Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

MA Akui Keberadaan Mafia Tanah

Sri Utami
07/10/2021 18:40
MA Akui Keberadaan Mafia Tanah
Mahkamah Agung(MI/Adam Dwi )

MAHKAMAH Agung (MA) mengakui masih ada mafia tanah. Meski secara umum, MA tidak memberikan regulasi tertentu terkait sengketa tanah, kecuali yang termasuk dalam Perma No 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terkait Penitipan Ganti Kerugian Atas Pengadaan Tanah Untuk Kepentigan Pembangunan. 

Hakim Agung Mahkamah Agung RI Pri Pambudi Teguh dalam Seminar Nasional Peran Komisi Yudisial, Mengawasi Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan, Kamis (7/10) mengatakan Perma tersebut diterbitkan sebagai amanat dari UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan.

"Itu yang kami jadikan pedoman dan mafia tanah itu memang ada. Karena itu pengadilan pada umumnya hanya mengambil sikap pada strategi yang bisa berubah tergantung situasinya secara umum yang dipedomanin secara hukum apa yang jadi kaidah hukumnya dan apa yang jadi kasusnya macthing atau tidak jika diterapkan begitu juga dengan azas beradilan," jelasnya, Kamis (7/10).

Dia menekankan dalam penegakan hukum, hakim harus real dan nyata terkait mafia tanah. Peradilan harus mengambil sikap afirmatif dalam memberi ruang seluasnya untuk memperoleh kesetaraan hak. 

"Dalam rangka mencapai keadilan yang  jadi sengketa di peradilan yang dalam prakteknya di pengadilan berhadapan yang kuat dan yang lemah," ujar Pri. 

Baca juga: Mahfud ungkap Hakim dan Mafia Tanah Kerap Berkolaborasi

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menuturkan pihaknya menerima 23 permohonan pemantauan persidangan perkara pertanahan periode 2019-2021. Pada 2019 KY mencatat ada tiga  permohonan, tahun berikutnya meningkat menjadi enam, dan 14 permohonan pada 2021.

"Sulawesi Selatan (sebanyak) delapan (permohonan), DKI Jakarta enam, Sumatera Utara dua,  Banten dua, Sumatera Barat dua, Sumatera Selatan satu, Bali satu, dan NTT berjumlah satu," paparnya. 

Sedangkan laporan masyarakat terkait perkara pertanahan 2019-2021 sebanyak 115. Semua laporan itu berasal dari DKI Jakarta, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Dari tipologi perkara pertanahan selama 2016-2020 yang telah diputus KY berdasarkan hasil sidang pleno, yakni penguasaan tanah tanpa hak (50%), sengketa waris (19%), keberatan atas proses dan putusan pengadilan (25%), dan sertifikat ganda (6%).

"Kerawanan pelanggaran kode etik hakim pembuktian, pemeriksaan setempat dan putusan," imbuhnya. 

Di sisi lain pengamat hukum Agraria Maria Sri Wulan Sumardjono mengungkapkan banyak faktor yang dapat mengakibatkan silang sengkarut kasus pertanahan di pengadilan. Di antaranya hakim masih perlu mendalami pemahaman tentang hukum pertanahan. 

"Hal ini wajar karena hakim pada umumnya generalis tidak diproyeksikan untuk mendalami bidang tertentu dan wajib memeriksa semua perkara yang diajukan di pengadilan. Belum lagi permasalahan pertanahan dapat dilihat dari aspek  TUN, perdata bahkan pidana," jelasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya