Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Apa yang Akan Terjadi Jika Bumi Dihantam Asteroid Katastropik?

Thalatie K Yani
12/2/2025 10:49
Apa yang Akan Terjadi Jika Bumi Dihantam Asteroid Katastropik?
Para ilmuwan dari IBS Center for Climate Physics meneliti dampak asteroid katastropik terhadap iklim dan ekosistem Bumi menggunakan model simulasi canggih.(NASA)

PARA peneliti di IBS Center for Climate Physics (ICCP) di Universitas Nasional Pusan, Korea Selatan, menghitung kemungkinan asteroid Bennu menghantam Bumi pada September 2182. 

Bennu adalah target misi pengambilan sampel asteroid OSIRIS-REx milik NASA, yang sempat mendarat di permukaan batuan luar angkasa ini pada Oktober 2020 untuk mengumpulkan lebih dari 113 gram material, kemudian membawa sampel tersebut kembali ke Bumi dan mendarat di gurun Utah pada September 2023.

Meskipun peluang Bennu menabrak Bumi terdengar mengkhawatirkan, para ilmuwan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengejutkan. "Rata-rata, asteroid berukuran sedang bertabrakan dengan Bumi setiap 100–200 ribu tahun. Ini berarti nenek moyang manusia mungkin telah mengalami beberapa peristiwa yang mengubah planet ini, yang berpotensi memengaruhi evolusi manusia dan bahkan susunan genetik kita," kata Axel Timmermann, profesor di IBS dan salah satu penulis studi tersebut, dalam sebuah pernyataan.

Meskipun sebagian orang khawatir dengan peluang tabrakan Bennu yang rendah, para peneliti di IBS menggunakan model iklim canggih dan superkomputer Aleph untuk mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya.

Dampak Asteroid pada Iklim Bumi

"Bergantung pada parameter tabrakan, dampak antara asteroid berukuran sedang dan Bumi dapat menyebabkan kehancuran berskala regional hingga global," tulis Timmermann dan rekannya, Lan Dai, dalam studi mereka. 

"Selain efek langsung seperti radiasi termal, gempa bumi, dan tsunami, dampak asteroid akan memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap iklim dengan melepaskan sejumlah besar aerosol dan gas ke atmosfer."

Studi sebelumnya telah banyak meneliti dampak dari asteroid Chicxulub yang jauh lebih besar, yang terjadi sekitar 66 juta tahun lalu dan kemungkinan bertanggung jawab atas kepunahan massal dinosaurus. Namun, bukan tabrakannya yang paling menghancurkan: asteroid selebar 10 kilometer itu melemparkan sejumlah besar debu, jelaga, dan sulfur ke atmosfer, menciptakan fenomena yang dikenal sebagai "musim dingin akibat tabrakan" di seluruh dunia.

"Efek dari tabrakan asteroid berukuran sedang, yang jauh lebih sering terjadi dibandingkan asteroid 'pemusnah planet', masih kurang mendapat perhatian," tulis Dai dan Timmermann.

Dampak debu dalam jumlah besar terhadap iklim bergantung pada beberapa faktor: seberapa banyak debu yang masuk ke atmosfer Bumi, di mana debu itu "terinjeksi", dan berapa lama ia bertahan di udara.

Setelah menjalankan beberapa simulasi, para peneliti menemukan penyuntikan sekitar 100–400 juta ton debu ke atmosfer akan menyebabkan gangguan besar pada iklim, mengubah komposisi kimia atmosfer Bumi, dan mengurangi tingkat fotosintesis secara global selama beberapa tahun setelah tabrakan.

"Musim dingin akibat tabrakan ini akan menciptakan kondisi iklim yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, menyebabkan penurunan fotosintesis sebesar 20–30% di ekosistem darat dan laut," kata Dai dalam pernyataannya. "Hal ini kemungkinan akan menyebabkan gangguan besar terhadap ketahanan pangan global."

Dalam skenario paling ekstrem, pengurangan sinar matahari akibat debu dapat mendinginkan planet hingga 4 derajat Celsius, mengurangi curah hujan global sebesar 15%, serta menipiskan lapisan ozon hingga 32%—dan dampaknya bisa lebih buruk tergantung pada lokasi tabrakan.

Kehidupan Laut Bisa Pulih Lebih Cepat

Meskipun dampaknya begitu luas, hasil simulasi menunjukkan kejutan menarik: plankton di lautan mungkin akan pulih lebih cepat dibandingkan tanaman di daratan. Berbeda dengan penurunan drastis dan pemulihan lambat selama dua tahun yang terjadi di daratan, plankton di laut justru pulih dalam enam bulan dan bahkan meningkat lebih dari tingkat normal setelahnya.

"Kami dapat melacak respons tak terduga ini ke konsentrasi zat besi dalam debu," kata Timmermann. Zat besi merupakan nutrisi penting bagi alga.

Lapisan atas kerak Bumi mengandung sekitar 3,5% zat besi, dan debu yang dihasilkan akibat tabrakan akan membawa nutrisi ini ke lautan, bersamaan dengan zat besi tambahan yang mungkin berasal dari asteroid itu sendiri.

"Bergantung pada kandungan zat besi dalam asteroid dan material terestrial yang terlempar ke stratosfer, wilayah laut yang biasanya kekurangan nutrisi dapat menjadi kaya akan zat besi yang dapat dimanfaatkan oleh kehidupan laut, yang pada gilirannya memicu ledakan populasi alga yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis para ilmuwan dalam studi mereka.

"Ledakan fitoplankton dan zooplankton yang berlebihan ini bisa menjadi berkah bagi biosfer dan mungkin membantu mengurangi ancaman ketahanan pangan yang muncul akibat penurunan produktivitas darat yang lebih lama," tambah Dai.

Dunia pasti akan berubah setelah peristiwa seperti ini, dengan pendinginan cepat dan runtuhnya ekosistem yang membuat kelangsungan hidup menjadi tantangan. Namun, memahami potensi dampak ini dapat membantu manusia lebih siap menghadapi kemungkinan di masa depan.

"Simulasi respons iklim dan ekologi terhadap penyuntikan debu dari tabrakan asteroid berukuran sedang ini memberikan dasar untuk mengukur dampak peristiwa mendadak terhadap kehidupan di planet ini," mereka simpulkan. (Space/Z-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya