Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Ini Dampak Pesta Demokrasi 2024 Digelar Bersamaan

Cahya Mulyana
04/2/2021 12:44
 Ini Dampak Pesta Demokrasi 2024 Digelar Bersamaan
Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) menggunakan APD melakukan perhitungan suara saat pelaksanaan Pilkada 2020.(MI/RAMDANI)

PENELITI Senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA Toto Izul Fatah Denny JA menilai mutu demokrasi bisa merosot bila pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2024 berbarengan dengan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg). 

Proses demokrasi yang tidak normal, biasanya sangat rawan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.

"Ini sangat potensial bukan saja menurunkan muti demokrasi juga pemilu. Bahkan potensial juga mengundang iklim politik nasional yang tidak kondusif, terutama dari aspek keamanan," katanya dalam keterangan resmi, Rabu (3/2).

Karena itu, kata Toto semua stakeholders mulai dari DPR, pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bandan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan civil society harus duduk. Kaji ulang berbagai aspek terkait dengan pilkada serentak pada 2024 dengan membedah untung, ruginya.

Agenda politik nasional lima tahunan yang satu ini, tak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja seperti merujuk pada Pasal 101 ayat 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pilkada yang memerintahkan keserentakan pada November 2024. 

Baca juga: Revisi UU Pemilu Harus Perkuat Peran Perempuan

Tapi lebih dari itu, pasal yang sering dijadikan acuan pemerintah ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih utuh, komprehensif dan integral dengan mengaitkannya dalam situasi dan kondisi kekinian.

"Termasuk, melihat masalah ini dari aspek kepentingan demokrasi dalam menjaga dan merawat kedaulatan rakyat yang harus berjalan normal secara periodik," jelasnya.

Sebab, kata dia, pada saat pergantian kepemimpinan, baik bupati, wali kota, gubernur dan bahkan presiden tak berlangsung sesuai jadwal dan memberi indikasi adanya keadaan yang tidak normal. Dengan demikian, proses demokrasi untuk melahirkan pemimpin baru yang siap melayani rakyat pasti terganggu, sejalan dengan bergesernya jadwal pergantiannya.

"Dalam kondisi proses demokrasi yang tidak normal, biasanya sangat rawan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu yang bisa merusak keadaan makin tidak kondusif, baik kecurangan maupun penyalahgunaan kekuasaan," paparnya.

Setidaknya, terdapat 272 kepala daerah yang akan diganti oleh pelaksana tugas bila pilkada digelar 2024. Hal ini tentu bukan saja rawan terjadinya politisasi ASN juga akan bermuara pada terganggunya pelayanan publik. Rakyat akan semakin kehilangan hak dan kedaulatannya.

Setidaknya, terdapat tiga hal teknis yang potensial berefek buruk jika pilkada serentak tetap ngotot digelar pada 2024. 

Pertama, aspek kesiapan penyelenggara pemilu sangat diragukan. Terutama mengacu pada pelaksanaan pemilu 2019 lalu yang banyak menelan korban, lebih dari 700 anggota KPPS meninggal dan sekitar 5.000 sakit, karena beban kerja.

Kedua, silihat dari daspek keamanan pilkada di 2024 sangat potensial mengundang konflik yang menumpuk dan membuat aparat keamanan sangat kewalahan. Apalagi, di tengah kondisi pemerintah sedang fokus mengatasi covid-19.

Ketiga, aspek partisipasi pemilih juga harus dipertimbangkan karena potensial membuat rakyat malas datang ke TPS. Hal ini tentu akan semakin memperparah kualitas demokrasi dan pemilu.

"Rakyat baru mau pada datang ke TPS karena ada iming-iming pemberian baik uang maupun sembako," pungkasnya. (A-2)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya