Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Mengapa luar angkasa tampak gelap meskipun Matahari bersinar terang dan miliaran bintang menghuni jagat raya? Pertanyaan ini menjadi topik menarik yang sering dicari di Google, dan jawabannya berkaitan dengan konsep ilmiah yang kompleks, termasuk Olbers’ Paradox, ekspansi alam semesta, dan keterbatasan cahaya.
Secara logika, jika alam semesta penuh dengan bintang, langit malam seharusnya terang benderang. Namun faktanya, ruang angkasa tampak hitam pekat. Fenomena ini dijelaskan oleh Olbers’ Paradox, sebuah teori ilmiah yang menggugah rasa ingin tahu sejak abad ke-19.
Tenley Hutchinson-Smith, mahasiswa pascasarjana astronomi dan astrofisika di University of California, Santa Cruz (UCSC), menjelaskan:
“Karena alam semesta mengembang lebih cepat dari kecepatan cahaya, maka cahaya dari galaksi yang sangat jauh mengalami peregangan menjadi gelombang inframerah, gelombang mikro, hingga radio yang tidak dapat dilihat mata manusia.”
Artinya, langit malam gelap bukan karena tidak ada cahaya, tetapi karena cahaya itu telah bergeser ke panjang gelombang yang tak kasatmata.
Salah satu jawaban utama mengapa langit malam gelap adalah karena alam semesta memiliki usia dan ukuran terbatas, yakni sekitar 13,8 miliar tahun. Ini berarti:
Cahaya dari bintang-bintang yang sangat jauh belum sempat mencapai Bumi.
Ekspansi alam semesta menyebabkan efek redshift, di mana cahaya bergeser ke spektrum merah dan akhirnya menjadi radiasi mikro yang tidak terlihat.
Inilah alasan mengapa sebagian besar cahaya dari alam semesta tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.
Di Bumi, langit tampak biru karena atmosfer menyebarkan cahaya Matahari melalui proses yang dikenal sebagai Rayleigh scattering. Namun di luar angkasa:
Luar angkasa tampak gelap karena:
Kegelapan di luar angkasa bukan hanya pemandangan, tetapi juga bukti penting tentang struktur, usia, dan sejarah alam semesta.
Fenomena ini memperkuat pemahaman kita tentang Big Bang, ekspansi kosmik, dan keterbatasan indera manusia dalam menangkap keseluruhan spektrum cahaya. (Live Science, Science Notes, Labroots/Z-10)
Penelitian ilmiah memprediksi atmosfer Bumi akan mengalami penurunan oksigen drastis dalam satu miliar tahun akibat gangguan fotosintesis dan evolusi Matahari.
Penelitian terbaru mengungkap planet Trappist-1e yang sempat dianggap layak huni tengah kehilangan atmosfernya akibat pemanasan ekstrem dari arus listrik orbitnya.
Ilmuwan Eropa mengejar reentry satelit Salsa untuk mengungkap proses pembakaran di atmosfer. Temuan ini mengungkap ancaman polusi aluminium dari satelit terhadap ozon dan iklim Bumi.
Para kimiawan dari Universitas Stanford mengembangkan metode praktis dan berbiaya rendah untuk secara permanen menghilangkan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer.
Di Bumi, kita terbiasa dengan langit biru cerah di dunia kita. Setiap planet di tata surya kita memiliki warna langit yang unik, namun beberapa di antaranya mirip satu sama lain.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved