Pemerintah Berburu Pajak di Kebun Binatang, Celios Ajari Cara Lebih Elegan
Ihfa Firdausya
13/8/2025 09:59
Ilustrasi(Antara)
Center of Economic And Law Studies (Celios) baru-baru ini menerbitkan kajian berjudul Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang. Menurut Celios, berburu di kebun binatang dalam dunia perpajakan menggambarkan pendekatan dengan hanya menyasar wajib pajak yang mudah teridentifikasi, terdokumentasi, dan sudah patuh, seperti pegawai, guru, dosen, karyawan swasta, buruh, perusahaan dan UMKM formal.
Namun bukannya mengejar kelompok kaya, korporasi besar, atau entitas, yang menyembunyikan kekayaan dan menghindari pajak melalui skema rumit, seperti transfer pricing atau penggunaan tax haven.
“Analogi hewan di kebun binatang mengacu pada wajib pajak yang sudah tertangkap sistem. Sementara hewan liar di hutan adalah mereka yang berpenghasilan tinggi, triliuner, namun lolos dari radar perpajakan,” tulis laporan tersebut, dikutip Rabu (13/8).
Untuk itu, Celios memaparkan 12 alternatif pendapatan pajak baru yang nilainya bisa mencapai Rp524 triliun.
Pajak Kekayaan: Selama ini, Indonesia dinilai belum menerapkan pajak kekayaan secara progresif. Pajak atas aset kekayaan memang secara terbatas telah diterapkapkan melalui pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak atas barang mewah (PPnBM), dan PPh final atas deviden. Namun, serangkaian pajak eksisting tersebut belum efektif menyasar keseluruhan aset bersih yang dimiliki individu. Studi ini mengusulkan penerapan pajak kekayaan sebagai solusi progresif dalam mendorong penerimaan negara. Perhitungan potensi penerimaan negara apabila diterapkan hanya pada 50 orang terkaya di Indonesia dengan asumsi tarif 2% dari total 16 kekayaannya, maka akan terkumpul sebesar Rp81,56 triliun setiap tahunnya. Barisan 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rerata kekayaannya mencapai Rp159 triliun.
Pajak Penghilangan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Loss Tax): Pajak biodiversity loss adalah instrumen pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha, industri, dan proyek pembangunan yang terbukti mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dalam bentuk deforestasi, konversi lahan, dan eksploitasi bentang alam, kepunahan spesies, dan berbagai kerusakan degradatif lainnya. Integrasi Pelestarian Biodiversitas dan Kohesi Sosial dalam Transformasi Ekonomi Indonesia yang mengestimasi potensi pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati dapat mencapai Rp48,58 triliun per tahun. Estimasi ini memperhitungkan konversi lahan bernilai ekologis tinggi, seperti hutan alam primer, kawasan gambut, dan habitat spesies endemik, yang selama ini tergerus oleh ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan besar.
Pajak Digital: Pajak digital adalah instrumen pemajakan atas aktivitas ekonomi yang berlangsung di ranah digital, seperti penjualan barang dan jasa digital, iklan online, layanan streaming, dan platform digital lintas negara. pajak digital menjadi cara efektif untuk memastikan bahwa bisnis digital yang menikmati keuntungan dari pengguna dan pasar lokal juga berkontribusi pada penerimaan negara. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak digital mencapai Rp29,53 triliun dari total pendapatan bruto sebesar Rp590,58 triliun. Angka ini menggambarkan ruang fiskal yang sangat besar yang dapat digali dari sektor ekonomi digital, sekaligus menegaskan pentingnya desain kebijakan yang mampu menangkap nilai ekonomi digital secara lebih adil dan efektif.
Pajak Karbon: Pajak karbon adalah pungutan yang dikenakan terhadap emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO₂), yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi seperti industri, pembangkitan listrik, dan transportasi. Tujuannya adalah memberi tarif pada polusi, mendorong pelaku usaha mengurangi emisi, serta mendorong peralihan ke energi bersih dan teknologi ramah lingkungan. Studi ini menggunakan perhitungan potensi pajak karbon menggunakan asumsi besaran emisi akibat penggunaan lahan. Sebagaimana temuan Global Carbon Budget Report tahun 29 2023 mengungkapkan bahwa rata-rata tahunan emisi karbon akibat penggunaan lahan, sepanjang 2013-2022, di indonesia telah mencapai 930 juta ton. Perhitungan mengasumsikan nilai tukar per 5 Mei 2025 yang berada di posisi Rp16.421 per dolar AS.
Peningkatan Tarif Pajak Capital Gain: Pajak Capital Gain menyasar keuntungan yang diperoleh dari kenaikan nilai aset. Pajak ini berlaku ketika penjualan atau pengalihan aset lebih tinggi dibandingkan harga belinya dengan memperhatikan ambang batas tertentu. Umumnya diterapkan pada aset investasi meliputi properti, saham, dan obligasi. Celios menyebut selama ini tidak ada instrumen pajak yang kontras membedakan antara pungutan atas transaksi yang melibatkan aset dengan pungutan dari lonjakan keuntungan nilai aset. Penerapan pajak capital gain menjadi upaya konkrit untuk menjaga agresivitas pajak bagi pelaku usaha dan investor besar yang mendulang keuntungan berlipat ganda secara temporer dari lonjakan harga dan peningkatan permintaan. Potensi penerimaan negara dari tarif pajak capital gain saham dan obligasi diperkirakan mencapai Rp7,03 triliun per tahun.
Pajak Kepemilikan Rumah Ketiga: Pajak kepemilikan rumah ketiga adalah pungutan fiskal atas kepemilikan properti dengan nilai sangat tinggi, seperti rumah elit, apartemen premium, vila eksklusif, dan bangunan komersial berstandar tinggi. Selama ini, Pajak kepemilikan rumah ketiga di Indonesia belum diberlakukan. Pajak atas barang mewah (PPnBM) hanya dikenakan sekali saat pembelian dan tidak memisahkan secara aktual pembelian rumah di luar fungsi hunian atau lebih dari dua unit. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang seharusnya. Pajak kepemilikan rumah ketiga berpotensi meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp1-2,2 triliun per tahun. mencerminkan nilai objek properti justru disamaratakan dan tidak proporsional.
Pajak Warisan: Pajak warisan adalah pungutan atas kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang kepada ahli warisnya, baik berupa tanah, rumah, saham, deposito, bisnis, atau aset lainnya. Penerapan Pajak warisan progresif bukanlah larangan bagi keluarga untuk mewariskan aset kepada anaknya. Namun, negara mengemban mandat publik untuk menjamin ambang batas yang proporsional dalam perpindahan kekayaan lintas generasi. Data BPS tahun 2023 yang mencatat jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 72 juta. Setiap tahun, sekitar 1,4 juta orang meninggal. Dari jumlah itu, diperkirakan sekitar 200.000 kasus warisan berasal dari kelompok menengah atas dan memenuhi syarat untuk dikenai pajak. Dalam simulasi konservatif, warisan di bawah Rp1 miliar dibebaskan dari pajak, sementara sisanya dikenai tarif progresif antara 5–20%. Dengan asumsi rata-rata pungutan pajak per kasus berkisar antara Rp30 juta hingga Rp100 juta, maka potensi penerimaan negara dari pajak warisan bisa cukup signifikan.
Pajak Produksi Batubara: Pajak produksi batubara adalah instrumen fiskal yang dikenakan atas aktivitas ekstraksi dalam bentuk pungutan khusus berbasis kelebihan volume atau nilai produksi. Studi ini menghitung potensi penerimaan negara dari pajak produksi batubara dalam skenario konservatif dan progresif. skenario konservatif menghitung pajak langsung dengan tarif pajak US$2,5/ton terhadap total produksi batu bara. Sementara skenario progresif hanya berfokus pada realisasi produksi yang melebihi target dengan tarif pajak 30% dari harga batu bara dunia. Dengan demikian, potensi penerimaan negara yang didapatkan dari pajak produksi batu bara sekitar Rp34,33 - Rp66,49 triliun. P
Pajak Windfall Profit Sektor Ekstraktif: Pajak windfall profit adalah pajak tambahan yang dikenakan atas keuntungan bagi perusahaan atau akibat lonjakan harga pasar yang tidak disebabkan oleh upaya kinerja sendiri melainkan faktor eksternal atau dinamika pasar. Penerapan pajak windfall profit sangat relevan pada momentum kenaikan harga komoditas ekspor di pasar global. Penerapannya kedepan perlu intensif menyasar sektor batubara, minyak sawit, dan energi dengan tetap mempertimbangkan ambang batas ukuran usaha supaya tidak membebani pelaku kecil. Potensi penerimaan negara dari pajak windfall profit sektor ekstraktif diperkirakan mencapai Rp49,97 triliun per tahun.
Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan: Cukai minuman berpemanis merupakan pungutan khusus yang dikenakan atas minuman kemasan yang mengandung tambahan gula, baik dalam bentuk cair seperti sirup, teh manis dalam kemasan, dan minuman berkarbonasi maupun dalam bentuk serbuk. Kalkulasi cukai minuman berpemanis menggunakan tarif volumetrik dan didasarkan pada asumsi konsumsi nasional sebesar 780 juta liter per tahun, dengan tarif rata-rata yang dirancang sebesar Rp5.000 per liter. Skema ini mempertimbangkan jenis produk yang beredar luas di pasaran, kadar gula dalam tiap kategori minuman, serta potensi jangkauan implementasi dibandingkan volume pasar formal. Berdasarkan perhitungan tersebut, potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp3,9 triliun.
Pengakhiran Insentif Pajak yang Pro Konglomerat: Pengakhiran insentif pajak pro konglomerat merujuk pada upaya reformasi kebijakan perpajakan yang selama ini memberi pengecualian, penangguhan, pengurangan, bahkan pembebasan pajak kepada korporasi besar tanpa justifikasi manfaat ekonomi yang jelas bagi masyarakat. Studi ini mengusulkan agar pemerintah Indonesia meninjau ulang seluruh skema insentif pajak dan mendorong realokasi belanja perpajakan untuk iklim investasi dan dunia bisnis. Potensi realokasi belanja perpajakan yang dikhususkan untuk peningkatan iklim dan dunia investasi saat ini mencapai Rp137,4 triliun. Menutup insentif pajak pro-konglomerat adalah langkah strategis untuk membebaskan APBN dari beban yang tidak adil, dan mengembalikan kredibilitas dan transparansi pajak. Potensi realokasi belanja perpajakan yang selama ini lebih menguntungkan konglomerat akan mengumpulkan penerimaan sebesar Rp137,4 triliun.
Penurunan tarif PPN dari 11% ke 8%: Penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dengan cara mengurangi persentase pungutan PPN atas konsumsi barang dan jasa. Sementara PPN itu sendiri adalah pajak tidak langsung pada setiap tahap rantai produksi dan distribusi yang dibebankan kepada konsumen akhir.
Dalam praktik global, negara-negara dengan sistem perpajakan progresif justru menjaga tarif PPN tetap moderat dan menerapkan pendekatan multi-tarif. Skema ini memungkinkan kebutuhan dasar masyarakat dikenai tarif lebih rendah, atau bahkan dibebaskan dari PPN, sementara barang mewah dikenakan tarif lebih tinggi.
Secara lebih spesifik, skenario penurunan tarif PPN hingga 8% diproyeksikan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat sebesar 0,74% dan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp133,65 triliun. Dampak pengganda ini pada akhirnya turut meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan pajak bersih hingga mencapai Rp1 triliun per tahun. (Ant/E-3)
Pemerintah berupaya memperluas basis pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara. Salah satunya membidik pengenaan pajak berbasis media sosial dan data digital di tahun depan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rata-rata penerimaan pajak mengalami kenaikan menjadi Rp181,3 triliun per bulan di sepanjang semester I 2025.
Kanwil DJP Bali telah mengumpulkan penerimaan pajak sejumlah Rp6,27 triliun atau 34,86% dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp17,99 triliun hingga Mei 2025.
Penaikan tarif pajak tidak akan berdampak positif bagi penerimaan negara dan perekonomian. Naiknya pungutan pajak justru dapat menghasilkan masalah baru.