Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Baleg Siap Bersihkan Pasal Multitafsir di UU ITE

Cahya Mulyana
13/6/2021 10:08
Baleg Siap Bersihkan Pasal Multitafsir di UU ITE
Ilustrasi UU ITE(MI/Tiyok)

BADAN Legislasi (Baleg) DPR RI menunggu pengajuan draf rancangan perubahan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dari pemerintah. Wakil rakyat akan membantu menyampaikan aspirasi masyarakat dengan memastikan tidak ada pasal yang multitafsir.

"Kami membaca di media soal hasil kajian tersebut. Kami mengapresiasi kerja pemerintah yang serius ingin melakukan perbaikan terhadap potensi multitafsir UU ITE," ujar Anggota Baleg DPR Christina Aryani saat dikonfirmasi Media Group News, Minggu (13/6).

Menurut dia, sesuai mekanisme kerja, maka Baleg akan menunggu draf revisi UU ITE yang akan disampaikan oleh pemerintah untuk kemudian dikaji lagi esensinya. Pemerintah dapat mengajukan perubahan UU itu pada tahapan evaluasi program legislasi nasional (Prolegnas) 2021.

"Nantinya saat evaluasi prolegnas prioritas 2021, pemerintah dapat mengajukan revisi UU ITE untuk dimasukkan dalam prolegnas prioritas 2021 tentunya dengan menyertakan draft RUU dan naskah akademiknya," paparnya.

Jika Baleg dan pemerintah bersepakat memasukannya dalam prolegnas prioritas, maka agenda selanjutnya adalah harmonisasi.

"Kemudian pembulatan dan pemantapan konsepsi. Di sanalah dilakukan pengkajian oleh Baleg terhadap draft yang dikirim pemerintah," tuturnya.

Pemerintah telah mempublikasikan sejumlah rumusan baru dari beberapa pasal UU ITE yang akan direvisi. Rumusan baru tersebut menyasar pada Pasal 27 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 28 Ayat 1 dan Ayat 2, Pasal 29, dan Pasal 36, serta penambahan pasal baru yakni Pasal 45C.

Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam sekaligus Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo menyatakan usulan yang digodok oleh pihaknya masih berpotensi untuk berubah.

"Sekali lagi, usulan revisi yang dibuat atau disusun tim kajian ini bukan harga mati. Jadi bukan berarti usulan ini nanti yang maju," tegasnya.

Baca juga: Usulan Revisi UU ITE Bukan Harga Mati

Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Studi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai revisi terhadap UU ITE seharusnya tidak bersifat terbatas di tataran semantik saja. Berkaca pada revisi yang dilakukan 2016, revisi terbatas tidak mampu menjawab problematika yang dipicu dalam penerapan UU tersebut.

"Butuh satu proses untuk melakukan dekonstruksi menyeluruh terhadap UU ITE," kata Wahyudi.

Menurut Wahyudi, rumusan baru yang ditawarkan pemerintah masih membuka peluang multitafsir. Usulan amandemen Pasal 28 Ayat 2 misalnya, masih dinilai bermasalah karena konstruksinya pada dasarnya sama dengan Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tim Kajian UU ITE memperluas redaksi 'menyebarkan' dalam Pasal 28 Ayat 2 soal informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan tambahan menghasut, mengajak, atau menggerakkan orang lain.

Selain SARA, pasal ini juga menambahkan kebencian berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, Wahyudi juga menyoalkan munculnya usulan Pasal 45C yang diadopsi dari ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Usulan pasal baru itu, menurutnya, tidak membatasi dengan jelas apa yang menjadi pemberitahuan bohong. Padahal, lanjutnya, masyarakat membutuhkan batasan yang jelas tentang perbuatan yang berujung pada tindakan pidana.

"Jadi unsur menciptakan keonaran itu belum cukup untuk kemudian menghindari multitafsir dalam penerapannya. Saya masih melihat bahwa ini belum cukup untuk didorong sebagai sebuah materi yang diusulkan sebagai usulan revisinya," tukasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya