Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Direktori 76 Burung Endemik Fakfak, Papua Barat

Media Indionesia
15/12/2024 05:10
Direktori 76 Burung Endemik Fakfak, Papua Barat
Cover buku Burung-burung dalam Tinjauan Budaya Mbaham Matta, Fakfak.(Dok. Obor Indonesia bekerja sama dengan Konservasi Indonesia)

SEBUAH buku direktori berjudul Burung-burung dalam Tinjauan Budaya Mbaham Matta, Fakfak menjadi sumbangan penting dalam pendokumentasian keanekaragaman hayati Indonesia. Nun di ujung Papua Barat, di pedalaman hutan Fakfak, sebanyak 76 burung yang mendiami terdokumentasikan melalui tangkapan foto dari para fotografer yang tergabung dalam Fakfak Birding.

Dalam buku tersebut, beberapa informasi yang disematkan, selain foto 76 jenis burung di Fakfak, juga tertera nama nasional burung, nama lokal berdasarkan bahasa Iha dan bahasa Mbaham, serta nama latin. Bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh dua suku besar di Fakfak, yakni suku Mbaham yang menggunakan bahasa Mbaham dan suku Matta yang menggunakan bahasa Iha.

Kedua suku tersebut juga memiliki kaitan erat antara burung dan ritus adat. Misalnya, dalam tari, nyanyian, hingga kepercayaan banyak yang dipengaruhi oleh keberadaan dari burung-burung yang ada di hutan Fakfak.

Buku ini dibuka dengan pengantar mengenai letak geografis dan sejarah Fakfak yang telah menjadi afdeling (wilayah administratif setingkat kabupaten) pada masa kolonial Belanda. Buku juga menyebut Fakfak telah disebut dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada 1365. Disebutkan, daerah bernama Wwanin dan Sran merupakan daerah di bawah kedaulatan Majapahit. Wwanin, merujuk pada Onin, yang terletak di Pantai Barat Kokas, Fakfak.

Beberapa jenis burung yang terdokumentasikan di antaranya kasuari gelambir-ganda, yang memiliki nama lokal dalam bahasa Iha Swep, shimat (kasuari dewasa), ndramai, dan lulu untuk anakan kasuari. Adapun dalam bahasa Mbaham, kasuari-gelambir ganda dinamakan srok dan mbrimed. Nama dalam bahasa Inggris burung ini ialah southern cassowary, dan nama latinnya ialah Casuarius casuarius.

Disebutkan dalam buku ini, kasuari gelambir-ganda memiliki bulu rambut berwarna hitam yang keras dan kaku, kulit leher berwarna biru dan terdapat dua buah gelambir berwarna merah, serta mempunyai tanduk berbentuk pipih dan tinggi berwarna cokelat pada bagian atas kepala. Warna bulu kasuari saat masih kecil ialah kuning, disebut mbrimat, sedangkan kasuari yang besar memiliki bulu hitam, yang disebut wone.

Untuk mencari pasangan, burung kasuari jantan akan saling serang guna memperebutkan betina. Adapun kasuari betina melakukan poliandri. Setelah proses peneluran, kasuari betina akan meninggalkan telurnya. Mengerami hingga menetaskan, serta mengasuh anakan adalah tugas dari kasuari jantan. Ciri-ciri jantan ialah memiliki gelambir menggantung ke bawah, sedangkan betina gelambirnya kecil.

Disebutkan juga dalam kearifan lokal yang menjadi kepercayaan sebagian masyarakat Mbaham Matta, kasuari bisa menjadi penunjuk jalan ke suatu tempat dalam hutan. Burung ini juga bisa membuat orang tersesat, jika ada maksud tidak baik dari orang tersebut.

Pada buku ini juga disebutkan ada beberapa burung yang tertangkap kamera memiliki setidaknya tiga jenis. Misalnya, delimukan, terdapat delimukan tembaga, delimukan dewata, dan delimukan timur. Pergam juga terdata ada tiga jenis: pergam ekor-ungu, pergam pinon, dan pergam zoe. Burung walik juga terdata tiga jenis: walik wompu, walik raja, dan walik elok.

Tak semua dari total 76 burung yang terpotret punya cerita lokal. Beberapa dalam daftar ini, misalnya seperti burung tiong-lampu biasa (Eurystomus orientalis). Burung yang dalam bahasa Iha disebut katarombak dan dalam bahasa Mbaha disebut nggawaknggawak ini memiliki panjang 30 sentimeter. Burung ini juga biasa disebut tengkek buto. Tiong-lampu biasa memiliki tubuh kekar dengan kepala datar dan warna biru gelap dengan paruh pendek berwarna merah cerah.

Salah satu kepercayaan yang paling menarik, barangkali dimiliki oleh burung kucing tutul (Ailuroedus melanotis). Dikenal dengan nama siksika dalam bahasa Iha dan mbrap dalam bahasa Mbaha, kucing tutul dipercaya oleh suku Mbaha tak dapat dibunuh oleh manusia. Jika ada manusia yang membunuhnya, akan datang musibah.

Salah satu yang mungkin perlu menjadi catatan dari buku ini ialah bagaimana perjalanan migrasi dari burung-burung tersebut, perkiraan jumlah yang masih ada saat ini, hingga status kepunahannya. Dengan begitu, akan memberikan informasi tambahan tentang bagaimana pembaca memahami lebih komprehensif perihal muasal burung-burung tersebut berada di Fakfak, Papua Barat. Dalam penyusunan halaman, burung-burung juga tidak diurutkan berdasarkan abjad.

Sebagai buku rintisan direktori keanekaragaman hayati tanah Papua Barat, ini sangat cocok menjadi bacaan bagi siswa maupun orangtua bersama anak-anak mereka untuk mengenalkan keragaman burung Indonesia, serta mengenalkan untuk menjaga kelestarian alam.

Foto-foto yang mengabadikan burung-burung endemik ini juga menjadi yang paling menarik untuk mengenali rupa mereka. (Jek/M-3)

 

Data Buku

Judul: Burung-burung dalam Tinjauan Budaya Mbaham Matta, Fakfak

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia bekerja sama dengan Konservasi Indonesia

Halaman: 100 (foto disertai teks)

Cetakan pertama: Oktober 2024



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya