Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Hoaks Vampir dan Ikan Lele di Masa Pandemi

Galih Agus Saputra
27/2/2021 15:05
Hoaks Vampir dan Ikan Lele di Masa Pandemi
Ilustrasi vampir(Rudall30/123RF)

Upaya bertahan hidup masyarakat di tengah pandemi bukanlah cerita kemarin sore. Jauh sebelum pandemi covid-19 merebak, masyarakat sudah pernah berjibaku melawan berbagai wabah seperti flu Spanyol (influenza), pes, cacar, kolera, dan lain sebagainya. Kisah tersebut diceritakan Sejarawan, Syefri Luwis dalam siniar Museum Bank Indonesia, beberapa waktu lalu. 

Luwis mengatakan, perjuangan masyarakat kala itu terjadi sekitar 1900 hingga 1942, atau lebih tepatnya pada masa Hindia-Belanda. Jumlah korban wabah tidak sedikit, bahkan mereka yang terserang influenza di wilayah Jawa dan Madura saja mencapai angka 4,37 jiwa.

Influenza diperkirakan pertama kali masuk ke Hindia-Belanda pada 1918. Melejitnya jumlah korban jiwa tidak dapat dipisahkan dari adanya kabar bohong (hoaks) yang bertebaran di tengah masyarakat. Minimnya pengetahuan akan penyakit dan infrastruktur komunikasi turut memperparah situasi ini.

Ketika menghadapi influenza, masyarakat biasanya akan datang ke dukun atau 'orang pintar'. Di sana mereka diberi tahu influenza adalah ilmu hitam yang dikirim ke desanya. Untuk menangkal gangguan tersebut masyarakat lantas diminta mengecat atau menggambar tembok rumahnya dengan sosok buta.

"Dan tentu saja menggambar buta tidak memiliki efek samping yang jauh lagi karena influenza penyebarannya dari droplet atau percikan ludah. Banyaknya orang yang datang ke dukun justru mengumpulkan lebih banyak orang sehingga membuat penyebaran penyakit menjadi kian masif," tutur Luwis.

Merebaknya kabar bohong di tengah pandemi influenza turut 'dikipasi' oknum pedagang. Kala itu, pengusaha ikan menyebarkan informasi, orang-orang dapat sembuh dari influenza dengan mengonsumsi ikan lele. 

"Laporan ini ternyata kemudian ditemukan oleh salah satu teman saya Ravando. Dalam buku terbarunya dijelaskan pengusaha ikan lele yang tadinya menjual ikan lele 5 sen per ekor, kemudian diserbu masyarakat dan ikan lele naik menjadi 30 hingga 40 sen per ekor. Meski begitu orang-orang kemudian sadar kalau kabar tersebut adalah kebohongan," terang Luwis.

Ketika masyarakat tidak mengenal wabah pes yang masuk ke Hindia-Belanda pada 1911, masyarakat Eropa sudah mengenalnya dengan istilah Black Death. Akan tetapi pemerintah Hindia-Belanda kala itu mengabarkan penyakit pes dibawa orang-orang yang pulang dari ibadah Haji. 

Meskipun benar kala itu juga ada wabah pes di Hijaz dan Mekkah, lanjut Luwis, dikemudian hari laporan peneliti dan dokter mengungkapkan wabah rupanya berasal dari beras yang diimpor dari Myanmar atau Rangoon.

Haus darah

Pengalaman dokter dan mantri ketika bertugas mengambil sampel cairan, dalam limpa jenazah yang terkena penyakit pes tidak kalah nahas. Orang-orang yang tidak suka dan tidak bertanggungjawab kala itu, kata Luwis, justru menuduh dokter dan mantri sebagai 'vampir haus darah'. 

Stigma demikian di kemudian hari lantas menjadi persoalan tersendiri, karena dokter dan mantri justru diusir, bahkan ada yang dipukuli masyarakat ketika mengunjungi daerah atau kampung yang terjangkit wabah pes.

"Padahal tujuannya ialah untuk membantu mendapatkan jawaban apakah jenazah tersebut benar terkena pes atau bukan, dan ke depannya mereka bisa melakukan sosialisasi dan berbagai tindakan preventif," pungkas Luwis. (M-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik