Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Bukan sekadar Bisnis Pembalut

Fathurrozak
12/1/2023 08:05
Bukan sekadar Bisnis Pembalut
Produk Biyung Indonesia.(Dok. Biyung Indonesia)

KARENA berlatar belakang sebagai pendidik di bidang lingkungan, Westiani Agustin banyak mengajar ke berbagai sekolah, kelompok, dan komunitas. Salah satu yang diajarkan terkait dengan hal yang bisa dilakukan di lingkungan terdekat, termasuk soal pengelolaan konsumsi pembalut sekali pakai.

“Selama ini ada stigma perempuan itu penghasil sampah bulanan tersebut. Kami melihat itu penting untuk diintervensi,” kata Westiani, atau akrab disapa Ani, kepada Media Indonesia, Senin (9/1).

Setelah merenungkan persoalan tersebut, ia pun mulai melakukan riset kecil-kecilan pada 2016 dalam upaya pengurangan sampah pembalut sekali pakai dengan substitusi pembalut kain yang bisa digunakan secara berulang. Saat itu, Ani merupakan salah satu pengguna pembalut kain. Hingga pada Agustus 2018, ia merilis bisnisnya yang diberi nama Biyung Indonesia.

“Kami awalnya memang berbicara soal pengurangan sampah. Salah satu solusinya adalah menawarkan produk pembalut kain yang bisa dipakai berulang dan bisa digunakan hingga empat tahunan,” terang Ani.

Biyung menawarkan produk pembalut kain mereka via Instagram (@b.i.y.u.n.g). Pada tahap awal, dalam sebulan mereka baru mampu memproduksi 10 set pembalut kain (satu set berisi empat buah). Ketika itu, Ani menggelontorkan modal Rp4 juta untuk kebutuhan produksi. Ia dibantu dua anaknya untuk mengerjakan di rumah.

“Karena ketika itu Instagram langsung terhubung dengan nomor-nomor kontak di ponsel, itu kemudian menjadi target audiens awal kami. Terhubung ke jaringan-jaringan kerja yang fokusnya lingkungan yang menjadi kolega saya di tempat bekerja saya sebelumnya. Kami juga cukup terbantu karena pada 2018 mulai populer gerakan zero waste. Jadi, itu juga terhubung saat kami menggunakan tagar. Signifikan sekali,” ujarnya.

Selain memanfaatkan algoritma Instagram yang turut menaikkan pengikut akun bisnisnya, pada fase awal Ani menawarkan produk pembalut kain ke beberapa jaringan komunitas yang berfokus pada isu lingkungan secara langsung.

Namun, dalam perkembangannya, ia menganalisis Biyung hanya bisa menjangkau 20% dari populasi perempuan yang aktif menstruasi sebagai konsumen mereka. Angka tersebut didapat dari riset pasar. Mereka melihat pada kelas ekonomi kelompok perempuan Indonesia yang terakses ke digital serta memiliki pemahaman tentang konsumsi sehat yang berdampak baik bagi lingkungan.

Ani pun melihat upaya yang dilakukannya bersama Biyung menjadi kurang signifikan. Karena berbicara soal pengurangan sampah, target yang terjangkau seharusnya lebih masif. Sementara itu, produk Biyung hanya mampu menjangkau sebagian kecil dari mereka yang terakses oleh internet.

“Bagaimana dengan 80% kelompok perempuan lainnya? Pada akhir 2018, kami mendapat kesempatan diundang lokakarya di salah satu desa di Gunungkidul. Di situ, kami tidak bisa datang bicara pengurangan sampah karena ada persoalan lain. Terkait akses pembalut sekali pakai saja mereka kesulitan.”

Ani dan Biyung pun makin disadarkan setelah diundang dalam lokakarya tersebut. Produk mereka ketika itu masih tergolong cukup eksklusif karena hanya bisa diakses kelompok tertentu dengan status ekonomi yang lebih mapan.

Menurut bidan di desa tersebut (Gunungkidul), kata Ani, tingkat kanker serviks cukup tinggi akibat penggunaan pembalut sekali pakai dalam jangka waktu yang cukup lama, yang seharusnya diganti pemakaiannya sehari tiga sampai empat kali. “Jadi, kami mau bicara soal pengurangan sampah, tapi harus dengan strategi lain. Akses informasi tentang hak sehat minim. Kami menggunakan pembalut kain sebagai upaya pengurangan sampah dan untuk memenuhi kesehatan perempuan dan lingkungan.”

 

Galang dana

Sejak menangani lokakarya di salah satu desa di Gunungkidul itu, Ani pun memutuskan untuk menaikkan harga produk Biyung dengan tujuan 30% dari hasil penjualan akan digunakan untuk subsidi produksi pembalut kain dan dibagikan gratis ke kelompok rentan.

Di samping subsidi silang, Biyung menjalankan program galang dana untuk produksi pembalut kain yang distribusinya ditujukan ke kelompok perempuan dengan kemampuan ekonomi lemah. Galang dana pertama berlangsung pada Oktober 2018-Maret 2019.

Program itu berlanjut dan dalam sebulan Biyung mampu memproduksi sekitar 50 set pembalut kain. Mereka pun bisa mengejar produksi 100 set pembalut kain dalam sebulan.

Namun, pandemi mengganggu situasi bisnis sosial mereka. Produksi anjlok hingga hanya mencapai 30% dari skala produksi 100 set. Pada masa pandemi, Biyung cukup terbantu dengan produksi masker meski sempat menyatakan kolaps secara internal.

“Untungnya pada Agustus 2020, ada teman jaringan yang mengajak kolaborasi untuk galang dana donasi pembalut. Jadi, kami mulai kembali produksi untuk didistribusikan di kampung-kampung yang terdampak oleh covid-19 waktu itu,” kata Ani.

 

Perubahan fokus 

Skema penggalangan dana untuk mendukung produksi pembalut kain pun terus berlanjut hingga 2022. Skema itu juga dibarengi kolaborasi dengan beberapa kelompok untuk memproduksi pembalut kain, seperti kelompok perempuan difabel.

Kini, Biyung juga mencoba mulai mengubah fokus bisnis mereka. Hal itu bermula dari keikutsertaan mereka dalam suatu kelas yang diadakan Sociopreneur Indonesia. Dari kelas tersebut, para mentor menilai, jika Biyung ingin berbicara dampak pengurangan sampah dan bisa bermanfaat ke lebih banyak kelompok perempuan, mereka tidak bisa lagi cuma berfokus pada produk pembalut kain.

“Tapi harus fokus di aktivitas edukasinya yang ditingkatkan. Jadi, harus mencari konsumen target antara. Mereka yang nantinya bisa membantu pengadaan pembalut kain. Jadi, saat ini kami sedang shifting (beralih) ke arah itu,” jelas Ani.

Pada 2022, Biyung Indonesia membukukan omzet Rp200 juta dengan total 5.951 pembalut kain yang diproduksi dan 1.190 individu memakai pembalut kain mereka. Dari hitungan tersebut, mereka mengalkulasi ada pengurangan sampah pembalut sekali pakai hingga 571.296 lembar dan ada penghematan hingga Rp571,2 juta.

“Kalau customer langsung, yang bukan target antara, sekarang ini sekitar 40% karena memang masih ada penjualan di lokapasar digital atau reseller.”

 

Catatan pemerintah

Di tengah gegap gempita perhatian pemerintah terhadap para pelaku UMKM saat ini dengan berbagai program yang diluncurkan, Ani mencatat ada beberapa hal yang masih perlu dibenahi. Ia melihat pola pembentukan ekosistem yang dilakukan pemerintah masih sama. Dalam program-program yang diluncurkan, fokus utamanya ialah ‘kejar target’.

“Baik ketika belum dan setelah digital, yang dijangkau hanya kenalan tertentu, atau ketika kami pernah ikut di salah satu program kementerian, kami tidak dilihat produknya, tapi mereka melihatnya ada berapa ribu UMKM yang terlibat dalam penjualan di program mereka sehingga untuk bicara sebagai produk yang memiliki dampak, itu tidak berpengaruh.”

Bagi Ani, bisnis yang memiliki misi sosial masih belum begitu dilirik dan dilibatkan. Pemerintah masih begitu fokus pada usaha yang menjalankan bisnis pada umumnya. (M-3)

 

Biodata

Biyung Indonesia

Sejak: 2018

Produk: Pembalut kain, program edukasi, dan lokakarya kesehatan reproduksi dan lingkungan

Instagram: @b.i.y.u.n.g

Domisili: Sleman, DI Yogyakarta

Pendiri: Westiani Agustin

Pendidikan: S-1 komunikasi Undip Semarang



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya