Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Nihil Regulasi Perampasan Aset, Korupsi Berjaya

Cahya Mulyana
08/3/2022 13:50
Nihil Regulasi Perampasan Aset, Korupsi Berjaya
Chair Anti-Corruption Working Group (ACWG) C20 Dadang Trisasongko (Dok. MI/Rommy Pujianto )

NEGARA-negara maju atau G20 dituntut untuk memacu pemberantasan korupsi. Jika usaha itu dilakukan secara serius maka pertumbuhan ekonomi dunia dapat semakin tinggi.

Chair Anti-Corruption Working Group (ACWG) C20 Dadang Trisasongko mengatakan sekitar 47% dari anggota G20 masih terkungkung dalam polemik rasuah dengan indeks persepsi korupsi di bawah 50%. Maka tak ayal ekonomi dunia lambat bertumbuh.

"Bila 47% itu serius menaikan indeks persepsi korupsi minimal sampai 50% saja skornya maka ekonomi dunia dapat meningkat signifikan. Sebab korupsi sering menjadi batu sandungan dalam investasi dan perizinan," katanya dalam webinar bertajuk bertajuk RUU Perampasan Aset Sebagai Perwujudan Prinsip Utama, Selasa (8/3).

Ia mengatakan terdapat sejumlah negara besar dalam G20 yang belum berhasil keluar dari budaya korupsi. Misalnya Tiongkok, Indonesia hingga Rusia.

Sebagai negara-negara besar, korupsi yang ada menjadi tantangan besar dan berdampak bagi ekonomi dunia. Indonesia, kata Dadang, menjadi contohnya.

Baca juga: DPR Siap Tancap Gas Bahas Persiapan Pemilu 2024

Korupsi politik yang masih lekat dengan Indonesia bersemayam dalam dua sendi utama ekonomi yakni perizinan dan investasi. Jalan keluarnya, Indonesia membutuhkan Undang-undang (UU) tentang Perampasan Aset.

Dengan regulasi itu, kata Dadang, mampu membongkar skandal korupsi yang selama ini sulit dijamah. "Bank Dunia dan lainnya pun sudah banyak memberikan panduan untuk perampasan aset ini. Dengan cara ini efek jera bisa muncul dan kerugian negara bisa terselamatkan," pungkasnya.

Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif menjelaskan korupsi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, supermasi hukum, tatanan pemerintahan. Kemudian menjadi pemantik pelanggaran HAM, menggerogoti kualitas hidup dan pembangunan berkelanjutan hingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

Indonesia, kata Laode, belum mampu memberantas korupsi secara holistik. Pasalnya regulasi yang bisa mengefektifkan perang melawan rasuah yakni UU Perampasan Aset belum disahkan pemerintah dan DPR.

"Maka perampasan aset terlebih yang ada di luar negeri menjadi semakin sulit walaupun dilakukan lewat kerja sama antar organisasi lintas negara. Tantangan untuk perampasan aset, landasan hukumnya di tingkat nasional dan internasional masih sangat sedikit ditambah terbentur persoalan ekstradisi," ungkapnya.

Ia mencontohkan korupsi di PT Garuda Indonesia yang semula dibongkar lembaga milik pemerintah Inggris pun hingga kini belum tuntas. Alasannya satu yakni sulit mengejar aset para pelakunya.

"Meskipun ada mutual legal assistance (bantuan hukum timbal balik antarnegara) pun prosesnya berlarut-larut seperti dalam kasus Garuda hingga kini belum terealisasi dalam perampasan aset," terangnya.

Baca juga: KPK Panggil Panitera Pengganti Surabaya Terkait Suap Hakim Itong

Perwakilan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ferti Srikandi Sumanthi mengatakan perburuan aset para pelaku kejahatan luar biasa masih lemah. Padahal sejak 2006 regulasinya berhasil dirancang tapi tak kunjung disahkan pemilik kewenangan.

Hambatan lainnya, lanjut Ferti, tidak tersedianya kebijakan dan komitmen yang memadai dalam melakukan identifikasi, pelacakan, penyelamatan, dan penyelamatan aset. Kemudian nihilnya sumber daya mulai dari personil, anggaran, organisasi yang memiliki tugas khusus untuk melakukan identifikasi dan pelacakan aset.

"Juga kosongnya regulasi nasional mengenai perampasan aset tanpa tuntutan pidana (non- conviction based). Belum lagi tidak optimalnya provisional measures (penundaan transaksi, penghentian transaksi, pemblokiran, dan penyitaan) dalam rangka pengamanan aset juga pertukaran informasi antar otoritas yang berwenang masih lemah," pungkasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya