Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penilaian Dewas Dimentahkan KPK

Candra Yuri Nuralam
13/12/2024 17:36
Penilaian Dewas Dimentahkan KPK
Logo KPK.(MI/Susanto)

KETUA Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Alasannya, dia merasa kinerja lembaga yang dipimpinnya belum mampu memenuhi harapan publik atas mutu pemberatasan rasuah selama lima tahun terakhir.

“Kami menyadari lima tahun kami bekerja di sini banyak kekurangannya, jauh dari kesempurnaan. Kalau sekarang KPK berdasarkan survei-survei dinilai kinerjanya menurun, menurut kepercayaam masyarakat kepada KPK, tentunya itu juga merupakan kekurangan dari kami,” kata Tumpak pada konferensi pers Kinerja LIma Tahun Dewas KPK, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-corruption Learning Centre (ACLC) KPK, Jakarta, Kamis (12/12).

Mantan Pimpinan KPK jilid I atau periode 2003-2007 itu mengakui masih banyak kekurangan dalam upaya Dewas KPK meningkatkan integritas para pegawai dan pimpinan. Bahkan ada pelanggaran etik di tingkat komisioner KPK masuk dalam persidangan. “Mungkin kami kurang mampu untuk meningkatkan integritas para pegawai sampai dengan pimpinan KPK. Jadi, saya menganggap itu kekurangan kami juga,” ucap Tumpak.

Tumpak menyebut pihaknya sudah berupaya maksimal selama bekerja dalam mengawasi kinerja KPK. Jika hasilnya dinilai belum memuaskan masyarakat, dia menyampaikan permintaan maafnya.“Oleh karena itu, mohon maaf kalau kami belum bisa berhasil. Mohon maaf kalau kami masih banyak kekurangan di dalam pelaksanaan tugas kami,” tuturnya.

Pada kesempatan sama, anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris membeberkan hasil pemantauannya kepada lembaga antirasuah dalam lima tahun. Instansi itu disorot karena kerap lama melakukan penyelidika bisa memakan waktu sampai dengan dua tahun, bahkan lebih. 

Itu menjadi pekerjaan rumah dalam perbaikan manajemen pengurusan penyelidikannya.  Syamsuddin juga menyoroti ada penyelidikan yang tidak naik ke tahap penyidikan. “Ada beberapa kasus yang penyelidikannya enggak selesai dan tidak tuntas,” ujar Syamsuddin.

Menurut dia, perbaikan manajemen pengurusan perkara ini penting. Sebab, kelamaan melakukan penyelidikan membuat pendanaan menjadi boros. “Ini memakan biaya, memakan biaya anggaran,” ucap Syamsuddin.

Selain itu, sikap KPK juga disorot karena dinilai menggantung nasib pihak-pihak yang sudah dimintai keterangan. Lembaga Antirasuah disarankan menyetop perkara jika tidak cukup bukti. Penyetopan perkara tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Dalam beleid itu, kasus bisa kedaluwarsa jika lebih dari dua tahun tidak kelar. “Apabila penyidikan itu lebih dari dua tahun, bisa diusulkan untuk SP3, itu sekedar contoh,” kata Syamsuddin.

Dia turut menyoroti cara KPK mengordinir barang sitaan. Menurut Syamsuddin, banyak komisioner mengaku tidak tahu posisi aset yang sudah dirampas sementara. “Contoh yang lain adalah tata kelola benda sitaan hasil dari penggeledahan hasil korupsi yang sudah menjadi barang bukti. Tata kelolanya itu masih, masih konvensional, sehingga kadang-kadang pimpinan KPK sendiri tidak tahu ke mana benda sitaan itu, statusnya posisinya pada saat yang paling akhir,” tutur Syamsuddin.

Perburuk citra
Dia juga mengatakan komisioner KPK jilid v dinilai belum bisa menjadi teladan yang baik untuk percontohan integritas. Syamsuddin mengatakan, penilaian itu didasari banyaknya komisioner yang terseret dugaan pelanggaran etik. Yang paling disorot yakni, dua pimpinan yang sudah tidak menjabat yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.

“Dalam penilaian Dewas, pimpinan KPK belum dapat memberikan teladan, khususnya mengenai integritas. Terbukti, dari tiga pimpinan KPK yang kena etik (Lili, Firli, dan Nurul Ghufron), dan anda semua tahu siapa saja,” ucap Syamsuddin.

Pelanggaran etik yang menjerat komisioner itu dinilai tidak pantas terjadi di KPK. Pimpinan KPK juga disebut tidak memberikan contoh baik atas konsistensi kerja kepada bawahannya. Itu, kata Syamsuddin, terlihat dari banyaknya komentar berbeda antarpimpinan KPK saat diwawancarai media. Seharusnya, lanjutnya, mereka memberikan jawaban sama karena Lembaga Antirasuah menganut paham kolektif kolegial.

“Hal ini bisa kita lihat misalnya muncul secara publik misalnya statement pimpinan A kok bisa berbeda dengan pimpinan B tentang kasus yang sama. Kami di Dewas sangat menyesalinya,” ujar Syamsuddin.

Penilaian ini diharap tidak berlanjut pada komisioner jilid V. Dewas KPK berharap mereka memiliki nyali besar dalam pemberantasan rasuah di Indonesia. “Apakah pimpinan itu ada atau memiliki nyali, mungkin ada, tapi masih kecil. Ke depan dibutuhkan pimpinan yang memiliki nyali besar dalam pemberantasan korupsi,” pungkasnya.

Menanggapinya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada Media Indonesia, Kamis (12/12), mengatakan penilaian Dewas tersebut menggunakan pendekatan pukul rata. Padahal, kata dia, satu orang yang tersangkut masalah hukum atau etik tidak bisa dijadikan landasan untuk menilai semua pimpinan KPK jilid V. 

“Sebut nama pimpinan (KPK). Pimpinan (KPK) ada lima (orang). Apakah semua tidak bisa dijadikan contoh?? Saya pribadi tidak jadi soal tidak dijadikan contoh yang baik asal ada alasannya. Misalnya saya pernah disanksi melakukan pelanggaran etik,” terangnya. 

Ia mengakui bahwa keberadaan lembaga yang dipimpin Tumpak itu tidak banyak membantu kinerja KPK. Pasalnya, Dewas bekerja seolah-olah di luar atau tidak satu kesatuan dengan lembaga yang diawasinya. “Saya menilai keberadaan Dewas selama ini juga tidak banyak membantu dalam penyelesaian berbagai masalah di KPK dan membangun reputasi KPK. Mereka menempatkan diri seolah bukan bagian KPK,” ungkapnya. 

Alex juga mempertanyakan tindakan yang selama ini dilakukan Dewas KPK. Sebab, lembaga itu terkesan hanya fokus mencari-cari kesalahan pimpinan KPK dan tidak bekerja sama dalam meningkatkan mutu pemberantasan korupsi. “Tugasnya yang antara lain mencari-cari kesalahan pimpinan (KPK) ikut memperburuk opini publik terhadap KPK,” pungkasnya. (Can/Cah/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya