Headline
RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 229 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang meminta agar semua rapat DPR wajib digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
“Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 42/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (26/6).
Gugatan tersebut diajukan oleh advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan mahasiswa Zidane Azharian Kemal Pasha. Mereka mengusulkan agar lokasi rapat DPR dipastikan selalu diadakan di Gedung Parlemen, kecuali dalam kondisi luar biasa yang menghambat penggunaan gedung, atau dalam agenda dengar pendapat di daerah demi menjamin partisipasi publik yang bermakna.
Namun, MK menyatakan bahwa permohonan tersebut keluar dari konteks norma Pasal 229 yang justru mengatur sifat rapat DPR, bukan lokasinya.
Menurut Mahkamah, norma Pasal 229 UU MD3 yang berbunyi “Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup,” sejatinya telah mengatur secara spesifik sifat rapat di DPR.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan pasal tersebut secara jelas mengatur sifat rapat parlemen, bukan tentang lokasi di mana rapat DPR harus diselenggarakan.
Mahkamah mengingatkan, Pasal 229 UU MD3 mengandung makna bahwa prinsip keterbukaan adalah yang utama dalam penyelenggaraan rapat DPR, tidak tergantung pada di mana rapat itu digelar.
Sementara itu, sifat ketertutupan rapat merupakan pengecualian yang harus didasarkan pada alasan tertentu dan alasan tersebut disampaikan secara terbuka sebelum rapat yang bersifat tertutup dilakukan.
“Sedangkan tentang tempat diselenggarakannya rapat DPR, Mahkamah berpendapat hal tersebut bukan merupakan isu konstitusionalitas norma. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para pemohon a quo (tersebut) adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Guntur.
Putusan ini menegaskan bahwa keterbukaan informasi kepada publik tetap menjadi kewajiban utama DPR, tak peduli apakah rapat dilakukan di Senayan atau di tempat lain. (Ant/P-4)
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres,
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
Meskipun keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 telah mencapai sekitar 21%, pimpinan AKD DPR masih didominasi oleh laki-laki.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian norma keterwakilan perempuan yang terdapat dalam UU MD3.
KETUA DPP PDIP Said Abdullah menegaskan jika tak ada halangan, Puan Maharani akan kembali memimpin DPR RI.
Menurut Cak Imin, penambahan komisi di DPR perlu penguatan dengan merevisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa Said Abdullah mengusulkan revisi UU MD3
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved