Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Ilustrasi: Soni Irawan
Seperti matahari tetas sebelum subuh
menemukan tubuhmu di balik dengkur
ada perjalanan keluar dari waktu
bintang-bintang terang dan mati
Buku-buku memberinya sebuah hari
jalan-jalan penuh asap dan nyanyian
jejak-jejak memikul hening juga bara
kunang-kunang terbang
di langit benderang Rengasdengklok
Orang-orang melipat pagi dalam sejarah
kapal-kapal membawanya melintasi laut
gerimis berguguran di dalam radio-radio tua,
memecah cermin-cermin
yang menyimpan langit abu di bawah kincir
hutan-hutan Magelang dan Sumatra
melepas luka-luka daun dan kecemasan
yang lama mendiami sulur-sulur setapak
Tetapi deru angin belum selesai
ombak akan terbelah sebentar lagi
pantai-pantai membunyikan sirine
ransel-ransel menyimpan foto-foto keluarga
menjulurkan bara dari pucuk-pucuk
mahkota ratu, senyumnya terbang
menggigil di kaki burung-burung gagak
Dan, seperti dulu, tembang-tembang
pun pergi meninggalkan ladang
topi-topi para gerilya timbul tenggelam
di balik semak-semak, membelah
hening gangsir dan betina katak
Meja-meja penuh kertas dan kesaksian
Den Haag menanam biji-biji api di matanya
hari-hari pergi dan sepasang sepatu itu
membawa tubuhmu melintasi pancaroba
menuju padang kubur baru
yang menetaskan darah subuh di lenganmu
Di ujung segalanya, tinggallah bisik-bisik
yang menjuntai sejauh kenangan
kepada namanya
sepasang kubur kembar dengan dua
matahari, dua cekung rasi bintang
kita belajar melupakan untuk mencintai
hari-hari kelak
Antara laut dan pantai, pada geladak
yang kenyang kabut dan pelangi
cerita-cerita merayap ke balik jaket
menjaga kemurnian mimpi,
hingga tiba saat berlabuh,
nun di sebuah pulau berbaju senja.
(2023)
Di sini terbaring baju-baju api
perang selesai menyisakan kisah
pada larik-larik yang memerah
sejuta kubur kau gali sekali lagi
Pernah ada dahulu bendera hitam
sebuah kapal yang pecah lambungnya
hilang kemudi ditelan badai
kau menatapnya, orang-orang karam
tak mengerti musababnya
Di sebelah sana kau temukan
setumpuk kitab riwayat moyang
hangus dijarah jemari asing
ia meminta sungai-sungai dari matamu
Pada suatu bilik yang remang
sepasang patung tegap berdiri
tak habis-habis menyiarkan proklamasi
sajak abadi dari Pegangsaan Timur
Dan sebuah taman kosong belaka
pohon-pohon waktu memayunginya
anak-anak menggambar bintang
sawah ladang, hutan-hutan,
lenguh sapi-sapi menghias kandang
Pada suatu hari gerimis
kutulis sajak penangkal tangis
malam akan pecah
embun-embun mungil naik ke langit.
(2023)
Tiba juga ia di pintu senyap
hanya detak mungkin melambai
tak ada sungai untuk kenangan
Ia hanya akan bergegas
tanpa tahu jalan kembali
Ia kenakan ushanka
di kepalanya yang tropis
supaya cuaca meringankan
beban kulitnya, sebatang sunyi
telah meranggas saat kereta
membawanya dari Beijing
Tetapi siapakah ia
yang tak hendak
terjatuh ke liang luka
Parahyangan yang molek
berpusar-pusar dalam
kepalanya, matahari timur
yang terus membara
Hari-hari begitu jauh
di balik punggung
mantelnya adalah sorak-sorai
Lagu-lagu padi
seutas pita memerah
di lengan kirinya
Kelak, pada sebuah
September
musim gugur mencium tilas
desir azan pertama
Sebelum hening sempurna
mendekapnya
musim-musim bekerja
mengurai kenangannya
Ia tak pernah tahu
ia tak ingin tahu
kita mencatatnya
Atau menghapus
setiap jejaknya.
Lembu itu. Lelaki itu.
(2023)
Menjaga kemurnian mimpi hingga tiba saat berlabuh, nun di sebuah pulau berbaju senja.
Sebuah pasar membelah lengan kota
kelopak-kelopak tenda menjadi langit
seorang anak memburu elang
terbang setinggi gelembung mimpi
Selembar uang terbawa angin
melayang-layang di balik mata
sungai gerimis telah lama pergi
diam menggigil di dalam kitab
Dua anak rusa sungguh jelita
mencari-cari angin di padang bebas
harimau telah lama lepas belangnya
rumput tak tahu lagi jejak darah
Pada sebuah sudut seorang nenek
menyimpan bulan gendut pada bibirnya
pergi jauh, pergi jauh burung pemangsa
hari merdeka nusa dan bangsa.
(2023)
Di bawah sumbu bintang-bintang
hidup dan gugur
angin bermain daun-daun mati
kerudung sepi kenangan kekal
Sebuah nisan telah lepas parasnya
musim membawa tanah mendaki
hingga menyentuh puncak mahkotanya
sedang kata-kata menetaskan sayap
burung-burung pergi mencari
kehangatan kecup dalam hatimu
Bukit-bukit Siberia yang menggigil
dan jantung Cianjur yang temaram
mengeja wajahnya yang dingin
dan berlapis salju. Ia datang, ia datang,
seperti kepergiannya yang senyap
ia pulang, tetapi tak pernah kembali
Langit terjuntai memetik duka cita
yang berlapis-lapis. Tak ada yang
terlambat dengan topi dan kembang,
memang. Hanya tak ada daftar
nama untuk seluruh ujung jari
Sebuah kereta kuda
tua dan usang
tak pernah melipat jarak
seperti mega-mega sehabis gerimis
hari-hari kelak melupakannya.
(2023)
Baca juga: Puisi-puisi Anton Sulistyo
Baca juga: Puisi-puisi Yana Risdiana
Baca juga: Puisi-pusi Deriska Salsabila
DIDIK WAHYUDI, penyair, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 30 Juli 1978. Alumnus Universitas Negeri Surabaya. Puisi-puisinya telah dimuat di sejumlah media lokal dan nasional. Buku kumpulan puisinya berjudul Pelajaran Bertahan (2019). Didik merupakan juara Harapan ke-1 Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2023 lewat puisinya berjudul Sajak Kecil perihal Sebuah Kapal yang Berlayar ke Pulau Senja. Kini, tinggal dan bergiat di Surabaya. (SK-1)
Sajak-sajak Negar Fitrian - Membenci diri sendiri, memacu kita untuk lupa diri.
Sosok penting pada era puisi baru Peru abad ke-20.
223 Tahun Alexander Pushkin - Kenapa Pushkin diangkat sebagai Bapak Sastra Rusia?
Mengenal Nikolai Nekrasov, seorang penyair realis Ukraina-Rusia penggagas lirik sipil.
Ada Slogan Jadi Logam - Kedunguan dapat dilarutkan dengan banyak membaca.
Bukan tanpa alasan kami menjaga persahabatan antara Rusia-Ukraina.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), menggelar rangkaian kegiatan strategis dalam rangka penguatan literasi dan sastra, serta revitalisasi bahasa daerah di Jawa Tengah.
Aprinus mencontohkan, beberapa karya yang kandungan SARA, yakni pada novel Salah Asuhan yang pada draf awalnya disebut menyinggung ras Barat (Belanda).
Sastra sebagai suatu ekspresi seni berpeluang mempersoalkan berbagai peristiwa di dunia nyata, salah satunya adalah persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dedikasi Pramoedya Ananta Toer tidak lepas dari berbagai konsekuensi berat, ia harus merasakan pahitnya penjara di tiga rezim berbeda.
Dengan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa, Pramoedya Ananta Toer adalah lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggagas Jakarta International Literary Festival (JILF) 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved