diploma I, II dan III semakin meningkat dari Agustus 2022 yang sebesar 4,59% menjadi 4,79% (Agustus 2023) dan pendidikan diploma IV, S1, S2, S3 dari 4,80% menjadi 5,18%," kata Eko.

Baca juga : Bank Indonesia Jaga Tingkat Inflasi

Ketujuh, industri membaik namun perlu waspada PHK. Kinerja industri secara umum membaik dengan tumbuh sebesar 5,20% pada triwulan III 2023, lebih baik dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu sebesar 4,83%.

Perbaikan ini ditopang oleh perbaikan industri tembakau, industri kayu maupun industri kimia farmasi dan obat tradisional. Meski secara umum indutri mengalami perbaikan, namun menyisakan beberapa industri yang tertekan oleh pelemahan pasar ekspor maupun pasar domestik sejak Januari 2023.

Dalam tiga triwulan berturut-turut pertumbuhannya negatif, termasuk triwulan III 2023 yakni industri tekstil dan pakaian jadi (-2,72%), industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (-2,96%), industri karet, barang dari karet dan plastik (-4,34%) dan industri furnitur (-2,59%).

Baca juga : IMF Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI Stabil di Angka 5% Selama 2023-2024

"Mengingat beban berat sektor-sektor tersebut dalam 6 bulan terakhir maka perlu waspada dampaknya terhadap efisiensi produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," kata Eko.

Tiga Langkah Prioritas Sebagai Solusi

Indef menyarankan tiga langkah prioritas meredam kegawatan ekonomi politik triwulan IV 2023. Pertama, yaitu pertahankan daya beli masyarakat dengan memanfaatkan momentum Natal dan tahun baru serta tidak naiknya harga BBM subsidi.

Baca juga : Legalitas UMKM Mampu Menjaga Iklim Usaha Lebih Kondusif

Bantuan sosial perlu dilakukan reformasi total agar jumlah penerima dikurangi dengan data terbaru dan menambah belanja sosial untuk 10% masyarakat terbawah.

Belanja Pemilu juga perlu dioptimalkan untuk mendorong konsumsi masyarakat meningkat maupun sektor-sektor terkait (industri makanan dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman, sektor transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makan minum serta informasi dan komunikasi) semakin baik.

Kedua, optimalkan belanja Pemerintah pada bulan-bulan terakhir dengan mempercepat belanja modal, bahkan kalau perlu di atas 100% mengingat anggaran masih sangat memadai.

Baca juga : OECD Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi ASEAN, OJK: RI Tetap Jadi Penopang

"Selesaikan prioritas-prioritas infrastruktur nasional yang masih tertunda," kata Eko.

Ketiga, meningkatkan pasar tradisional ekspor pada mitra dagang utama yang tetap tinggi. Penurunan pasar Tiongkok, Jepang dan Amerika perlu dibarengi dengan upaya peningkatan ekspor di negara India, Malaysia, Philipina, Singapura, Vietnam, Taiwan dan Thailand.

"Hal ini perlu insentif dan pencegahan PHK industri yang terpengaruh dari pelemahan ekspor yakni industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri karet, barang dari karet dan plastik dan industri furnitur," kata Eko. (Z-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya