Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Hakim Suparman Dissenting Opinion, Sebut Edhy Prabowo Tidak Terima Suap

Tri Subarkah
15/7/2021 18:03
Hakim Suparman Dissenting Opinion, Sebut Edhy Prabowo Tidak Terima Suap
Bekas Menteri KKP Edhy Prabowo(Antara)

SALAH satu hakim anggota yang memeriksa perkara suap izin ekspor benih bening lobster (BBL) dengan terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim tersebut adalah hakim anggota I, yakni Suparman Nyompa.

Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Suparman menyebut pendapatnya berbeda dengan hakim ketua Albertus Usada dan hakim anggota II, Ali Muhtarom.

Albertus dan Ali menyatakan bahwa Edhy terbukti melakukan tindak pidana seperti dakwaan pertama jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu Pasal Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

"Bahwa hakim anggota I mengajukan pendapat berbeda dengan menyatakan dakwaan penuntut umum yang terbukti terhadap diri terdakwa Edhy Prabowo adalah melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No. 31/1999 dan seterusnya," kata Suparman, Kamis (15/7).

Suparman menilai bahwa Edhy tidak menerima suap dari PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP), Suharjito serta calon eksportir BBL lainnya. Selama jalannya persidangan, lanjutnya, Edhy tidak terbukti menerima suap sebesar US$77 ribu dari Suharjito.

"Bahwa dalam persidang, tidak ada bukti dan tidak ada fakta jika terdakwa Edy Prabowo meminta uang atau memerintahkan kepada tim uji tuntas (due diligence) atau pun memperoleh hadiah dari Suharjito," terang Suparman.

Lebih lanjut, ia menilai permintaan dan penerimaan puluhan ribu dolar Amerika Serikat itu yang setara dengan Rp1 miliar adalah wakil ketua tim due diligence, yakni Safri.

Safri diketahui sebagai salah satu staf khusus Edhy yang turut terseret dalam perkara ini. Suparman menerangkan tidak ditemukan bukti bahwa perbuatan Safri itu didasarkan atas perintah maupun diketahui oleh Edhy.

Baca juga: Bekas Menteri KKP Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun Penjara

Kalau pun ada arahan dari Edhy ke bawahannya, lanjut Suparman, hal itu sebatas penekanan dan permintaan agar setiap permohonan izin budidaya dan ekspor BBL yang masuk dari calon eksportir untuk dipermudah. Suharjito melalui perusahaannya diketahui mengalami kendala karena izin budidaya dan ekspor yang diajukan sebelumnya ke KKP tidak kunjung diterbitkan.

Oleh karena itu, ia memerintahkan anak buahnya untk mengecek hal itu ke KKP. Setelah dicari tahu, anak buah Suharjito justru mendapatkan informasi dari Safri untuk memberikan komitmen fee. Tak lama setelah pemberian fee, KKP melalui Dirjen Budidaya dan Dirjen Tangkap mengeluarkan izin budidaya lobster serta izin tangkap kepada PT DPPP.

"Izin tersebut diberikan bukan karena ada perintah dari terdakwa (Edhy) kepada kedua Dirjen tersebut," jelas Suparman.

Dari fakta persidangan, Suparman menilai bahwa Edhy hanya menerbitkan Permen KP No. 12/2020 untuk membuka keran ekspor BBL. Aturan itu menggantikan Permen sebelumnya di era kepemimpinan Susi Pudjiastuti atas masukan dari berbagai kalangan karena dinilai dapat mendongkrak pendapapatan nelayan dan pemasukan negara.

Sementara pelaksanaan Permen PK yang diteken Edhy pada 4 Mei 2020 sepenuhnya diberikan kepada tim uji tuntas serta direktorat jenderal dan badan lain di KKP. Oleh karena itu, Suparman mengatkan unsur menerima hadiah yang didakwakan jaksa KPK tidak terbukti.

Albertus menegaskan bahwa dissenting opinion yang diajukan Suparman telah digariskan dalam ketentuan Pasal 14 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. "Maka pendapat hakim yang berbeda a quo wajib dimuat dalam putusan," katanya.

Dalam putusannya, majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Edhy pidana penjara selama 5 tahun. Selain itu, ia juga dihukum membayar denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp9,687 miliar dan US$77 ribu subsider 2 tahun, serta pencabutan hak untuk dipilih dari jabatan publik selama 3 tahun sejak Edhy selesai menjalani pidana pokok. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya