Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
WACANA amandemen konstitusi seharusnya merupakan kebutuhan serta aspirasi rakyat dan bukan hanya merupakan angan-angan dan keinginan elite politik.
Pengamat tata negara Bivitri Susanti menyebutkan, ide amandemen UUD 1945 yang sekarang bergulir di tengah publik merupakan ilusi elite politik tanpa memperhatikan aspirasi.
“Tidak ada sama isu di publik yang ingin membahas amandemen kecuali elite yang menggulirkan,” katanya dalam diskusi ‘Merefleksikan Kembali, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan’ yang dilakukan secara daring, Rabu.
Ia menyebutkan, saat ini tidak ada kondisi mendesak dan luar biasa untuk mengamandemen UUD 1945 seperti yang dilakukan pada awal-awal Reformasi. Pada kenyataannya sejumlah elite politik menginisiasikan amandemen untuk memasukkan GBHN dan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Dalam GBHN misalnya, masih ada RPJM dan RPJP. Sementara dalam hal perpanjangan masa jabatan presiden, justru akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Jokowi: Bangun Infrastruktur untuk Bangun Peradaban
Terkait ide perpanjangan masa jabatan, Bivitri mencurigai rencana ini sebagai bagian dari keingin oligarki di sekitar Presiden Joko Widodo. “Wong tidak ada yang bicarakan sebelumnya, tahu-tahu elite politik sibuk membicarakan ini,” ungkapnya.
Seharusnya, tambah Bivitri, ide yang perlu digelontorkan para elite tersebut adalah membuat ruang bagi kekuatan penyeimbang, baik di tataran formal maupun informal.
Beberapa isu lain yang perlu digelontorkan yaitu meninjau UU ITE, meninjau penegakan hukum yang dilakukan hanya untuk kepentingan kekuasaan, dan reformasi aturan main pemilu dan partai politik. "Selain itu kita harus mendorong responsivitas pemerintah dalam mengatasi pandemi dan krisis ekonomi,” pungkasnya.
Hal senada dikatakan pengamat politik dari LIPI Firman Noor yang menyebutkan saat ini banyak negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi walaupun dengan berbagai macam variannya. Namun dengan situasi pandemi seperti saat ini, kenyataannya kondisi demokrasi di Indonesia mengalami stagnansi. “Apalagi menurut laporan Economist, demokrasi di Indonesia dalam 10 tahun ini mengalami penurunan,” ungkapnya.
Menurut dia, walaupun praktik demokrasi di Indonesia saat ini berjalan cukup baik, kenyataannya oligarki pun tumbuh dengan baik. “Demokrasi dan oligarki berjalan secara beriringan. Hal ini terlihat dalam proses internal partai seperti pencalonan kandidat dalam kontestasi elektoral hingga pembuatan kebijakan yang melibatkan oligarki,” jelasnya.
Selain itu, Firman menilai saat ini pelaksanaan check and balances serta meredupnya civil society dalam kehidupan politik di Indonesia melemah. Para politisi di DPR kenyataannya sering akomodatif dengan berbagai kebijakan yang dibuat eksekutif. “Ini terlihat dari isu Omnibus Law dan pelemahan KPK. Sementara saat ini kita melihat terjadi pembungkaman terhadap elemen masyarakat sipil,” ujarnya. (OL-4)
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
MK juga mengusulkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah diberi jarak waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan.
MK mengatakan pemisahan pemilu nasional dan lokal penting dilakukan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih.
Ia mengatakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
Situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.
Amanah konstitusi UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta ikut mewujudkan perdamaian dunia harus direalisasikan dalam menyikapi konflik dunia.
SEJUMLAH pakar hukum tata negara, praktisi hukum, politisi, tokoh pergerakan, dan akademisi, mengajak semua pihak untuk melawan upaya perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan pemilu
Hasto menyebut PDIP masih satu nafas dengan Presiden RI Joko Widodo, yakni menolak penundaan pemilu
“Pernyataan hari ini meminta para Menteri untuk tidak membahas terkait itu. Artinya secara konkret persoalan itu dilupakan saja, karena kita juga sedang dalam masa kritis-kritis."
Miya menegaskan ide penundaan pemilu sangat berbahaya dan rentan disusupi agenda pemberian wewenang bagi MPR untuk mulai menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
PERPINDAHAN Ibu Kota Negara (IKN) merupakan kepentingan nasional yang super besar.
Menurut Sugiono, perintah konstitusi sudah jelas bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved