Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pakar Politik Unas: Bahaya Demokrasi Dalam Komunikasi Politik Jokowi

Media Indonesia
26/1/2024 20:00
Pakar Politik Unas: Bahaya Demokrasi Dalam Komunikasi Politik Jokowi
Ilusrrasi(MI/Duta)

ANALIS komunikasi publik dari Universitas Nasional Irfan Fauzi Arief  menanggapi polemik dan prokontra atas pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden boleh berkampanye.

Ia menyatakan bahwa blunder pernyataan komunikasi politik Jokowi itu bisa mengancam demokrasi dan melanggar konstitusi.

“Ini adalah salah satu dari sekian banyak pernyataan politik Jokowi yang blunder dan bisa jadi ancaman bagi kesehatan demokrasi kita” kata Irfan.

Ia menambahkan, banyak sekali pernyataan blunder komunikasi politik Jokowi yang dinilai kontroversial mulai dari Cawe-cawe Pilpres, kemudian dukungan pada salah satu kandidat capres, hingga pembiaran pelanggaran etika pada proses pemilihan gibran sebagai cawapres.

Kemudian, sambung Irfan, pada 26 November 2022  presiden melontarkan sinyal dukungan kepada Ganjar. Di hadapan ribuan relawannya, dengan menyatakan kriteria pemimpin yang layak dipilih. 

Dua kriteria tersebut adalah berambut putih dan memiliki banyak kerutan di wajahnya. Sinyal itu dianggap dukungan terhadap Ganjar karena memiliki dua ciri fisik tersebut.

Di sisi lain, sinyal dukungan presiden kepada Prabowo Subianto terlontar jelas saat keduanya menghadiri acara hari ulang tahun Partai Perindo, 7 November 2022. 

Menurutnya, berbagai macam pernyataan kontroversial Jokowi belakangan ini secara gesture politik dinilai sebagai bentuk kepanikan politik yang tidak hanya membahayakan demokrasi.

"Kalo model komunikasi politik Jokowi tidak segera diperbaiki, maka bisa  menyebabkan hard landing bagi pak jokowi” imbuh Irfan.

Secara normatif, sambungnya, setiap warga negara indonesia memang diperbolehkan memilih dan dipilih, hal itu dilindungi undang-undang, baik sesuai pasal 43 ayat 1 UU HAM dan pasal 299 ayat 1 UU Pemilu.

Namun, tegasnya, Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, sebagai kepala negara, sebagai panglima tertinggi TNI dan Polri yang bisa menggerakan seluruh sumber daya, bahkan bisa menyatakan perang atau situasi darurat, dan berbagai keistimewaan lainnya yang melekat kepada pribadinya. 

Sehingga aturan normatif tersebut dibatasi oleh etika politik dan aturan perundangan lainnya.

“Adab atau etika itu posisinya diatas ilmu, ketika etika itu hilang, maka setinggi apapun ilmu  pasti akan hilang juga” tandas Irfan.

Adanya berbagai pernyataan kontroversial tersebut, Irfan menilai Jokowi diindikasikan dan diduga telah melanggar etika politik, undang-udang, peraturan pemerintah, bahkan Tap MPR.

"Jadi, ketika seorang Presiden dan Kepala Negara memihak salah satu kontestan politik Capres/Cawapres tanpa ada hubungan darah saja, hal ini sudah dianggap menyalahi Undang-undang dan etika politik serta etika demokrasi, apalagi ketika ada hubungan darah antara Presiden dan kontestan," imbuhnya 

"Bila Jokowi ingin dikenang sebagai negarawan dan bagian dari sejarah yang baik bagi negeri ini, maka hentikan segera kontroversi dan blunder politik ini," pungkasnya. 

“Walau tidak membuat dinasti politik secara formal, Soeharto memerlukan waktu 32 tahun untuk melanggengkan kekuasaannya. Sementara pak Jokowi hanya butuh waktu 9 tahun saja”, tambah Irfan.

Irfan menilai, apa yang terjadi saat ini adalah bagian dari scenario pelanggengan kekuasaan dan kepanikan pak Jokowi setelah isu 3 periode gagal dan ditolak PDIP dan parpol lainnya.

“Ketika seseorang akan tenggelam, biasanya akan panik dan berusaha memegang dan menggapai apa saja agar bisa selamat, baik rumput yang ranting yang rapuh” kata Irfan. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya