Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KAMAR Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai wajar mengenai tren penurunan surplus neraca perdagangan. Sebab, surplus yang dalam tiga tahun terakhir terjadi lebih banyak didorong oleh fluktuasi harga komoditas unggulan dan tingginya permintaan di pasar internasional.
"Jadi (surplus dagang) ini bukan kondisi yang bisa kita pertahankan selamanya, tetapi sangat tergantung pada fluktuasi pasar komoditas global," ujar Wakil Ketua Umum bidang Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani saat dihubungi, Kamis (15/6).
Dia menambahkan, tren harga komoditas dan permintaan global sedari awal 2023 telah melandai, alias mengalami normalisasi pasca-shock yang ditimbulkan dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Hal itu menurutnya akan terus terjadi sepanjang tahun dan amat berat mempertahankan surplus dagang tanpa adanya respons yang cepat serta tepat dari Indonesia.
Baca juga: Neraca Dagang Diprediksi Surplus Tipis di 2023
Di saat yang sama, kondisi ekonomi Indonesia yang semakin mendekati level prapandemi turut mengerek kenaikan impor dalam semua kategori, baik barang modal, bahan baku/penolong, dan konsumsi. Kondisi itu kian memperberat surplus dagang untuk dipertahankan.
Seberapa cepat Indonesia kehilangan momen surplus dagang amat bergantung dari tindakan pemerintah. Stimulus untuk meningkatkan volume ekspor dan mendorong permintaan ekspor produk bernilai tambah menurut Shinta menjadi kuncinya.
Baca juga: Neraca Dagang Indonesia Surplus, Tiga Negara Penyumbangnya
"Bila kinerja ekspor kita bisa dipacu pertumbuhan kinerjanya, surplus neraca dagang bisa dipertahankan lebih lama. Tetapi kalau tidak bisa distimulasi secara eksponensial dan segera, seperti tren yang terjadi selama ini, tentu defisit neraca dagang akan lebih cepat terjadi di tahun ini," jelas Shinta.
Kendati demikian, neraca dagang yang defisit juga tak serta merta mencerminkan keburaman ekonomi Indonesia. Bagi pelaku usaha, imbuh Shinta, asalkan struktur impor Indonesia baik dan ditopang oleh bahan baku/penolong serta barang modal, maka defisit dagang dapat berimplikasi positif.
Itu karena defisit dagang tersebut bersifat produktif dan menunjang perekonomian nasional secara keseluruhan. Pasalnya hal itu terasosiasi dengan ekspansi kapasitas produksi dalam jangka panjang dan ekspansi produktivitas atau kinerja usaha jangka pendek.
"Karena itu, yang lebih kami soroti adalah struktur impor dan besaran peningkatan impor di masing-masing kategori impor," tutur Shinta.
Dia kembali menekankan, peranan pemerintah amat krusial dalam menyikapi peningkatan impor. Sebab, bila dilihat lebih dalam, lonjakan impor barang modal dapat mengindikasikan berkurangnya penciptaan lapangan kerja.
Utamanya bila impor barang modal itu didominasi oleh permesinan yang mengindikasikan peningkatan ekspansi usaha bersifat capital intensive atau padat teknologi. "Ini perlu diwaspadai dalam jangka pendek oleh pemerintah. Karena kondisi ini mengindikasikan pertumbuhan lapangan kerja akan lebih dominan terjadi bagi skilled workers, bukan untuk unskilled workers yang masih sangat mendominasi struktur tenaga kerja nasional," urai Shinta.
"Karena itu perlu respons atau difollow up dengan percepatan transformasi skill tenaga kerja agar sesuai dengan jenis kebutuhan skill pekerja di perusahaan padat modal. Kalau tidak ada respon cepat dan agile terkait itu, pertumbuhan investasi dan ekspansi usaha secara capital intensive ini tidak akan memberikan dampak ekonomi yang cukup baik untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional," lanjutnya.
Sebab, menurut Shinta, kondisi tersebut tidak menciptakan peningkatan serapan tenaga kerja yang cukup tinggi dan penciptaan daya beli masyarakat yang lebih signifikan untuk mendongkrak konsumsi domestik sebagai sumber utama pertumbuhan PDB Indonesia. (Mir/Z-7)
Volume perdagangan luar negeri terjadi surplus sebesar 123,69 ribu ton, yang disumbang oleh surplus komoditas non migas sebesar 512,97 ribu ton.
POLEMIK kebijakan pascapandemi, dan memanasnya konflik geopolitik menjadi faktor pembeda jika dibanding dengan pemicu krisis ekonomi sebelumnya, seperti pada 1998 dan 2008.
NILAI tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Senin (12/8) ditutup melemah di tengah pasar mengantisipasi rilis data neraca perdagangan Indonesia untuk Juli 2024.
Indonesia juga mendorong agar memperjuangkan kepentingan negara berkembang untuk meningkatkan capacity building demi meninggalkan penggunaan merkuri
Neraca perdagangan ekspor-impor Provinsi Kalimantan Selatan pada Maret 2021 mengalami surplus sebesar US$ 493,11 juta atau sekitar Rp7,2 triliun.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 tercatat defisit US$1,33 miliar.
PROVINSI Sulawesi Selatan tidak membutuhkan ada beras impor karena Sulsel surplus dan mensuplai ke beberapa provinsi lain
GUBERNUR Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo menegaskan Provinsi Jateng tak perlu menerima beras impor dari pusat. Pasalnya, Jateng merupakan penghasil beras yang besar.
Gubernur Sumatra Selatan Herman Deru mengklaim provinsi tersebut setiap tahun selalu dalam kondisi surplus beras.
Sumatra Barat (Sumbar) tak berdampak fenomena El Nino dari sisi pangan. Bahkan Sumbar, yang dikenal penghasil beras premium, mengalami surplus beras 20-30 ton per bulan.
Kinerja ekspor nonmigas mendominasi dengan 98,34% dari total perdagangan luar negeri, pada Januari 2025.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved