Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Revisi UU Pemilu Harus Perkuat Peran Perempuan

Putra Ananda
03/2/2021 21:52
Revisi UU Pemilu Harus Perkuat Peran Perempuan
Ilustrasi(Antara)

REVISI Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu diharapkan mampu memperkuat peran perempuan dalam proses politik dan pengambilan kebijakan.

Harapannya, penyerapan aspirasi maupun proses pembentukan kebijakan yang berfokus pada kepentingan perempuan diharapkan dapat lebih mudah terelisasikan.

 

"Revisi UU Pemilu diperlukan dalam rangka memperkuat kebijakan afirmasi keterwakilan dan keterpilihan perempuan di Pemilu," ungkap Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam acara peluncuran buku Jalan Terjal Perempuan Politik yang disiarkan secara streaming, Rabu (3/2).

 

Menurut Titi, penguatan afirmasi perempuan dalam RUU Pemilu dapat dilakukan dengan cara mengatur penempatan calon-calon perempuan dalam nomor urut 1 di surat suara.

Penempatan calon perempuan dengan nomor urut 1 tersebut dapat diaplikasikan untuk 30 persen daerah saat pelaksanaan Pemilu.

 

"UU Pemilu perlu diperkuat dengan mengatur penempatan perempuan pada nomor urut 1 paling sedikit 30% daerah pemilihan," terang Titi.

 

Menurut Titi, UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang saat ada saat ini dinilai belum sepenuhnya ideal untuk mewadahi atau memfasilitasi perempuan dalam dunia politik.

Kelemahan-kelemahan Pemilu 2019 berpotensi akan terulang apabila DPR tidak serius dalam melakukan revisi RUU Pemilu.

 

"Tentu perempuan akan menghadapi tantangan besar untuk bisa terpilih karena politik biaya tinggi akan tetap menjadi problem kompteisi pemilu yang belum berkeadilan dan akan sangat merugkan konstetnasi perempuan-perempuan yang mencalonkan diri," tandasnya.

 

Dalam rangka menuju persamaan dan keadilan, kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam Pemilu sebetulnya telah dijamin oleh kontistusi melalui pasal 28H ayat 2 UUD 45. Mahkamah Konstitusi (MK) pun turut mempertegas afirmasi ketewakilan perempuan melalui putusannya nomor 22-24/2008 dan 20/2013.

 

"Namun keadilan dan keberimbangan representasi itu belum hadir di dalam praktik politik kita di indonesia. Tidak ada penguatan kebijakan afirmasi sejak Pemilu 2009," ujarnya.

 

Titi melanjutkan, kurangnya afirmasi terhadap perempuan dalam regulasi Pemilu membuat keterpilihan perempuan di DPR dan DPRD cenderung stagnan. Masih jauh dari target sekurang-kurangnyanya 30 persen keterpilihan perempuan di parlemen. Kebijakan politik dikatakan oleh Titi belum berbasis politik gagasan yang berbasis pada elektoral kepentingan perempuan sehingga perempuan cenderung hanya menjadi sumber suara potensial dalam Pemilu.

 

"Pemilih perempuan sesungguhnya adalah aset politik dengan loyalitasnya dalam setiap agenda politik. Partisipasi pemilih perempuan selalu lebih tinggi daripada pemilih laki-laki," ungkapnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, Politikus PPP Lena Maryana Mukti mengungkapkan dukungan terhadap isu-isu perempuan di parlemen juga masih kurang. Seperti misalnya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) hingga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) masih belum dibahas oleh parlemen.

 

"Sampai hari ini masih mengalami hambatan, dan baru-baru ini yang membuat hati kami prihatin adalah satu-satunya calon perempuan untuk Ombudsman gagal terpilih karena kami yakin teman-teman di parlemen belum pahami gender mainstreaming," ungkap Lena.

 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai NasDem Lestari Moerdijat menegaskan bahwa parlemen tidak boleh menutup mata terhadap persoalan kesetaraan gender terhadap permpuan. Ketimpangan-ketimpangan yang ada terhadap perempuan dan laki-laki akan menuai berbagai rangkaian masalah yang akan menghambat tujuan tercapai kesetaraan.

 

"Kita tau persis bahwa ruang perempuan di indonesia sudah di buka. UU sudah menyebutkan persyaratan adanya perempuan atau 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang sayang sekali masih berupa persyaratan saja belum sepenuhny berujung kepada kesetaraan," tegasnya.

 

Menurut Rerie, kehadiran perempuan di dunia politik sesungguhnya bukan sekedar berbciara kesetaraan. Tapi yang paling penting adalah bagaimana perempuan bisa mewarnai dinamika politik dan memberikan afirmasi bahwa setiap subjek berhak melakukan aktualisasi diri di setiap bidang kehidupan.

"Seyogyanya pengambilan keputusan tidak hanya berpijak pada satu persepsi. di sinilah kita meyakini bahwa pandagnan dari perempuan dapat memberikan warna dan menyempurnakan keputusan-keputusan dan bahkan hasilnya dapat memberikan warna yang berbeda," tandad Rerie. (OL-8)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya