Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KONTROVERSI RUU Kesehatan pada pasal zat adiktif terus berlanjut di tengah proses pengesahan aturan tersebut. Selain disamakan tembakau dengan narkoba yang menimbulkan ketidaksetujuan dari berbagai pihak, kini Pasal 156 dalam RUU tersebut yang mengatur tentang standardisasi kemasan produk tembakau menimbulkan pertanyaan besar. Pasal tersebut menyebutkan bahwa ke depan menteri kesehatan lewat aturannya akan menjadi pihak yang berwenang untuk menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok, bentuk, serta tampilan kemasan.
Hal itu tentu menciptakan tanda tanya lantaran aturan-aturan terkait hal tersebut sebelumnya berada pada ranah Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian. Wacana perpindahan wewenang ini tampaknya didorong hanya pada satu tujuan, yakni melemahkan industri rokok. Padahal keberadaan industri semestinya dilihat dari banyak perspektif dan tujuan, seperti kesinambungan ekonomi, pertanian, dan tenaga kerja.
Penyusunan RUU Kesehatan jelas menjadi babak baru dari upaya Kementerian Kesehatan mengakuisisi semua kewenangan lembaga pemerintah lain terhadap kebijakan pertembakauan yang selama ini selalu dipatuhi oleh industri, seperti standardisasi kemasan dan kandungan pada nikotin-tar, pembatasan ruang display produk, bahkan perkara ruang konsumsinya pun mengalami diskriminasi.
Baca juga: Hipmi: Hilirisasi Memberikan Manfaat bagi Indonesia
Kemenkes juga terus berupaya mempersempit ekosistem IHT dalam berusaha dengan mendesak revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 yang berinduk pada UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Salah satunya mendorong usulan porsi peringatan bergambar pada kemasan rokok yang ditambah hingga 90%. Menanggapi hal tersebut, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, dengan Kemenkes sebagai pengusul RUU Kesehatan, aturan standardisasi kemasan akan membuka jalan bagi kementerian tersebut memperluas kewenangannya, termasuk dalam mendorong usulan perluasan gambar peringatan pada kemasan rokok. "Jika RUU ini resmi disahkan, akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal," ujar Hananto dalam keterangan tertulis, Minggu (2/7).
Hananto menegaskan ekosistem tembakau juga bukanlah pihak yang antiaturan. Bahkan sektor ini sangat patuh terhadap regulasi. Tidak hanya itu, tembakau terus berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan rerata 10%-13% dari porsi APBN selama lima tahun terakhir. Dengan aturan ini pun, Hananto mempertanyakan sikap pemerintah yang seperti menafikkan sumbangsih tembakau terhadap perekonomian masyarakat, penyerapan jutaan tenaga kerja, dan timbal balik terhadap kesehatan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Baca juga: Yellen: Ekonomi AS Lebih Tangguh dari yang Diperkirakan
Bahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi kontribusi cukai rokok kedua terbesar berada di bidang kesehatan sebesar 40%. "Sudah saatnya pemerintah dan wakil rakyat juga memberikan kesempatan ekosistem pertembakauan ini dapat bertahan, diberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan," tambahnya. Menurut Hananto, sampai dengan saat ini ada sekitar 300 regulasi tingkat lokal dan pusat yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Saat pasal ini muncul yang menyebutkan standardisasi kemasan akan diatur oleh Menteri Kesehatan, otomatis akan bertentangan dengan aturan yang telah ada.
Terkait praktiknya, AMTI pun menilai pembentukan RUU Kesehatan mengabaikan praktik keterbukaan dan partisipatif. Pihaknya menyebutkan sejak awal pemangku kepentingan ataupun elemen ekosistem pertembakauan tidak diberi kesempatan untuk memaparkan realita yang terjadi, sekalipun Kemenkes sebagai pemrakarsa menyebutkan telah dilakukan public hearing dengan para pemangku kepentingan. "Kami berharap RUU Kesehatan yang saat ini sedang memasuki pembicaraan tingkat kedua di DPR tidak berakhir menjadi regulasi yang justru mengkriminalisasi ekosistem pertembakauan," imbaunya.
Cukup beralasan memang bahwa RUU Kesehatan sangat diskriminatif dan eksesif terhadap ekosistem pertembakau. Terkait pasal dalam draf yang beredar, dengan pengaturan produk kemasan tembakau, IHT perlahan akan dimatikan yang berujung pada matinya mata pencaharian petani tembakau, dipertegas lewat upaya penyamarataan tembakau dengan narkotika. Terkait hal tersebut, penolakan keras juga datang dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang melihat aturan ini sebagai bentuk kezaliman pemerintah karena sejumlah pasal tembakau dalam RUU Kesehatan sangat diskriminatif terlihat dari wacana pengusul yang juga ingin menekan pergerakan petani tembakau.
"Pengusul tidak ingin tembakau ada di Indonesia sehingga kesannya ada monopoli. Bukan tidak mungkin ke depan petani bisa ditangkap apabila menanam tembakau. Pembeli pun akan memilih bahan lain karena takut dikenai pasal," kata Ketua Dewan Pimpinan APTI Agus Pamudji. Ia pun meminta pemerintah tidak mematikan sektor ekonomi tembakau karena saat pasal ini disahkan kemungkinan produk tembakau hilang yang juga diikuti hilangnya rokok tembakau. (Z-2)
Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait industri tembakau disebut berpotensi membawa kerugian
ASOSIASI Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamekasan Jawa Timur menilai bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 dibuat tanpa libatkan petani tembakau.
PP Kesehatan diterbitkan sebagai upaya langkah preventif dalam menjaga kesehatan masyarakat.
KOMISI IX DPR RI meminta Kemenkes mempercepat penerbitan aturan turunan UU Kesehatan terkait dengan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit atau hospital based.
Menkopolhukam Mahfud MD mempersilahkan pihak yang tidak menerima penetapan Undang-Undang omnibus law Kesehatan mengujinya ke Mahkamah Konstitusi.
Penolakan RUU Kesehatan Omnibus Law yang telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2023 terus datang dari berbagai pihak.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved