Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
ANGGOTA Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat (Rerie) menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal mulai tahun 2029 merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
Ia mengatakan pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota melanggar UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional.
Ia mengatakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional," kata Rerie, melalui keterangannya, Senin (30/6).
"Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda," tambahnya.
Ia mengatakan MK sebagai penjaga konstitusi tidak diberikan kewenangan untuk merubah norma dalam UUD 1945, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22E.
Selain itu, Rerie mengatakan putusan MK juga berdampak pada masa jabatan anggota DPRD. Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun akan menempatkan mereka bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis. Padahal, kata ia, jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil Pemilu sebagaimana pasal 22E UUD 1945.
"Artinya berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan Legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional," katanya. (Faj/P-3)
Komisi II DPR siap membahas RUU Pemilu tersebut jika diberi kepercayaan oleh pimpinan DPR. Ia mengatakan Komisi II DPR yang membidangi kepemiluan tentu berkaitan membahas RUU Pemilu.
Putusan MK yang memisahkan pemilihan berdasarkan wilayah tidak akan berkontribusi pada peningkatan kualitas eksekutif dan legislatif.
DPR masih melakukan penelaahan, sehingga belum bisa menyampaikan sikap resmi menyikapi putusan MK tersebut.
Putusan MK ini menjadi representasi kehadiran negara dalam pemenuhan hak hidup dan hak atas kesehatan yang lebih baik bagi petugas pemilu.
WAKIL Ketua Komisi II DPR RIĀ Aria Bima, menilai Aria menilai putusan MK membuka urgensi untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang baru secara lebih menyeluruh.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved