Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
BAWASLU sejak awal dinilai tidak serius dalam mengungkap dan menindak tindak kecurangan dalam proses pemilu. Padahal berbagai bukti dan gejala telah secara terang benderang terlihat dan disaksikan publik salah satunya terkait dugaan keterlibatan aparat negara yang berupaya memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Hal ini merupakan sikat nyata ketidaknetralan pemerintah pada setiap pemilu.
"Sering terjadi (keterlibatan aparat) kita tidak tahu. Tapi soal keberpihakan itu sudah ada sejak dulu hanya saja tidak ada pelaporan dan penyelenggara pemilu serta pengawasannya memang tidak pernah serius padahal sudah ada indikasi awal. Maka kami minta pertanggungjawaban Bawaslu secara terang benderang," cetus Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.
Bawaslu sebagai lembaga negara memiliki sumber daya yang cukup yang tentu saja memiliki kewenangan untuk menangani kecurangan pemilu. Dengan tanggung jawab dan kewenangan yang ada Bawaslu harus mengejar dan mencari pusat kecurangan itu.
Baca juga: Polri-Bawaslu Diminta Selidiki Dugaan Pengerahan Aparat dalam Pemasangan Baliho Capres
"Penegak hukum juga jangan seolah menjadi institusi yang lemah. Mereka punya lembaga otoritas. Bawaslu menjadi sentral dan dengan segala gejala dan bukti yang ada Bawaslu harusnya dengan mudah memanggil pihak yang diduga melakukan itu. Tidak mungkin Bawaslu tidak terpikir soal itu," tegasnya, Sabtu (11/11).
Dia menekankan Bawaslu bukanlah lembaga yang hanya menunggu laporan tapi harus mencari berbagai hal yang terungkap di tengah publik.
Baca juga: Instruksi Polisi Pasang Baliho Prabowo-Gibran akan Berlaku di Semua Daerah
"Ini sudah aneh dan tidak ada alasan lagi Bawaslu untuk tidak bergerak karena memang bukan lembaga yang menunggu laporan. Barang bukti apa yang dia tunggu? Bawaslu itu sifatnya harusnya mencari, dia harus kerja," ungkapnya.
Sementara itu Deputi Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia (KIPP) Jojo Rohi mengkritisi situasi pemilu kali ini hampir mirip dengan era sebelum reformasi atau orde baru, hanya yang membedakan tidak ada aksi kekerasan dan penculikan. Dengan situasi yang terjadi kini Jojo mengkhawatirkan penggunaan lembaga negara akan semakin intens. Sebab secara terbuka Jokowi sudah memberikan ancaman pasa semua pembantunya untuk untuk tegak lurus kepadanya.
"Jika dibandingkan dengan masa sebelum reformasi memang keterlibatan birokrasi TNI, Polri tapi bedanya tidak senorak sekarang ini. Kita sekarang terjebak dalam situasi yang sama, kelakuan yang sama. Pemerintah berganti tapi kelakuannya tetap," terangnya.
Dia menilai yang dilakukan Presiden Joko Widodo saat ini sama seperti pada situasi orba yang minus penculikan namun masif dan terbuka dalam hal kecurangan menggunakan berbagai institusi negara.
"Sekarang minus penculikan kekerasan tapi caranya lebih masif dan terbuka. Suharto tidak gunakan lembaga negara yudisial untuk bergerak dalam isu pemilu dia hanya gunakan birokrasi, ABRI dan Polri dia tidak gunakan lembaga yudisial. Kalau sekarang termasuk mengkooptasi parpol sama seperti koperasi ketum parpol dulu yang Suharto tentukan," sambungnya.
Sikap Jokowi ini juga dinilai Jojo tidak semata karena haus kekuasaan namun ada faktor perkawinan kekuasaan dan pihak yang ingin mempertahankan oligarki.
"Jokowi ini membuat persoalan bangsa jadi agenda persoalan pribadi. Jadi seolah hanya dia dan orang-orangnya yang bisa. Padahal seperti program Indonesia emas itu adalah persoalan bangsa yang siapa pun bisa mengerjakan persoalan itu. Apa hanya Gibran dan Prabowo menyelesaikan itu kan tidak," ungkapnya.
Sementara itu menurut pakar politik UMY Ridho Al Hamdi menerangkan isu netralitas ASN, Polri dan TNI memang manis diucapkan tapi pahit dilaksanakan. Sebab faktanya pihak yang memiliki berkuasa mampu mengambil sumber daya ASN dengan beragam kamuflase.
"Idealnya begitu tapi pada faktanya mereka yang berkuasa. Ini sulit untuk netral dan itu dibuktikan sekarang aparat sudah mulai bekerja dan yang sedang berkuasa yang punya potensi besar," jelasnya. (Sru/Z-7)
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
MK mengatakan selama ini terdapat perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan pelanggaran administrasi pilkada.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Pengalaman dari Pemilu 2024 menunjukkan betapa tingginya partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran.
Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari politik karena sesungguhnya politik adalah bagian yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
Bagja tetap mengimbau Bawaslu Sulawesi Selatan dan Kota Palopo untuk mengawasi setiap potensi terjadinya praktik haram tersebut.
Skema kepegawaian ini memberi fleksibilitas bagi instansi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja tanpa menambah beban anggaran secara signifikan.
Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah impian banyak orang di Indonesia. Hal ini bukan tanpa alasan, karena pekerjaan sebagai ASN menawarkan kestabilan dan rasa aman dalam berkarir.
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) menargetkan pencatatan pernikahan secara nasional mencapai dua juta pasangan pada 2025.
PRESIDEN Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengaku prihatin atas kejadian 35 anggota DPRD Purwakarta menerima bantuan subsidi upah (BSU).
Dia mengimbau kepada seluruh kepala organisasi perangkat daerah (OPD) agar lebih ketat dalam mengawasi kehadiran dan aktivitas para bawahannya selama jam dinas.
Pada Pelantikan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahap I Tahun 2024 di pelataran Kantor Gubernur Sulsel, Kamis, 31 Juli 2025, sosok Lalu Syafii menarik perhatian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved