KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk menyelidiki dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Hal itu dikemukakan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana.
"Idealnya, saat ini KPK harus segera menerbitkan surat perintah penyelidikan atas dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Kamis (15/7) malam.
Dalam perkara rasuah ekspor benih bening lobster (BBL), Edhy bukan merupakan pelaku tunggal. Ia diseret ke meja hijau bersama dua staf khususnya, yaitu Andreau Misanta Pribadi dan Safri. Keduanya--yang ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua tim uji tuntas (due diligence) perizinan usaha perikanan budidaya lobster--menjadi perantara suap antara eksportir BBL dan Edhy.
Selain itu, perantara suap dalam peraka ini adalah Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy; Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy; dan Siswandhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK). Seluruh perantara suap itu turut diseret ke meja hijau sebagai terdakwa.
Sebelumnya, salah satu eksportir BBL, yakni Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP), Surhajito, telah terlebih dahulu menjalani persidangan. Hakim memvonisnya hukuman penjara selama 2 tahun usai terbukti menyuap Edhy US$103 ribu dan Rp706.055.440. Suharjito telah menerima putusan dan menjalani hukuman di Lapas Cibinong.
"Beberapa bukti awal sudah terlihat jelas dalam persidangan. Misalnya, modus menggunakan pihak lain sebagai pembeli properti guna menyamarkan aset hasil kejahatan atau bahkan meminjam rekening orang ke tiga untuk menerima sejumlah penerimaan suap," jelas Kurnia.
Usai sidang pembacaan dakwaan yang digelar pada Kamis (15/4) lalu, Media Indonesia sempat bertanya kepada jaksa KPK, Ronald Ferdinand Worotikan, ihwal nihilnya jeratan TPPU terhadap Edhy. Padahal, surat dakwaan jaksa KPK turut menyebutkan bahwa Edhy membelanjakan uang hasil suap untuk pembelian berbagai hal, seperti tanah hingga belasan sepeda jenis road bike.
Saat itu, Ronald menyebut bahwa pihaknya masih berfokus pada perkara suap. Ia mengaku penyidikan TPPU tidak dilakukan karena pertimbangan batas waktu penuntutan. Sebab, pembuktian TPPU harus meruntut semua aset-aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal.
"Kita ada wacana ke sana (penjeratan TPPU). Itu nanti ke (bidang) penyidikan," aku Ronald.
Sebelumnya, Edhy divonis pidana penjara 5 tahun dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim juga menjatuhi hukuman pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp9,687 miliar dan US$77 ribu subsider 2 tahun serta pencabutan hak politik.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Edhy Prabowo berupa pencabutan hak untuk dipilih dari jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," kata hakim ketua Albertus Usada saat membacakan amar putusan.
Pidana tambahan pencabutan hak politik terhadap Edhy menunjukkan bahwa majelis hakim telah mengamini tuntutan jaksa KPK. Kendati demikian, jangka waktu yang menjadi tuntutan jaksa KPK saat itu adalah 4 tahun. Menurut Kurnia, hukuman pencabutan hak politik yang dijatuhkan hakim masih rendah.
"Mestinya pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya," tandasnya. (OL-13)
Baca Juga: Tertinggi, Udang Olahan dalam Kemasan Jadi Primadona Ekspor