Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PARA ilmuwan mengungkapkan perjalanan Tata Surya melalui kompleks bintang Orion sekitar 14 juta tahun lalu mungkin memiliki dampak signifikan terhadap iklim Bumi. Wilayah ruang angkasa yang padat ini merupakan bagian dari struktur galaksi Radcliffe Wave, yang diduga berperan dalam menekan heliosfer—perisai pelindung Tata Surya—serta meningkatkan jumlah debu antarbintang yang masuk ke atmosfer Bumi.
Studi ini membuka kemungkinan debu kosmik tersebut meninggalkan jejak dalam catatan geologi, yang dapat menjadi petunjuk penting dalam memahami hubungan antara aktivitas galaksi dan perubahan iklim masa lalu.
Penelitian tentang Perjalanan Tata Surya Melintasi Radcliffe Wave
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Astronomy & Astrophysics oleh tim peneliti internasional yang dipimpin Universitas Wina menggunakan data dari misi Gaia milik Badan Antariksa Eropa (ESA) serta teknik pengamatan spektroskopi. Berdasarkan temuan mereka, Tata Surya diketahui telah melintasi Radcliffe Wave di konstelasi Orion antara 18,2 hingga 11,5 juta tahun yang lalu, dengan periode paling mungkin terjadi antara 14,8 hingga 12,4 juta tahun lalu.
Menurut João Alves, Profesor Astrofisika di Universitas Wina dan salah satu penulis studi ini, penelitian ini merupakan kelanjutan dari temuan sebelumnya tentang Radcliffe Wave—sebuah struktur raksasa yang terdiri dari daerah pembentukan bintang yang saling terhubung, termasuk kompleks Orion.
Hasil analisis ini mengindikasikan Matahari dan sistem planetnya melewati wilayah yang kaya akan material antarbintang, yang kemungkinan besar berdampak terhadap lingkungan Tata Surya dan, secara tidak langsung, terhadap Bumi.
Salah satu aspek utama yang diteliti dalam studi ini adalah potensi dampak debu antarbintang terhadap atmosfer Bumi. Efrem Maconi, penulis utama studi sekaligus mahasiswa doktoral di Universitas Wina, menjelaskan debu tersebut mungkin mengandung unsur radioaktif dari supernova, yang dapat meninggalkan jejak dalam lapisan geologi Bumi. Dengan perkembangan teknologi analisis geologi, jejak debu ini bisa menjadi bukti penting dalam menelusuri perubahan lingkungan global yang terjadi jutaan tahun lalu.
Selain itu, perjalanan Tata Surya ini bertepatan dengan Transisi Iklim Miosen Tengah, sebuah periode perubahan iklim dari kondisi yang lebih hangat dan bervariasi menuju kondisi yang lebih dingin. Transisi ini pada akhirnya berkontribusi terhadap pembentukan lapisan es di Antartika.
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan jumlah debu antarbintang bisa berperan dalam perubahan iklim pada periode tersebut, faktor utama yang lebih berpengaruh adalah penurunan kadar karbon dioksida (CO2) dalam atmosfer secara bertahap.
Maconi menegaskan meskipun debu antarbintang mungkin telah mempengaruhi iklim Bumi di masa lalu, jumlah yang diperlukan untuk menyebabkan perubahan besar sangatlah besar dibandingkan dengan tingkat debu yang saat ini terdeteksi. Selain itu, perubahan iklim yang terjadi pada Transisi Iklim Miosen Tengah berlangsung dalam kurun waktu ratusan ribu hingga jutaan tahun. Sementara itu, perubahan iklim modern yang disebabkan oleh aktivitas manusia terjadi dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi.
Kesimpulan dari studi ini menunjukkan bahwa pergerakan Tata Surya dalam galaksi mungkin memiliki dampak yang lebih besar terhadap evolusi jangka panjang iklim Bumi daripada yang diperkirakan sebelumnya. Namun, peran utama dalam perubahan iklim saat ini tetap berada pada faktor antropogenik seperti emisi gas rumah kaca dan deforestasi.
Dengan demikian, pemahaman tentang peristiwa-peristiwa kosmik di masa lalu dapat membantu kita dalam mengembangkan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana sistem Bumi beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi dalam skala waktu yang sangat panjang. (gadgets360/Z-2)
Studi ungkap letusan vulkanik Franklin dan pelapukan batuan cepat 720 juta tahun lalu memicu peristiwa Snowball Earth yang membekukan seluruh planet.
Tahun 2023 catat gelombang panas laut terbesar dan terlama. Fenomena ini rusak ekosistem, ganggu perikanan, dan jadi sinyal titik balik iklim.
Penelitian ungkap lahan gambut Amazon Peru berubah dari penyerap karbon menjadi netral karbon akibat cahaya berlebih dan penurunan muka air.
ICJ mengeluarkan putusan bagi negara-negara untuk saling menggugat terkait perubahan iklim.
Indonesia menghadapi ancaman krisis planetari, termasuk perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
INDONESIA memperkuat posisinya menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 yang ditegaskan dalam Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved