Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pakar Hukum Tata Negara UMY Nilai Pembahasan Revisi UU TNI Kontroversial

Ardi Teristi Hardi
20/3/2025 08:10
Pakar Hukum Tata Negara UMY Nilai Pembahasan Revisi UU TNI Kontroversial
Konferensi Pers DPR RI soal revisi UU TNI.(Dok. MI/Ramdani)

DOSEN Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nanik Prasetyoningsih, menilai, ada kejanggalan yang terjadi selama proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI atau revisi UU TNI oleh DPR RI Komisi I. Dalam siaran pers, Nanik pun mengingatkan, apapun agenda yang direncanakan dalam revisi UU TNI harus tetap menjaga keberlangsungan supremasi sipil dalam sistem demokrasi.

Hal tersebut harus dilakukan untuk menyelaraskan adanya batasan yang jelas dan tegas terhadap keterlibatan TNI dalam jabatan sipil.

“Secara formil, pembahasan RUU TNI ini sudah kontroversial karena tidak melibatkannya "meaningful participation" dari masyarakat. Karena selama pembahasan dilakukan secara tertutup, muncul kekhawatiran akan berdampak kepada supremasi sipil. Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi sehingga dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan harus mendapat persetujuan dari masyarakat,” ungkap Nanik.

Ketua Program Studi Hukum Program Magister UMY ini menilai bahwa hak masyarakat tersebut harus tetap dipenuhi oleh pemerintah, agar tidak menghidupkan kembali sistem dwifungsi militer seperti pada masa Orde Baru. Ia merasa bahwa substansi dari revisi UU TNI yang memberikan perluasan jabatan sipil untuk anggota militer aktif sudah menjadikan TNI dapat melakukan intervensi dalam bidang yang kurang sesuai dengan fungsi dari TNI.

Hal tersebut berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga terkait di bidang tersebut.

“Kewenangan TNI tersebut masih akan ditambah dengan perluasan tugas operasi militer selain perang, yaitu di bidang penanganan narkotika, siber dan informatika, serta konflik WNI di luar negeri. Itu semua tercantum dalam RUU TNI dan perlu diatur dengan tegas batas dari kewenangan di setiap bidang tersebut, karena selama ini sudah ada lembaga yang berwenang seperti BNN, BSSN dan Kementerian Luar Negeri,” jelas dia.

Ketidaksesuaian yang terjadi dengan adanya dwifungsi militer inilah yang menurut Nanik dapat mengancam supremasi sipil dari masyarakat, di mana ia juga menegaskan bahwa hubungan antara militer dengan sipil harus dipisah dengan tegas.

Secara objektif, tugas dari militer atau TNI adalah pertahanan dan keamanan nasional dan tidak akan terlibat dalam struktur pemerintahan sipil. Namun dengan adanya revisi UU TNI, Nanik khawatir tugas tersebut akan bergeser menjadi subjektif. Walaupun dengan dalih pengawasan akan lebih melekat, masuknya TNI ke dalam ranah tersebut tetap tidak dibenarkan.

Kejanggalan dalam proses meloloskan revisi UU TNI perlu diperbaiki di beberapa aspek, salah satunya adalah pembahasan yang harus diulang dan melibatkan lebih banyak masyarakat. Nanik menyebutkan bahwa "meaningful participation" dari masyarakat dapat memenuhi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ia juga merasa perlu ada peninjauan ulang dalam substansi dari revisi UU TNI dan penempatan secara proporsional atas supremasi sipil di Indonesia.

“Sipil dan TNI itu sudah ada tempat dan fungsinya masing-masing, jangan dicampur adukkan. Dwifungsi militer di Indonesia sudah dikoreksi pada saat reformasi, mengapa seakan berniat dihidupkan kembali?" kata dia.

Artinya, akan terjadi kemunduran dalam demokrasi Indonesia. Terlepas dari segala proses politik yang terjadi, dalam hukum sudah jelas diatur melalui UUD 1945 terkait tugas dari TNI, di mana harus ada batas yang tegas antara TNI dengan ranah sipil sehingga sesuai dengan ketentuan konstitusi. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya