Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Fanatisme, Nasionalisme, dan Realisme

Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola
24/6/2023 05:00
Fanatisme, Nasionalisme, dan Realisme
Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola(MI/Seno)

SEKITAR 80 ribu penonton memadati Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (19/6) malam. Mereka memberikan dukungan penuh kepada kesebelasan nasional Indonesia yang sedang berlaga menghadapi juara dunia, Argentina. Sepanjang pertandingan, mereka bernyanyi dan mendorong Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan untuk tidak menyerah.

Fanatisme pencinta sepak bola Indonesia memang luar biasa. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa datang ke Stadion Gelora Bung Karno. Kendati demikian, mereka tetap hadir bahkan sejak siang hari, jauh sebelum pertandingan dimulai.

Atribut Indonesia yang mereka pergunakan memperkuat fanatisme kepada tim nasional. Apa yang mereka perlihatkan Senin malam itu hanya sebagian kecil dari fanatisme mereka. Banyak di antara mereka yang selalu hadir di mana pun kesebelasan Indonesia tampil.

Sepak bola sudah seperti agama kedua bagi mereka. Hadir langsung di lapangan sepertinya sudah menjadi sebuah kewajiban. Kalah dan menang tidak mengurangi rasa cinta kepada kesebelasan kesayangan mereka.

Penonton Indonesia dikenal sebagai pendukung yang fanatik. Bahkan sampai level klub pun, setiap orang punya pilihannya sendiri. Itu tidak hanya terbatas di level nasional, tetapi juga level mancanegara.

Kalau untuk klub-klub besar seperti Manchester United, Manchester City, Arsenal, Chelsea, Liverpool, Juventus, AC Milan, Real Madrid, Barcelona, dan Bayern Muenchen, itu merupakan sesuatu yang biasa. Saya bahkan pernah bertemu dengan pencinta sepak bola asal Indonesia, datang ke Singapura hanya untuk menghadiri meet and greet dengan para pemain Borussia Dortmund.

Klub-klub Eropa tentu saja memaksimalkan aset seperti ini. Para pendukung fanatik mereka mendapatkan perlakuan yang istimewa. Mereka diperlakukan sebagai tamu terhormat serta diberikan sesi khusus untuk bertemu dan berfoto bersama bintang-bintang kesayangan mereka.

Bagaimana cara mengetahui pendukung yang fanatik? Mereka pasti menggunakan atribut dari kesebelasan kesayangan mereka. Bahkan mereka memiliki poster-poster dari pemain bintang pujaan mereka. Tidak hanya itu, sekarang ini banyak pecinta fanatik yang rela menato seluruh bagian tubuh mereka dengan simbol bintang atau tim kesayangan mereka.

 

Jangan buta

Pecinta fanatik seperti itulah yang menghidupi klub dan kesebelasan nasional. Mereka tidak peduli dengan hasil. Mereka pasti akan membeli semua jenis merchandise yang dikeluarkan kesebelasan kesayangan mereka. Mereka selalu berlomba untuk menjadi yang pertama memiliki merchandise kesebelasan pujaan mereka.

Persoalan terjadi kalau fanatisme itu berubah menjadi fanatisme buta, apalagi kalau kemudian dikaitkan dengan persoalan nasionalisme. Seakan-akan kesebelasan kesayangan mereka ialah yang paling sempurna dan tidak ada cacatnya.

Pecinta sepak bola yang mendahulukan nasionalisme sempit tidak pernah mau melihat kenyataan. Bahkan sering kali kemudian nilai yang mereka pakai di luar akal sehat. Mereka lebih mengutamakan kepada hasil, tidak pernah mau melihat proses. Bahkan ketika hasilnya tidak sesuai dengan kenyataan, mereka mencoba mencari pembenaran.

Lihat saja komentator atau penonton pêrtandíngan Indonesia melawan Argentina Senin lalu. Berulang kali komentarnya selalu, “Luar biasa para pemain Indonesia.” Pertanyaannya, luar biasa dalam hal apa ketika nyaris tidak ada ancaman berarti ke gawang Emiliano Martinez? Kalau ada, ancaman itu berasal dari lemparan ke dalam Pratama Arhan. Disebut sepak bola karena kekuatannya ada pada kaki. Kalau kekuatannya di tangan, nama permainannya bola tangan, handball.

Para pemain belakang, terutama Asnawi Mangkualam, memang membuat penyerang seperti Alejandro Ganarcho sulit lepas dari pengawalannya. Bahkan dua kali sliding tackle Asnawi yang bersih mampu merebut bola dari kaki penyerang asal Manchester United itu. Namun, selebihnya para pemain Indonesia selalu sulit untuk keluar dari tekanan pemain tim kedua Argentina yang diturunkan pelatih Lionel Scaloni.

Bahkan untuk bisa melewati setengah lapangan permainan pun dibutuhkan usaha ekstra keras. Para penyerang Indonesia nyaris tidak berdaya untuk bisa menembus pertahanan Cristian Romero dan kawan-kawan. Bahkan ditahan dengan badan saja oleh para pemain belakang Argentina, Dimas Drajad langsung terpental.

Nasionalisme sempit akan mempersulit kemajuan sepak bola Indonesia. Nilai atau ukuran yang kita pakai menjadi berbeda dengan nilai yang seharusnya dipergunakan. Kita merasa puas dengan hasil pertandingan Senin malam yang dianggap luar biasa tadi. Katanya, kalah 0-2 dari juara dunia ialah sebuah kemenangan.

Pertandingan Senin lalu jangan hanya dilihat dari hasil akhirnya. Kalau hanya dua gol yang diciptakan para pemain Argentina, itu disebabkan pertandingan itu sekadar uji coba, pertandingan persahabatan. Yang lebih penting untuk dilihat ialah statistik pertandingan malam itu. Hampir tiga perempat pertandingan dikuasai La Albiceleste. Ada 21 kali percobaan yang dilakukan kesebelasan tamu, sementara Indonesia hanya punya lima kesempatan.

Kita harus memuji penampilan kiper Ernando Ari yang beberapa kali membuat penyelamatan gemilang. Namun, ada dua-tiga kesalahan yang juga ia lakukan ketika tiba-tiba di-pressure para penyerang Argentina dan kiper asal Persebaya Surabaya itu salah memberikan umpan sehingga mengancam gawangnya sendiri.

 

Banyak perbaikan

Setidaknya Rp75 miliar sudah kita keluarkan untuk mendatangkan La Albiceleste ke Indonesia. Belum dihitung biaya penjemputan ketika menerbangkan pesawat Garuda Indonesia khusus ke Beijing untuk membawa tim asuhan Scaloni ke Jakarta. Selanjutnya yang harus dilakukan, apa evaluasi profesional yang didapatkan dan perbaikan apa yang harus segera dilakukan untuk meningkatkan kualitas sepak bola dan kesebelasan nasional Indonesia? Apalagi dua pertandingan uji coba yang dilakukan melawan Palestina dan Argentina membawa peringkat FIFA Indonesia justru turun satu tingkat ke peringkat ke-150.

Pekerjaan rumah pertama ialah membenahi fisik pemain. Dalam sepak bola modern yang menerapkan speed and power game, ketahanan fisik merupakan sebuah keniscayaan. Pemain dituntut mempunyai otot yang kuat dan gravitasi yang kukuh agar tidak mudah terpental ketika terjadi benturan badan. Tinggi badan juga tidak bisa ditawar-tawar lagi agar ketika harus berduel saat menghadapi tendangan penjuru tidak harus kalah dengan lompatan Romero yang menjebol gawang Indonesia untuk kedua kalinya.

Jepang dan Korea Selatan bisa menembus elite dunia karena mereka memperhatikan postur pemain. Dengan pemberian gizi yang lebih sempurna dan latihan beban dan fisik yang benar, bisa dihasilkan pemain sekelas Son Heung-min yang tidak goyah badannya ketika ditabrak pemain-pemain Eropa dan Amerika Latin sekalipun.

Persoalan kedua yang harus menjadi perhatian segera ialah perbaikan basic football para pemain. Sekarang ini setiap tim dan pemain tidak bisa lagi berlama-lama dengan bola. Seperti dulu diajarkan baik oleh pelatih Toni Pogacnik maupun Wiel Coerver kepada para pemain Indonesia, cukup satu atau dua sentuhan, bola harus berpindah ke pemain yang lain. Bola harus mengalir cepat dari kaki ke kaki dan baru berpindah ke blok permainan yang lain ketika pertahanan lawan terlalu ketat.

Perbedaan jelas terlihat dari permainan yang dilakukan para pemain Argentina dan Indonesia. Anak asuh Shin Tae-yong sering kehilangan momentum karena bola terlalu lama dipegang sehingga mudah dikeroyok pemain lawan. Sebaliknya pergerakan bola dari kaki para pemain La Albiceleste selalu mengalir cepat dan kalau memang memungkinkan, dengan satu sentuhan langsung menendang bola ke gawang Indonesia.

Lihat bagaimana gol pertama yang diciptakan Leandro Paredes. Cukup sekali ia mengontrol bola dan dari jarak 25 meter gelandang asal Paris Saint Germain itu melepaskan tendangan kaki kanan yang keras dan bersarang di pojok kiri atas gawang Ernando Ari.

Hanya pemain sekelas Lionel Messi yang diberi keleluasaan untuk bermain dengan bola karena ia memiliki teknik sepak bola yang sempurna. Saat uji coba melawan Australia di Beijing, lima pemain tim 'Kanguru' tidak mampu merebut bola dari kaki Messi. Scaloni membiarkan Messi menarik lebih banyak pemain lawan karena akan membuka kesempatan kepada pemain Argentina lainnya mendapatkan ruang bebas dan dengan kaki kirinya, Messi bisa melepaskan umpan ajaibnya.

Kita tidak bisa menganggap kalah 0-2 dari Argentina sebagai sebuah kemajuan hebat dari sepak bola Indonesia. Apalagi dikatakan tim asuhan Shin akan mudah lolos ke 16 besar Piala Asia 2024 dengan penampilan Senin lalu. Kita harus berani menginjak bumi, melihat realitas bahwa masih jauh perjalanan sepak bola Indonesia menuju kelas Asia sekalipun.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya