Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Covid-19, Wabah yang Mengoyak Peradaban Dunia di 2020

Adiyanto
27/12/2020 13:19

KETIKA dunia merayakan awal dekade baru dengan pesta kembang api pada 1 Januari lalu, hanya sedikit yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada tahun 2020.

Dalam 12 bulan terakhir, virus korona (covid-19) telah melumpuhkan ekonomi, merusak tatanan sosial, serta mengurung hampir empat miliar orang di rumah mereka. Ini adalah tahun yang mengubah dunia selama setidaknya satu generasi, mungkin yang terparah sejak Perang Dunia II.

Lebih dari 1,7 juta orang meninggal. Sekitar 80 juta orang telah tertular virus tersebut, meskipun jumlah sebenarnya kemungkinan besar jauh lebih tinggi. Anak-anak menjadi yatim piatu, sebagian kehilangan orang yang mereka cintai, bahkan tak diperbolehkan untuk membesuk yang sakit sekalipun.

"Ini adalah pengalaman unik dalam hidup setiap orang di Bumi," kata Sten Vermund, ahli epidemiologi penyakit menular dan dekan dari Yale School of Public Health. "Hampir tidak ada dari kita yang belum tersentuh olehnya," ujarnya seperti dikutip AFP.

Covid-19 memang bukan pandemi paling mematikan dalam sejarah. Wabah pes di abad ke-14 lalu, misalnya, memusnahkan seperempat populasi dunia. Pada 1918-1919, sedikitnya 50 juta orang juga meninggal karena Flu Spanyol. Selama seabad terakhir, 30 juta orang meninggal karena AIDS.

Tetapi, virus korona itu lebih mengerikan. Anda bisa dengan mudah tertular jika berada di tempat dan waktu yang salah. "Saya seperti berada di gerbang neraka," kata Wan Chunhui, seorang penyintas asal Tiongkok berusia 44 tahun yang dirawat selama 17 hari di rumah sakit. "Saya melihat dengan mata kepala sendiri, orang lain gagal pulih dan meninggal. Ini berdampak besar pada saya."

Skala bencana global yang hampir tidak bisa dibayangkan ini bermula ketika pada 31 Desember 2019, pihak berwenang Tiongkok mengumumkan 27 kasus pneumonia (penyakit gagal pernapasan) akibat virus, yang tidak diketahui asalnya dan membingungkan para dokter di Kota Wuhan.

Keesokan harinya, pihak berwenang diam-diam menutup pasar hewan di kota itu, yang awalnya diduga terkait dengan wabah tersebut. Pada 7 Januari, pejabat Tiongkok mengumumkan mereka telah mengidentifikasi virus korona baru, yang disebut 2019-nCoV (Covid-19). Pada 11 Januari, Tiongkok mengumumkan kematian pertama di Wuhan. Dalam beberapa hari, kasus itu kemudian menyebar di seluruh Asia, Prancis, dan Amerika Serikat.

Pada akhir Januari, sejumlah negara mengevakuasi warga mereka dari Tiongkok. Perbatasan di seluruh dunia mulai ditutup dan lebih dari 50 juta orang yang tinggal di provinsi Hubei, Wuhan, dikarantina.

Sebuah foto  AFP memperlihatkan seorang pria terbaring telentang di luar toko furnitur di Wuhan, mengenakan masker wajah, dan memegang kantong plastik. Saat itu, AFP tidak dapat memastikan penyebab kematian pria itu. Namun, foto tersebut menjadi simbol kengerian di kota itu. Kejadian menakutkan lainnya adalah ketika sekitar 700 penumpang kapal pesiar Diamond Princess terjangkit virus tersebut, 13 di antaranya meninggal.

Saat fenomena mengerikan global ini menyeruak, perlombaan untuk mendapatkan vaksin pun dimulai. Sebuah perusahaan kecil bioteknologi Jerman bernama BioNTech, diam-diam mulai memproduksi vaksin dan mengalihkan sementara misi utama mereka untuk penyembuhan kanker.

Pada 11 Februari, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi menamai penyakit baru itu sebagai Covid-19. Empat hari kemudian, Prancis melaporkan kematian pertama yang dikonfirmasi di luar Asia. Eropa kemudian menyaksikan dengan ngeri saat Italia utara berubah menjadi episentrum virus tersebut.

"Ini lebih buruk daripada perang," kata Orlando Gualdi, Wali Kota Vertova di Lombardy, pada Maret, di mana 36 warganya tewas hanya dalam 25 hari. "Tidak ada yang mengira bakal ada pandemi seperti ini pada 2020," imbuhnya.

Dari Italia, wabah ini kemudian meluas ke Spanyol, Prancis, dan Inggris. WHO menyatakan covid-19 sebagai pandemi. AS pun menutup pintunya untuk warga Tiongkok dan sebagian besar Eropa. Untuk pertama kalinya di masa damai, Olimpiade musim panas yang rencananya digelar di Tokyo, Jepang, ditunda.

Pada pertengahan April, 3,9 miliar orang atau setengah dari umat manusia hidup terisolasi di rumah. Di Paris, New York, New Delhi, Lagos, London, hingga Buenos Aires, jalanan menjadi sunyi. Hanya suara sirene ambulans lalu-lalang, seolah mengabarkan ajal yang kian mendekat.

Para ilmuwan telah memperingatkan selama beberapa dekade tentang pandemi global, tetapi hanya sedikit yang mendengarkan. Beberapa negara terkaya di dunia, apalagi yang termiskin, tersungkur di hadapan musuh yang tak terlihat ini. Dalam ekonomi global, rantai pasokan terhenti. Rak supermarket diserbu pembeli yang panik.

Pandemi ini pun menguak secara gamblang buruknya investasi di sektor perawatan kesehatan , karena rumah sakit kesulitan menampung pasien dan unit gawat darurat, kewalahan. Tenaga medis dengan upah minim dan terlalu banyak beban, berjuang tanpa peralatan pelindung diri yang memadai.

"Saya lulus tahun 1994 dan saat itu rumah sakit pemerintah mengabaikan orang seperti saya," kata Nilima Vaidya-Bhamare, seorang dokter di Mumbai, India, salah satu negara yang paling parah terkena dampak. "Mengapa kami baru dibutuhkan saat pandemi ?" ujarnya bertanya.

Malapetaka absolut.

"Ini sudah melebihi adegan di film horor," kata Virgilio Neto, Wali Kota Manaus di Brasil. "Kami bukan lagi dalam keadaan darurat melainkan sudah betul-betul bencana,” tegasnya. Di kota itu, mayat menumpuk di truk berpendingin dan buldoser sibuk menggali untuk kuburan massal.

Di sebagian besar negara, toko, bar, restoran, sekolah, dan kampus,  tutup. Kegiatan olahraga dibatalkan. Perjalanan penerbangan komersial mengalami kontraksi paling hebat dalam sejarah. Penguncian (pembatasan sosial) di Spanyol begitu parah sehingga anak-anak tidak bisa bermain di luar rumah. Orang-orang tiba-tiba terjebak, berdesakan di apartemen kecil mereka selama berminggu-minggu.

Sebagian bekerja dari rumah. Rapat dan kegiatan seni berpindah ke dunia virtual. Mereka yang pekerjaannya tidak dapat dialihkan, sebagian dipecat atau dipaksa mempertaruhkan kesehatan mereka.

Pada bulan Mei, pandemi telah melenyapkan 20 juta pekerjaan di Amerika. Bank Dunia memprediksi, pandemi dan resesi global telah mendorong 150 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 2021. Ketimpangan sosial, yang selama bertahun-tahun terus melebar, terungkap semakin nyata.

Dalam kehidupan sosial, manusia tidak bisa lagi berpelukan, berjabat tangan, apalagi berciuman di pinggir jalan. Interaksi manusia terjadi di balik masker dan disertai pembersih tangan.

Selain itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga melonjak, begitu pula masalah kesehatan mental. Di sebagian negara, sebagian penduduk kota yang kaya bisa hijrah ke vila mereka yang megah di pedesaan.  Amarah pun memuncak di antara mereka yang terjebak di kota dan kemarahan tumpah ke jalanan lantaran buruknya cara pemerintah mengatasi pandemi.

Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia dengan cepat menjadi negara yang paling terpukul. Lebih dari 330.000 orang tewas, sementara Presiden Donald Trump menganggap remeh ancaman tersebut dan kerap melontarkan pernyataan ngawur.

Namun, pada Mei, ia mulai meluncurkan Operation Warp Speed, dengan menggelontorkan US$11 miliar untuk mengembangkan vaksin covid-19 yang diharapkan kelar pada akhir tahun. Trump menyebutnya sebagai upaya terbesar AS sejak menciptakan bom atom dalam Perang Dunia II.

Tak pandang kasta

Pada Oktober, Trump terjangkit covid-19, seperti pemimpin Brasil, Jair Bolsonaro yang tertular virus itu pada Juli. Sebelumnya, pada April, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga menghabiskan tiga hari di ICU  karena virus korona.

Bintang film papan atas Tom Hanks dan istrinya juga terjangkit dan harus dirawat. Cristiano Ronaldo, salah satu pesepakbola terhebat dan terkaya abad ini, juara tenis Novak Djokovic, diva pop Madonna, Pangeran Charles, dan Pangeran Albert II, semuanya juga tak kebal dan terjangkit virus ini.

Kini, menjelang akhir tahun, pemerintah di sejumlah negara bersiap memberikan vaksinasi bagi warganya. Kampanye massal vaksinasi ini sebagai satu-satunya cara untuk kembali ke kehidupan normal. Namun, sejauh mana pandemi covid-19 ini akan berlalu , masih jauh dari jelas. Beberapa ahli memperingatkan perlu waktu bertahun-tahun untuk membuat masyarakat kebal melalui vaksinasi massal. Selain itu, tantangan utamanya adalah menghadapi gerakan aktivaksin yang mengakar di sejumlah negara. Namun, sebagian ahli lain memperkirakan kehidupan dapat kembali normal pada pertengahan tahun depan.

Tapi, pelajaran yang ditinggalkan dari pandemi ini adalah semakin banyak orang yang mengharapkan pekerjaan yang lebih fleksibel, meningkatnya penggunaan teknologi, dan ketersediaan rantai pasokan yang menjadi lebih lokal. Mobilitas manusia kemungkinan akan berlanjut, tetapi tidak pasti seberapa cepat.

Namun, ada juga kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kebebasan sipil. Lembaga think tank Freedom House mengatakan, demokrasi dan hak asasi manusia telah memburuk di 80 negara karena pemerintah menyalahgunakan kekuasaan dalam menanggapi pandemi ini.

Sebagian lain memperkirakan kekhawatiran orang pada kerumunan dapat memiliki konsekuensi besar, setidaknya untuk transportasi umum, tempat atau kegiatan budaya, olahraga, dan hiburan.

"Saya pikir akan ada beberapa perubahan besar dalam masyarakat kita," kata Vermund dari Yale School of Public Health. (AFP/M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya