Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Puisi-puisi Didik Wahyudi

Sajak Kofe
03/11/2023 16:00
Puisi-puisi Didik Wahyudi
( Ilustrasi: Soni Irawan)

Ilustrasi: Soni Irawan

Sajak Kecil perihal Sebuah Kapal yang Berlayar ke Pulau Senja

Seperti matahari tetas sebelum subuh
menemukan tubuhmu di balik dengkur
ada perjalanan keluar dari waktu
bintang-bintang terang dan mati

Buku-buku memberinya sebuah hari
jalan-jalan penuh asap dan nyanyian
jejak-jejak memikul hening juga bara
kunang-kunang terbang
di langit benderang Rengasdengklok

Orang-orang melipat pagi dalam sejarah
kapal-kapal membawanya melintasi laut
gerimis berguguran di dalam radio-radio tua,
memecah cermin-cermin
yang menyimpan langit abu di bawah kincir
hutan-hutan Magelang dan Sumatra
melepas luka-luka daun dan kecemasan
yang lama mendiami sulur-sulur setapak

Tetapi deru angin belum selesai
ombak akan terbelah sebentar lagi
pantai-pantai membunyikan sirine
ransel-ransel menyimpan foto-foto keluarga
menjulurkan bara dari pucuk-pucuk
mahkota ratu, senyumnya terbang
menggigil di kaki burung-burung gagak

Dan, seperti dulu, tembang-tembang
pun pergi meninggalkan ladang
topi-topi para gerilya timbul tenggelam
di balik semak-semak, membelah
hening gangsir dan betina katak

Meja-meja penuh kertas dan kesaksian
Den Haag menanam biji-biji api di matanya
hari-hari pergi dan sepasang sepatu itu
membawa tubuhmu melintasi pancaroba
menuju padang kubur baru
yang menetaskan darah subuh di lenganmu

Di ujung segalanya, tinggallah bisik-bisik
yang menjuntai sejauh kenangan
kepada namanya
sepasang kubur kembar dengan dua
matahari, dua cekung rasi bintang
kita belajar melupakan untuk mencintai
hari-hari kelak

Antara laut dan pantai, pada geladak
yang kenyang kabut dan pelangi
cerita-cerita merayap ke balik jaket
menjaga kemurnian mimpi,
hingga tiba saat berlabuh,
nun di sebuah pulau berbaju senja.

(2023)


Museum Kabut

Di sini terbaring baju-baju api
perang selesai menyisakan kisah
pada larik-larik yang memerah
sejuta kubur kau gali sekali lagi

Pernah ada dahulu bendera hitam
sebuah kapal yang pecah lambungnya
hilang kemudi ditelan badai
kau menatapnya, orang-orang karam
tak mengerti musababnya

Di sebelah sana kau temukan
setumpuk kitab riwayat moyang
hangus dijarah jemari asing
ia meminta sungai-sungai dari matamu

Pada suatu bilik yang remang
sepasang patung tegap berdiri
tak habis-habis menyiarkan proklamasi
sajak abadi dari Pegangsaan Timur

Dan sebuah taman kosong belaka
pohon-pohon waktu memayunginya
anak-anak menggambar bintang
sawah ladang, hutan-hutan,
lenguh sapi-sapi menghias kandang

Pada suatu hari gerimis
kutulis sajak penangkal tangis
malam akan pecah
embun-embun mungil naik ke langit.

(2023)


Kembara Lembu

Tiba juga ia di pintu senyap
hanya detak mungkin melambai
tak ada sungai untuk kenangan

Ia hanya akan bergegas
tanpa tahu jalan kembali

Ia kenakan ushanka
di kepalanya yang tropis
supaya cuaca meringankan
beban kulitnya, sebatang sunyi
telah meranggas saat kereta
membawanya dari Beijing

Tetapi siapakah ia
yang tak hendak
terjatuh ke liang luka

Parahyangan yang molek
berpusar-pusar dalam
kepalanya, matahari timur
yang terus membara

Hari-hari begitu jauh
di balik punggung
mantelnya adalah sorak-sorai

Lagu-lagu padi
seutas pita memerah
di lengan kirinya

Kelak, pada sebuah
September
musim gugur mencium tilas
desir azan pertama

Sebelum hening sempurna
mendekapnya
musim-musim bekerja
mengurai kenangannya

Ia tak pernah tahu
ia tak ingin tahu
kita mencatatnya

Atau menghapus
setiap jejaknya.
Lembu itu. Lelaki itu.

(2023)

 

Menjaga kemurnian mimpi hingga tiba saat berlabuh, nun di sebuah pulau berbaju senja.


Romansa Akhir Pekan

Sebuah pasar membelah lengan kota   
kelopak-kelopak tenda menjadi langit 
seorang anak memburu elang 
terbang setinggi gelembung mimpi  

Selembar uang terbawa angin   
melayang-layang di balik mata 
sungai gerimis telah lama pergi 
diam menggigil di dalam kitab 

Dua anak rusa sungguh jelita 
mencari-cari angin di padang bebas 
harimau telah lama lepas belangnya 
rumput tak tahu lagi jejak darah 

Pada sebuah sudut seorang nenek 
menyimpan bulan gendut pada bibirnya 
pergi jauh, pergi jauh burung pemangsa
hari merdeka nusa dan bangsa. 

(2023) 


Kubur Lembu

Di bawah sumbu bintang-bintang
hidup dan gugur
angin bermain daun-daun mati
kerudung sepi kenangan kekal  

Sebuah nisan telah lepas parasnya
musim membawa tanah mendaki
hingga menyentuh puncak mahkotanya
sedang kata-kata menetaskan sayap
burung-burung pergi mencari
kehangatan kecup dalam hatimu

Bukit-bukit Siberia yang menggigil
dan jantung Cianjur yang temaram
mengeja wajahnya yang dingin 
dan berlapis salju. Ia datang, ia datang,
seperti kepergiannya yang senyap
ia pulang, tetapi tak pernah kembali

Langit terjuntai memetik duka cita 
yang berlapis-lapis. Tak ada yang 
terlambat dengan topi dan kembang,
memang. Hanya tak ada daftar 
nama untuk seluruh ujung jari

Sebuah kereta kuda
tua dan usang 
tak pernah melipat jarak 
seperti mega-mega sehabis gerimis
hari-hari kelak melupakannya. 

(2023)


Baca juga: Puisi-puisi Anton Sulistyo
Baca juga: Puisi-puisi Yana Risdiana
Baca juga: Puisi-pusi Deriska Salsabila

 

 

 

 


DIDIK WAHYUDI, penyair, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 30 Juli 1978. Alumnus Universitas Negeri Surabaya. Puisi-puisinya telah dimuat di sejumlah media lokal dan nasional. Buku kumpulan puisinya berjudul Pelajaran Bertahan (2019). Didik merupakan juara Harapan ke-1 Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2023 lewat puisinya berjudul Sajak Kecil perihal Sebuah Kapal yang Berlayar ke Pulau Senja. Kini, tinggal dan bergiat di Surabaya. (SK-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya