Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
POLITIKUS sepuh Amien Rais dalam setiap ‘orasi’ politiknya, entah bermaksud apa, kerap menilai orang lain dengan menggunakan peribahasa Jawa. Misalnya, menyebut wapres terpilih Gibran Rakabuming Raka timun wungkuk jaga imbuh.
Arti harfiah ungkapan itu timun bengkok jaga-jaga tambahan. Maksudnya, timun yang tidak punya nilai ekonomi karena kualitasnya tidak baik. Dengan kata lain, timun yang tidak laku diperjualbelikan karena tidak memenuhi standar.
Bila peribahasa tersebut ditujukan kepada seseorang, maknanya orang dimaksud tidak memiliki kelebihan apa-apa. Keberadaannya tak penting, sekadar pelengkap atau untuk menggenapi. Tanpa dia atau tidak ada sekalipun tak masalah.
Baca juga : Laku Prihatin
Terlepas dari kepentingan politik, dalam cerita wayang, orang model minus seperti itu cukup banyak dalam keluarga Kurawa yang berjumlah seratus. Di antaranya Citraksi dan Citraksa. Keduanya adik Raja Astina Prabu Duryudana.
Bila mengkritisi Citraksi, sepanjang usia rezim Kurawa, tidak ada lakon penting yang melibatkan perannya. Kenapa? Ya karena tidak memiliki kemampuan apa pun. Ironinya, wataknya keminter (sok tahu) maka tak aneh bila tingkahnya congkak.
Kekurangan lain, kalau berbicara, gagap dan tersendat-sendat. Padahal, semangat ngomong-nya menggebu-gebu. Dengan begitu, orang lain yang mendengarnya pasti berasa sesak napas. Apalagi nada ucapannya tinggi dan tidak ada titik-komanya.
Baca juga : Flexing Woman
Namun, Citraksi punya sisi positif, yaitu kedisiplinan. Selalu hadir dan aktif usul setiap ada pertemuan dengan saudara dan pamannya, Patih Sengkuni. Biasanya acara itu digelar setelah rapat kabinet di sitinggil yang dipimpin raja.
Pada kesempatan seperti itu biasanya Sengkuni menyampaikan hasil rapat. Misal ada keputusan raja yang mesti ditindaklanjuti. Di situlah Citraksi menyela-nyela bicara yang ujung-ujungnya membuat peserta lain merasa asam lambung mereka naik.
Kalau sudah begitu, Dursasana, kakaknya, sambil terkekeh-kekeh mengelus-elus kepala Citraksi agar lebih baik mendengarkan saja karena kasihan begitu susahnya bicara. Biasanya Sengkuni lalu berucap, Citraksi pasti diberi tugas dan disediakan anggarannya.
Baca juga : Bukan Nasab Bharata
Tidak hanya dalam hal bicara, Citraksi punya semangat (seolah-olah) patriotik ketika Astina (Kurawa) menghadapi musuh. Gerakannya memang trengginas dan tampak terampil memainkan senjata gada, tapi kalau perang, tak pernah menang.
Ketika terjadi Bharatayuda, Citraksi terjun di palagan Kurusetra. Ia bersama lima saudara, Adityaketu, Bimarata, Bimawega, Halayuda, dan Jalasuma, tidak seimbang dan semua tewas saat berhadapan dengan Utawa, senapati Pandawa dari Wiratha.
Menurut versi lain, Citraksi tidak ikut berperang. Diceritakan masih hidup pasca-Bharatayuda dan bersembunyi di Mandaraka. Namun, warga akhirnya mengetahui keberadaan serta identitasnya kemudian ia dikeroyok hingga mati konyol.
Baca juga : Rukun Agawe Santosa
Gebuki Sengkuni
Tidak berbeda dengan Citraksa. Bahkan, Citraksi dan Citraksa bagaikan anak kembar. Bicaranya juga gagap dan congkak pula. Ke mana-mana keduanya sering bersama-sama. Hanya model pakaian dan aksesori mereka yang sedikit berbeda.
Sebagai sesama murid Resi Durna, Citraksa lebih unggul jika dibandingkan dengan Citraksi dalam olah keprajuritan, terutama melempar tombak dan lembing. Namun, secara keseluruhan tidak jauh berbeda, sama-sama kurang ahli.
Seperti ‘kembarannya’, Citraksa juga selalu semangat ketika bertugas memimpin barisan pasukan dalam misi tertentu. Merasa penampilannya yang paling baik dan beres ketimbang yang lain. Gaya dan polah tingkahnya kemaki (berlagu).
Dalam pakeliran, Citraksa digambarkan selalu percaya diri mampu menyelesaikan setiap tugas yang diberikan Sengkuni. Misalnya, menghadapi Pandawa, selalu bersumbar dirinya sendiri bisa mengalahkan semua saudara sepupunya itu.
Namun, kenyataannya baru berkonflik dengan para putra Pandawa saja, sudah lari tunggang-langgang. Sukanya lantang menantang, tetapi ketika Antasena, anak Werkudara, yang datang, nyalinya mengerut. Takut dirundung dan dikerjai.
Dalam satu cerita, pada suatu ketika Citraksa ditelikung Antasena karena melawan gerakan putra Pandawa yang akan ‘mengadili’ Duryudana. Menurut Wisanggeni, pemimpin aksi tersebut, uaknya (Kurawa) tidak punya hak menguasai takhta Astina.
Dari hubungan darah, Citraksa itu paman Antasena. Kurawa ialah anak Drestarastra-Gendari, sedangkan Pandawa putra Pandu dengan Kunti dan Madrim. Drestarastra dan Pandu kakak-beradik, putra mantan raja Prabu Kresnadwipayana.
Ketika tak berkutik, Citraksa diberi dua opsi oleh Antasena, pilih mati atau hidup. Tentu saja pilih hidup mengingat nikmatnya jadi bagian rezim penguasa korup. Namun, kata Antasena, bila ingin masih tetap bernapas, harus mengikuti perintahnya.
Citraksa disuruh menggebuki Sengkuni hingga babak belur. ‘Tugas’ tersebut lalu dilaksanakan sebaik-baiknya. Terus terang Citraksa mengatakan kepada pamannya, yang dilakukan bukan pembangkangan, melainkan demi keselamatan nyawanya.
Beruntung Sengkuni tidak mengalami efek serius akibat aksi brutal keponakannya tersebut. Kesaktiannya itu berkah sekujur tubuhnya pernah terlumuri minyak tala, pusaka milik Begawan Abiyasa yang pernah diperebutkan Kurawa dan Pandawa.
Pada awal perang Bharatayuda, Citraksa ikut berperang. Tidak banyak yang bisa diperbuat karena tidak memiliki kesaktian yang dibutuhkan sebagai senapati. Karena itu, dengan mudah ia dilenyapkan senapati Pandawa, Wratsangka, dari Wiratha.
Saat itu Citraksa berusaha mengeroyok Wratsangka bersama dengan saudaranya, yakni Citrayuda, Surtayu, Citrakundala, dan Dirgalasara. Taktik terlarang dalam aturan perang. Akibat terlalu rapuh, mereka gampang diganyang.
Begitulah cerita dua orang yang tidak ada gunanya, terutama dalam konteks kedudukan sebagai ‘pejabat’ negara rezim Kurawa. Keberadaan mereka tidak bisa diandalkan karena minus kemampuan.
Citraksi dan Citraksa gambaran timun wungkuk jaga imbuh. Sebenarnya hampir semua anggota Kurawa ber-SDM lemah. Keberhasilan mereka menguasai Astina karena akal busuk, yang justru pada akhirnya menjadi jalan kematian mereka. (M-3)
ADA kata-kata bijak, ‘pemimpin itu juga guru’. Maknanya, pemimpin semestinya juga berjiwa pendidik karena ucapan, sikap, dan perilakunya harus bisa menjadi contoh.
Wayang kulit adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Seni tradisional ini bukan hanya hiburan semata, tetapi juga memiliki nilai filosofi dan sejarah mendalam
Keduanya memiliki nilai budaya yang tinggi, namun cara penyampaian cerita dan visualisasinya sangat berbeda, mencerminkan keragaman dalam tradisi wayang di Indonesia.
Di antara banyak tokoh pewayangan, Semar menempati posisi istimewa sebagai sosok yang penuh misteri namun kaya akan kebijaksanaan.
Temukan sejarah wayang kulit, dari asal-usulnya hingga perkembangannya dalam budaya Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved