Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
JAKSA penuntut umum (JPU) dinilai gagal mewujudkan rasa keadilan di masyarakat karena menuntut Richard Elizer Pudihang Lumiu, salah satu terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua Nofriansyah Hutabarat, dipidana 12 tahun penjara. Padahal, Eliezer telah mendapat status justice collaborator (JC) dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pengajar Fakultas Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menyebut tuntutan JPU terhadap Eliezer janggal dan tidak logis. Padahal, Elizer dinilai banyak membantu menemukan persesuaian fakta-fakta dan alat bukti. Apalagi, Eliezer juga dinyatakan kooperatif selama persidangan.
"Semestinya sifat koperatif dan terbantunya pembuktian jaksa akibat adanya bantuan keterangan Bharada E (Elizer) yang bersesuaian harus dimajukan untuk diutamakan sebagai pertimbangan objektif sekaligus sebagai alasan lebih ringannya tuntutan atas dirinya," jelas Azmi kepada Media Indonesia, Kamis (19/1).
Azmi juga menyoroti adanya indikasi pertentangan dan kejanggalan JPU yang sempat berdiam sejenak saat membacakan amar tuntutan Eliezer. Hal tersebut, lanjutnya, seolah menunjukkan adanya keragu-raguan dan keengganan dalam membacakan lamanya pidana tuntutan terhadap Eliezer.
Baca juga: Kejagung: Richard Eliezer Seharusnya Bisa Tolak Perintah Sambo
"Seolah setengah hati atau seolah ada rasa keragu-raguan," katanya.
Di samping itu, ia menilai JPU kurang teliti dalam menelaan mens rea atau niat Eliezer selaku eksekutor pembunuhan berencana Yosua. Azmi menduga terhadap hambatan nonyuridis saat JPU merumuskan surat tuntutan Eliezer.
"Termasuk indikasi ada perbedaan persepsi antar jaksa dalam kebijakan internalnya atas proses tuntutan pada Bharada E hingga hal ini dapat dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat," pungkasnya. (OL-4)
Hingga saat ini, polisi belum mendapatkan bukti yang mendukung peningkatan status Bharada E menjadi tersangka dalam kasus penembakan di rumah Kadiv Propam Polri.
Bharada E tiba di Komnas HAM sekitar pukul 13.25 menggunakan kemeja hitam dan dikawal polisi.
Bharada E kembali ke Brimob karena yang bersangkutan masih berstatus sebagai saksi dalam kasus polisi tembak polisi.
Fickar mengatakan siapa otak di balik pembunuhan atau yang menyuruh serta yang ikut membantu akan terungkap di pengadilan.
"Tentu kami mengapresiasi ucapan itu, tapi selama ini kemana aja? Kalau manusia normal, bijaksana, kan udah dari kemarin-kemarin,"
"Iya benar, Brigadir RR ada di lokasi waktu kejadian. Di situ disebut namanya,"
Penaikkan status ke tahap penyidikan menujukan tim khusus (timsus) bekerja sangat cepat. Namun, tetap menerapkan kaidah-kaidah pembuktian secara ilmiah.
Tim khusus gabungan pengusutan kasus tewasnya Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat juga menyita rekaman CCTV dalam perjalanan dari Magelang ke Jakarta.
Dedi mengatakan ada dua hp Brigadir Yosua yang tengah diperiksa labfor. Dia menyebut tim labfor masih bekerja.
PENGAMAT Kepolisian Bambang Rukminto menilai kesalahan Polri dalam kasus tewasnta Brigadir J ialah tak membuka hasil autopsinya ke publik.
"Kalau dari Perhimpunan Kedokteran Forensik Indonesia yang saya sudah dapatkan informasi ada tujuh orang,"
Kapolsek Metro Menteng Ajun Komisaris Besar Netty Rosdiana Siagian mengatakan, Bundaran HI bukan untuk tempat melakukan aksi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved