Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
HARI-HARI ini hingga 23 November mendatang ialah masa kampanye Pilkada 2024. Waktu bagi para calon pemimpin daerah bersama wakil mereka menyampaikan rencana program serta visi dan misi mereka kepada masyarakat agar memilih mereka.
Dalam perspektif dunia wayang, masa kampanye merupakan waktu para kesatria menjalani laku prihatin untuk menggayuh wahyu (amanah). Mereka melakoni ritual spiritual tersebut lewat cara dan kodratnya masing-masing.
Di antara laku itu, misalnya dengan tapa ngrame (mengendalikan hawa nafsu di tengah kehirukpikukan) atau menyepi dan bertapa di hutan atau gunung. Intinya mengasah kualitas diri (jiwa) dan memohon anugerah sang Maha Pengasih.
Baca juga : Flexing Woman
Laku demikian itu dijalani siapa saja yang ingin berkuasa, termasuk para kesatria yang berpredikat putra mahkota karena menjadi pemimpin disyaratkan digdaya luar dan dalam. Artinya, memiliki keunggulan lahir dan batin.
Misalnya Kakrasana. Ia putra pembayun Raja Negara Mandura Prabu Basudewa dan sebagai putra mahkota. Dengan predikat tersebut, jika Basudewa turun takhta atau wafat, Kakrasana yang menggantikan sebagai penguasa berikutnya.
Basudewa tak ingin memberi ‘karpet merah’ begitu saja kepada putranya, tapi juga mempersiapkan sebaik-baiknya. Kakrasana sendiri juga tidak ingin nglungsur kawibawan (berkuasa) tanpa membekali diri dengan syarat-syarat jadi pemimpin.
Baca juga : Bukan Nasab Bharata
Sebagai bekal menyongsong masa depan, Basudewa memerintahkan Kakrasana bersama dua adik, Narayana dan Lara Ireng, ‘ngawula’ (mengabdi) kepada kerabat istana, Demang Antagopa-Ken Sagopi, di Dusun Widarakandang.
Harapan Basudewa agar anak-anaknya berkarakter kerakyatan. Ia yakin dalam penggulawentahan Antagopa-Sagopi, buah hatinya punya kepekaan kemanusiaan yang kuat serta menjadi insan-insan berbudi luhur dan bertanggung jawab.
Di sisi lain, keputusan Basudewa itu juga berlatar belakang politis. Menyelamatkan anak-anaknya dari ancaman Kangsa, lelaki berangasan yang mengeklaim dirinya sebagai anak pertama Basudewa yang berambisi menguasai takhta Mandura.
Baca juga : Rukun Agawe Santosa
Dalam keseharian di Widarakandang, Kakrasana benar-benar jadi wong cilik, hidup lumrah seperti warga dusun lain yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani dan berkebun, paham serta merasakan langsung denyut kehidupan rakyat.
Seiring dengan berjalannya waktu ketika usia menginjak dewasa, Kakrasana meninggalkan rumah dan bertapa di Hutan Argasonya. Singkat cerita, semadinya diterima dewa. Bathara Brahma memberi ilmu kepemimpinan serta pusaka nenggala dan alugara.
Pada suatu hari, Basudewa turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada Kakrasana yang bergelar Prabu Baladewa. Tidak ada kekhawatiran masa depan bangsa dan negara karena putranya memiliki bekal komplet memimpin Mandura.
Baca juga : Unjuk Rasa di Astina
Sejak Baladewa memerintah, tidak ada bangsa atau negara lain yang berani mengusik Mandura. Stabilitas negara terjamin sehingga pembangunan terus berjalan dengan baik. Pada akhirnya, rakyat semakin makmur dan sejahtera.
Negara bangkrut
Berbeda dengan Jaka Pitana yang tidak pernah laku prihatin. Modal keinginan berkuasa hanya mengandalkan skenario jahat. Memang berhasil jadi raja, tetapi karena ber-SDM lemah, kekuasaannya seumur jagung dan negaranya bangkrut.
Awalnya, tak pernah terlintas dalam benak Jaka Pitana menjadi penguasa. Namun, akibat pergaulannya yang intens dengan Sengkuni, muncul nafsu menguasai takhta Astina. Pamannya dari garis ibu itu yang menghasut dan meracuni pikirannya.
Menurut paugeran (konstitusi), takhta Astina milik Pandawa sebagai ahli waris, putra mendiang Prabu Pandu Dewanata dengan dua istri, Kunti dan Madrim. Mereka berjumlah lima, yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Begitu masifnya indoktrinasi Sengkuni tentang nikmatnya kekuasaan, Jaka Pitana dan puluhan saudaranya yang dikenal dengan sebutan Kurawa menjadi gelap mata. Tak lagi memedulikan keterikatannya bahwa Pandawa sedarah-sedaging.
Kurawa ialah keluarga berjumlah 100 orang. Mereka putra kakak kandung Pandu, yaitu Drestarastra dengan satu istri, Gendari. Jadi, mereka dengan Pandawa sepupu, sama-sama cucu mantan Raja Kresnadwipayana alias Begawan Abiyasa.
Namun, karena terbelenggu nafsu, Kurawa menganggap Pandawa musuh. Penghalang ambisi menguasai Astina sehingga harus disirnakan dari muka bumi. Itu memang fenomena yang bisa terjadi pada siapa saja ketika jiwa dirasuki syahwat kekuasaan.
Menurut Sengkuni, itu satu-satunya cara Jaka Pitana duduk di singgasana raja. Selama Pandawa masih ada, doktrinnya, impian keponakannya menjadi penguasa tidak mungkin tercapai. Kenapa, karena Kurawa bukan ahli waris takhta Astina.
Mungkin Sengkuni sengaja membutakan mata. Faktanya tidak sedikit kesatria yang bukan ahli waris dan bukan pula putra mahkota, tapi bisa menjadi pemimpin. Caranya, mereka bekerja dan berusaha keras dengan dilandasi laku prihatin.
Misalnya Narayana, adik Kakrasana. Buah dari laku mesubudi (prihatin) yang luar biasa. Lelaki berkulit hitam itu menjadi Raja Negara Dwarawati bergelar Prabu Kresna. Bahkan sebagai titisan Bathara Wisnu, dewa keadilan dan ketenteraman.
Ada nama lain, yaitu Sucitra. Pria berkebangsaan Atasangin itu meraih puncak karier politiknya menjadi Raja Pancala bergelar Prabu Drupada. Kekuasaan yang diraih itu merupakan hasil dari laku prihatin yang panjang, bukan menjarah.
Skenario Sengkuni benar-benar gila, berani melanggar konstitusi karena tidak mungkin Jaka Pitana menjadi raja bila dengan cara lurus-lurus saja. Ia sadar betul rendahnya kualitas keponakannya yang tak sekalipun mencicipi laku prihatin.
Pada akhirnya, Jaka Pitana memang bisa menjadi raja bergelar Prabu Duryudana. Dalam kepemimpiannya, pamor Astina pudar. Sepanjang kariernya hanya terus berupaya menghabisi Pandawa yang nyatanya tidak pernah berhasil.
Poin dari kisah itu ialah bahwa berkuasa itu kodrat. Namun, setiap insan yang ingin menjadi pemimpin, diikhtiarkan berjuang keras serta membekali diri. Di antaranya, dalam konteks saat ini, kampanye merupakan bentuk laku prihatin. (M-4)
ADA kata-kata bijak, ‘pemimpin itu juga guru’. Maknanya, pemimpin semestinya juga berjiwa pendidik karena ucapan, sikap, dan perilakunya harus bisa menjadi contoh.
Wayang kulit adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Seni tradisional ini bukan hanya hiburan semata, tetapi juga memiliki nilai filosofi dan sejarah mendalam
Keduanya memiliki nilai budaya yang tinggi, namun cara penyampaian cerita dan visualisasinya sangat berbeda, mencerminkan keragaman dalam tradisi wayang di Indonesia.
Di antara banyak tokoh pewayangan, Semar menempati posisi istimewa sebagai sosok yang penuh misteri namun kaya akan kebijaksanaan.
Temukan sejarah wayang kulit, dari asal-usulnya hingga perkembangannya dalam budaya Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved