Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Masyarakat Singapura Mulai Menyukai Fesyen Ramah Lingkungan

Adiyanto
15/2/2021 07:05

DI Singapura, warga biasanya merayakan Tahun Baru Imlek dengan hal yang serba baru, termasuk pakaian. Namun, tahun ini, Sue-Anne Chng, seorang warga setempat tidak melakukannya. Tahun ini, dia akan mengenakan barang bekas yang ditukar dengan pakaian lamanya di toko yang khusus melayani mereka yang peduli tentang dampak fast fashion terhadap lingkungan.

Menurut program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, industri fesyen ikut bertanggung jawab meningkatkan jumlah emisi karbon, mulai dari pembuatannya hingga transportasi, dan pencucian yang dilakukan konsumen.

Peningkatan kesadaran tentang hal ini sudah dilakukan di sejumlah negara, termasuk Singapura. Beberapa warga berinisiatif saling bertukar pakaian hingga menukarnya di toko permamen yang khusus menyediakan cara seperti. Aktivitas semacam ini sebagai upaya mendorong konsumen untuk memanfaatkan apa yang sudah ada di lemari mereka.

Ketika baru-baru ini berkunjung ke toko favoritnya, The Fashion Pulpit, Chng membawa serta beberapa gaun dan blus serta rok yang serasi. Sejumlah helai pakaian itu lalu dinilai oleh anggota staf toko sebelum memberikan poin ke akunnya.

Dia menghabiskan poinnya pada 17 item, termasuk gaun kuning dan hijau untuk dikenakan pada hari pertama tahun baru. Warna itu, kata dia, seperti buah nanas yang dianggap sebagai simbol kemakmuran. Buah ini biasanya diberikan sebagai hadiah atau dipajang selama Tahun Baru Imlek di Singapura.

"Saya dibesarkan oleh orang tua saya untuk memiliki satu set pakaian baru setiap Tahun Baru Imlek, dan saya mengikuti perilaku konsumtif," kata pria berusia 35 tahun itu kepada AFP, belum lama ini.

"Di masa lalu, mungkin saya memastikan memiliki 15 pakaian baru, bahkan jika saya tidak mengunjungi (kerabat), dan itu terlalu banyak. Tapi sekarang, selama barang itu masih baru bagi saya, saya pikir itu cukup bagus," tambah Chng, yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan sudah menikah.

Chng pertama kali mengetahui tentang menukar pakaian di kantornya, lima tahun lalu. Sejak itu, ia  memutuskan untuk mengubah gaya hidupnya setelah menyadari lemari pakaiannya penuh dengan barang-barang yang tidak dipakai. “Sebelumnya kebiasaan konsumsi saya memang gila. Saya sadar 50% pakaian di lemari saya belum dipakai, tetapi saya masih merasa seperti tidak memiliki apa pun untuk dikenakan," ujarnya.

Dia membayar sg $599 (US$450) atau sekitar Rp6,3 juta untuk keanggotaan tahunan di The Fashion Pulpit, yang memungkinkannya bertukar dan berkunjung tanpa batas.  Kini sekitar 80% pakaian di lemarinya berasal dari toko ini.

"Bertukar (pakaian) memungkinkan saya menjadi seperti bunglon dalam hal mode, tetapi juga memungkinkan saya untuk sadar lingkungan," katanya.

Menurut otoritas setempat, industri fesyen di Singapora menghasilkan 168.000 ton tekstil dan limbah kulit pada 2019, lebih berat dari 400 pesawat Boeing 747.

Perancang pakaian Filipina, Raye Padit mendirikan The Fashion Pulpit hampir tiga tahun lalu setelah mengetahui tentang dampak industrinya terhadap lingkungan dan perlakuan yang buruk terhadap pekerja garmen.

"Di Singapura, masalahnya adalah konsumsi berlebihan dan pemborosan. Kami ingin menyediakan platform di mana Anda masih bisa berdandan, mengekspresikan diri melalui pakaian, tapi pada saat yang sama, itu tidak merusak planet dan dompet Anda," ujarnya kepada AFP.

Perusahaannya sekarang memiliki lebih dari 1.500 anggota dan mulai menghasilkan keuntungan. Mereka juga mengadakan lokakarya di mana pelanggan dapat belajar bagaimana memperbaiki pakaian bekas.

“Orang-orang telah menukar segalanya, mulai dari pakaian kasual yang dibuat oleh merek-merek terkenal, hingga barang-barang kelas atas seperti tas Prada dan sepatu Louboutin, “kata Padit.

Acara pertukaran juga kerap digelar di negara Singapura. Biasanya cuma sehari. Sementara sekelompok sukarelawan kadang mengadakan pertemuan pertukaran bulanan.

Namun, tantangan tetap ada dalam membujuk orang Singapura untuk melakukan cara ini. Di Asia, toko barang bekas tidak sepopuler seperti di Barat, sebagian karena banyak yang percaya pakaian bekas dari orang asing bisa membawa sial atau tidak higienis.

Tapi Padit mengatakan, sikap warga di Singapura berubah, didorong oleh kesadaran lingkungan yang meningkat dan toko barang bekas yang trendi juga bermunculan dengan memasarkan koleksi mereka di media sosial. (AFP/M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya