Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Pajak Sawit Rp20 Triliun Setahun Serap 16,2 Juta Pekerja

Insi Nantika Jelita
28/12/2021 17:31
Pajak Sawit Rp20 Triliun Setahun Serap 16,2 Juta Pekerja
Pekerja mengumpulkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Mamuju, Sulawesi Barat, Minggu (14/11/2021).(Antara/ Akbar Tado.)

BADAN Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyebut penerimaan pajak dari industri sawit mencapai Rp20 triliun per tahun. Industri ini bahkan mampu menyerap jutaan pekerja.

"Penyediaan lapangan pekerjaan dari industri sawit memberikan kontribusi yang besar. Sekitar 16,2 juta pekerja terlibat di sektor ini, mulai dari sisi perkebunan sampai industri hilir," ungkap Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman dalam konferensi pers virtual, Selasa (28/12).

Dari angka tersebut, 4,2 juta pekerja merupakan tenaga langsung dan 12 juta lain tenaga tidak langsung. Eddy menuturkan, industri sawit juga menyerap 2,4 juta petani, baik petani rakyat maupun swadaya.

Dari sisi produksi sawit, sejak BPDPKS didirikan pada 2015 sampai saat 2020, rata-rata produksi sawit mencapai 39,84 juta metrik ton. "Untuk nilai konsumsi terhadap produk sawit dalam lima tahun atau dari 2015-2020 berada Rp5,2 triliun. Sedangkan rata-rata nilai ekspor per tahun sebesar US$20,67 miliar," jelas Eddy. Dengan menyumbang pajak Rp20 triliun per tahun, industri sawit dinilai memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian negara Indonesia. 

Direktur Utama BPDPKS juga menyampaikan capaian kinerja program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sejak 2016 sampai dengan 2021, realisasi penyaluran dana PSR seluas 242.537 hektare untuk 105.684 pekebun mencapai dana Rp6,59 triliun. Ini tersebar di 21 provinsi di Indonesia.

Baca juga: Sepanjang 2021, Tingkat Kemiskinan Belum Mampu Diturunkan

Capaian di tahun ini memang diakui Eddy menurun dibandingkan tahun sebelumnya antara lain disebabkan oleh legalitas lahan, khususnya terkait dengan kawasan hutan dan tumpang tindih lahan. "Permasalahan lain soal kelembagaan pekebun dan tingginya harga CPO (minyak mentah) yang menyebabkan keengganan pekebun untuk memulai penanaman kembali," urainya. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya